webnovel

Ada Apa Dengan Tala?

Sudah sejak setengah jam yang lalu Bora dan Tala saling bincang via sambungan suara.

"Pms lo ya? galak bener yaampun."

Bora menghela napas menahan kesal.

"Dih, kenapa lo, Ra?"

"Lo cari cowok baru sana. Biar nggak kebanyakan mikirin Hariz!"

"Eh gue mau tanya dong, Ra. Boleh nggak?" dalih Tala.

"Halah, gue bilang nggak boleh pun lo pasti maksa juga."

Terdengar suara Tala yang terkekeh dari gawai Bora.

"Lo kan dulu playgirl tuh. Kalau kata gue tuh, lo jomblo tanpa jeda ye kan. Gimana sih rasanya gonta-ganti cowok mulu?"

Entah kenapa, tiba-tiba saja Tala merasa penasaran.

Bora menarik napas berat lalu,

"Gue sampe bosen tahu nggak. Orang-orang kira tuh enak kalik ya ganti pacar mulu. Capek tahu aslinya mah," sambungnya.

"Tapi lo masih aja ganti cowok mulu, itu kenapa tuh?"

"Nih ya gue kasih tahu. Niat gue tuh udah berhenti tuh kan, eh ade aje godaan gitu. Berat shaay."

"Halah lo juga demen." Tala mencebik.

"Cari cowok sana lo biar nggak nyinyirin gue mulu idup lo!"

"Dih, lo mah gitu."

"Ah, udah ah. Gabut gue udah hilang nih. Ya, babay! Tala jomblo!"

"Mimpiin gue ya!"

"Gue tampol lo ya, La!"

Tanpa menunggu lama lagi, Bora mengakhiri sambungan telepon.

***

Tala merasa kurang enak badan pagi ini. Namun, ia tetap memaksakan diri ke sekolah. Bu Yasmin tidak ia beri tahu agar tidak khawatir padanya. Ia tidak suka saat orang lain terlalu khawatir padanya tanpa terkecuali termasuk bundanya sendiri.

Ia bahkan sengaja menutupi bibir pucatnya dengan lipbalm dan liptint tipis berwarna chery pink. Sembari mengulas senyum ia berpamitan dengan ibunda.

"Papa anter yuk," tawar Pak Layyin.

"Boleh, Pa. Yuk kita berangkat sekarang, Tala takut terlambat nih."

"Yuk, berangkat kita. Bun, Papa sama Tala berangkat dulu ya."

Selama perjalanan menuju sekolah, di dalam mobil Pak Layyin terus memperhatikan anak sambungnya itu.

"Tala nggak apa-apa, nak?"

"Nggak apa-apa kok, Pa. Emang Tala gimana?"

"Kamu kayak kurang sehat. Mau Papa anterin balik ke rumah?" tanya ayahnya lagi, khawatir.

"Ih jangan dong, Pa. Nanti Tala ketinggalan kelas lagi."

Pak Layyin menghela napas berat, paham apa maksud anaknya itu.

"Takut dilarang sama bunda ya?"

"Iya, Pa. Papa kan tahu gimana bunda kalau Tala kenapa-napa. Tala sakit dikit aja lebaynya minta ampun."

"Bukan lebay, nak. Bunda tuh khawatir sama kamu."

"Iya, Pa. Tala paham, tapi nggak perlu berlebihan dong khawatirnya. Tala kan udah gede."

"Emang kalau udah gede nggak bisa sakit?"

Tala memberikan cengiran khasnya. Dasar Tala!

"Hmm, gini aja deh. Tala janji kalau misalnya udah nggak kuat, Tala bakalan izin ke UKS. Ya, Pa? boleh ya?"

"Boleh apa?"

"Boleh ke sekolah dan jangan kasih tahu bunda. Please," mohon Tala. Sembari menyatukan ketua tangannya di depan dada dengan mata berbinar seperti kartun upin ipin yang memelas.

Karena tidak tega. Sang papa menganggukan kepala dengan terpaksa. Tala kegirangan.

"Tapi, Pap tahu dari mana kalau Tala nggak enak badan?"

"Kamu pakai itu apa tuh, merah-merah di bibir."

"Liptint, Pa."

"Ya, apalah itu namanya. Terus kamu juga kelihatan lelah gitu. Nyenderin kepala mulu di mobil. Kamu beneran nggak apa-apa kan, nak?"

"Ngak apa-apa, pa. Kan Tala udah janji tadi. Papa percaya Tala, bukan?"

"Iya-- iya, Papa percaya!"

Mengalah. Lagi-lagi Pak Layyin mengalah.

***

Tala tiba di sekolah. Awalnya biasa saja. Namun, ia merasa tidak nafsu makan dan suhu badannya sedikit naik. Semakin siang perutnya semakin nyeri.

Nyeri semakin sakit di daerah pusar hingga bagian kanan bawah perut.

"Lo kenapa, La? kok pucet?" tanya Bora heboh.

Siapapun pasti akan sadar bahwa Tala sedang tidak enak badan. Ia merembahkan kepala di meja hitam itu sembari memegang perutnya yang nyeri.

"Sakit perut nih gue. Tapi, nggak apa-apa kok," sahutnya tanpa senyuman.

"Mau gue anter ke UKS, La?" tawar Hamid.

"Nggak, gue nggak apa-apa kok, Mid."

"Apanya nggak apa-apa, lo pucet!"

Belum Hamid selesai berbicara namun Tala sudah jatuh bersender di perutnya tidak sadarkan diri.

"La, Tala!" panggil Bora. Para manusia yang ada di sekitar kelas khawatir. Pelajaran matematika baru saja berakhir.

Tanpa pikir panjang Hamid mengangkat Tala menuju ruang UKS sebelum aba-aba dari guru matematika itu.

Setibanya di UKS, ia terus duduk di samping Tala menemaninya hingga gadis itu siuman dari pingsannya.

***

Dengan pandangan yang samar namun Tala yakin laki-laki yang duduk menunggunya itu adalah Hamid.

"Mid," ucapnya sangat pelan.

"Tala, lo udah sadar?" tanya Hamid dengan wajah paniknya.

"Gue kenapa?" tanya Tala lagi sembari melihat ruangan bernuansa putih hijau muda itu.

"Lo lupa? tadi lo pingsan. Kalau lo nggak enak badan nggak usah sekolah, La. Kalau bunda tahu-"

Hamid tidak melanjutkan ucapannya setelah tangan lemas Tala meraih tangannya.

"Tolong jangan kasih tahu bunda ya, Mid?"

"Tapi, lo kan sakit, La."

"Gue nggak apa-apa kok, Mid. Serius deh."

"Kalau nggak apa-apa, kenapa sampai pingsan?!" intonasi Hamid sedikit naik. Ia kesal karena Tala terus mengelak padahal kondisinya saja begitu lemas.

"Paling gue lagi PMS makanya kayak gini."

"Tapi, lo beneran nggak apa-apa? gue khawatir loh, La!"

"Nggak apa-apa, Hamid! yaampun."

Tala berubah posisi bangun dari rebahnya.

"Eh lo mau ngapain?"

"Mau duduklah," sahut Tala mengulas senyum saat Hamid tampak bangkit dari duduknya, khawatir.

"Nggak, nggak ada ya! lo harus istirahat rebahan. Kalau nggak, gue bakalan telepon bunda sekarang."

Tala tidak punya pilihan lain.

"Yaudah, iya, tapi lo juga masuk kelas ya? Nggak usah nungguin gue di sini. Jangan bolos demi gue, oke?"

"Tapi, siapa yang bakal temenin lo di sini?"

"Mid... ini UKS ada penjaganya. Kalau mereka lagi nggak di tempat gue bisa keluar, yaah?"

"Kalau lo sampai pingsan lagi gimana?"

"Lo do'ain gue?! udah sana ah, nggak usah alasan."

Dengan terpaksa Hamid menuruti perkataan Tala.

Tala menjerit pelan sendirian di balik tirai UKS itu. Kalau hanya datang bulan, kenapa sampai sesakit ini hingga tidak sadarkan diri? Bahkan biasanya pun menjelang hari H, nafsu makannya pun kian meningkat. Tapi, hari ini...

Sebenarnya tidak hanya orang lain yang khawatir, ia pun demikian.

Namun, ia sanggah pikiran negatifnya itu. Barangkali ia sedikit setress makanya nyerinya lebih hebat dari biasanya.

***

Jam istirahat kedua telah tiba. Bora menghampiri Tala yang masih beristirahat di ruangan putih hijau muda itu.

Bora membuka tirai putih bersih itu secara perlahan. Agar suaranya tidak menganggu Tala yang sedang beristirahat.

"La, lo tidur ya?" tanya Bora.

"Eh, Ra? nggak kok."

Tala terkesigap untuk duduk.

"Eh, La? lo mau ngapain? nggak usah bangun rebahan aja kalik."

"Gue bosen rebahan mulu dari tadi, Ra. Eh, iya, lo kenapa nggak ke kantin? ini kan udah jam istirahat kedua."

"Diet gue."

"Ya, terus?"

"Gue nggak mau makan."

"Lo diet mau kurus kan, bukan mau mati?"

"Bukan gitu, maksudnya gue lagi belajar buat jadi vegetarian, La."

"Berarti lo cuma makan sayuran sama buah dong."

"Nggaklah, gue kan masih Flexitarian."

"Hah? apaan, Ra?" tanya Tala tidak mengerti. Ini pertama kalinya dia mendengar hal itu.

"Jadi itu salah satu jenis vegetarian gitu, La. Jadi, nabati itu masih jadi makanan utama tapi tetap makan daging atau produk hewani lainnya. Makan daging juga cuma sesekali."

"Nggak jadi vegetarian dong namanya."

"Namanya juga semi vegetarian, La. Buat pemula yang lagi nyoba buat jadi vegetarian."

"Semi?" bisik Tala.

Seperti semi pertemanan antar Siska dan Hariz.

Tala meminta Bora mengantarnya ke kelas untuk melanjutkan pelajaran hari itu. Mumpung Hamid belum datang mencecar dan memaksanya beristirahat. Meski awalnya Bora menolak, tetapi ia tidak tahan dengan sikap keukeuh dari sahabatnya si pecinta novel itu.Dengan mengajukan sebuah syarat,

"Gue nggak tanggung ya kalau Hamid marah sama lo. Oke?"

"Iya, yaampun tenang aja kalik. Dia nggak akan marah kok sama lo."

"Terus kalau sampai dia aduin ke bunda lo, gimana?"

"Nggak, dia nggak akan setega itu sama gue!"

"Kalau dia lagi tega, gimana hayo?"

"Lo jadinya mau bantuin gue nggak nih?"

"Iya, iya, aelah!"

Bora menuntun Tala keluar dari ruang UKS yang membosankan itu. Yang sepi, ia rindu suasana kelas yang bising.

Next chapter