8 Bab 8 Diabaikan

"Aneh," gumam Fathan memandang kepergian Andrea. Fathan tak menyadari ada sesuatu yang berubah pada pandangan Azka saat Andrea memilih berlalu begitu saja. "Kenapa dengan Andrea?" Fathan tetap memandang tubuh Andrea yang segera menghilang.

Azka mendesah dan kembali melanjutkan langkahnya menuju lift. Ia tak mau bersusah payah memikirkan Andrea yang entah kenapa sangat tidak ia kenali hari ini. Ia melirik tajam pada Fathan yang masih saja bergumam tentang sikap Andrea. Bukan untuk apa, ia hanya tidak ingin nama gadis itu terus disebut karena akan semakin membuatnya tak bisa tenang. Ia ingin sekali bertanya pada Andrea, tapi sekali lagi di urungkan karena itu sama sekali bukan haknya. Azka paham dengan posisinya yang hanya sekedar teman kampus bagi Andrea.

"Ada apa dengan gadis itu? Apa kalian sering menghabiskan waktu bersama saat pulang kampus?" Fathan masih menghujani Azka dengan pertanyaan sebagai bukti bahwa ia sangat penasaran dengan dua sahabatnya itu. "Apa ada yang salah?" Fathan kembali bertanya saat Azka tak menjawab. Lelaki itupun mendesah lemah karena merasa bahwa tenaganya terbuang dengan percuma. Namun ia tidak akan berhenti begitu saja. "Sepertinya memang ada yang salah. Aku beberapa kali melihatnya di jemput dengan mobil, apa kau juga melihatnya?" katanya mencoba menarik perhatian Azka kembali.

"Hmmm," Azka akhirnya menyahut sembari mengambil

"Apa lelaki itu saudaranya?" Fathan masih mencoba keberuntungannya.

"Hmmm," Azka masih enggan membuka mulutnya.

"Kenapa kamu sama sekali tidak berminat membahas tentang Andrea bersamaku?"tanya Fathan semakin penasaran.

"Diamlah," sahut Azka ketus kali ini membuat Fathan akhirnya menyerah dan memintanya segera menyelesaikan belanja dan kembali ke apartemen.

Mereka akhirnya selesai berbelanja dan menuju apartemen sembari menikmati sekaleng minuman yang sudah di beli tadi. Mereka berjalan dalam diam. Fathan masih sesekali melirik Azka yang lebih pendiam dari biasanya. Ia tahu betul bahwa sikap acuh Andrea membuat Azka tak berkutik.

"Ternyata Andrea sangat mempengaruhi dirimu," kekehan Fathan membuat Azka menoleh.

"Kau berlebihan," jawabnya.

"Ajaklah dia bicara jika itu memang perlu," saran Fathan membuat Azka menatapnya dengan kesal.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku sama sekali tidak ada urusan dengan gadis itu," ucap Azka sembari mengalihkan pandangannya kembali lurus ke depan. Ia menangkap bayangan sosok Andrea sedang duduk termenung menatap langit yang sama sekali tak berisi bintang.

"Tapi sikap kalian seolah menunjukkan ada sesuatu," Fathan masih mendesak Azka.

Azka berdecak. "Jangan ikut campur. Ini tidak ada hubungannya denganmu atau siapapun termasuk aku," kesalnya.

Fathan kembali terkekeh dan menyadari jika pandangan mata Azka tertuju pada suatu tempat. Ia pun mengikuti pandangan lelaki itu. Ia melihat Andrea sedang duduk sendiri di taman. Mungkin sama seperti yang di lihat Azka, tapi enggan bertanya. "Aku ingin langsung mengerjakan tugas setelah ini," Fathan mencoba menginterupsi perhatian Azka.

"Aku juga," jawab Azka setelah tersadar bahwa ia sedang bersama Fathan.

Mereka pun berlalu menuju kamar Azka tanpa ada pembicaraan. Azka juga sama sekali tak berminat untuk berbicara. Pikirannya sudah kepalang mentok di Andrea yang sedang duduk sendiri di taman. Biasanya gadis itu akan mengajaknya atau setidaknya memberinya kabar tapi kali ini ia memilih pergi sendiri. Ia diam sejenak mengabaikan Farhan yang entah sedang apa sekarang. Ia mengingat setiap hal tentang Andrea. Tapi Azka sama sekali tak melihat wajah sedih pada gadis yang sudah berhasil mengambil sebagian perhatiannya itu. Sekali lagi Azka menghela napasnya kasar.

"Kalau kau ingin menemui Andrea, pergilah," seru Fathan saat mendapati Azka sedang melamun.

Azka berdecak tapi tak juga bersuara apalagi beranjak. Ia lebih memilih kembali fokus pada tugas-tugasnya. Namun hal itu sia-sia karena hanya bayangan wajah Andrea lah yang kini muncul di lembar demi lembar tugasnya. Apakah gadis itu sudah menyelesaikan tugasnya? Pertanyaan semacam itulah yang kini sekiranya memenuhi pikiran Azka. Ia mendesah pelan dan menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan semua pikiran tentang gadis itu. "Astaga bisa gila aku kalau terus begini," kesalnya kemudian beranjak menuju dapur untuk mengambil minuman yang tadi di belinya membuat Fatah mengernyit bingung, tapi lebih memilih diam. Azka kembali ke sofa dan mengambil gawainya. Dengan setengah tenaga ia membuka aplikasi pesan singkat dan menarikan jarinya untuk mencari nama Andrea.

"Sudah buat tugas?" tulis Azka. Ia mendesah pelan sebelum akhirnya mengirim pesan itu. Niatnya untuk menghapus urung karena nampaknya sudah di baca oleh Andrea. Ia menunggu beberapa saat.

Cerewet~ (Nama Andrea pada kontak Azka)

Belum selesai. Aku masih ingin duduk di taman menikmati angin malam

Balasan itu membuat Azka tersenyum.

"Sudah malam. Kemarilah, aku dan Fathan sedang membuat tugas dan kebetulan ada banyak camilan yang kamu suka," kali ini Azka membalasnya dengan sedikit panjang.

Cerewet~

"Tidak mau, temanmu itu banyak bicara,"

Azka kembali tersenyum turut membenarkan bahwa sahabatnya itu memang terlalu banyak bicara untuk ukuran laki-laki.

"Jangan terlalu lama di luar apalagi sendiri"

Balas Azka kemudian dan langsung fokus pada tugasnya. Ia merasa lebih tenang setelah tahu bahwa gadis itu baik-baik saja.

"Kamu menyukai Andrea?" tanya Fathan membuyarkan keseriusan Azka. "Aku bisa melihatnya," tambahnya karena Azka sama sekali tak merespon.

"Hentikan pikiran konyolmu itu," kesal Azka akhirnya yang di sambut dengan decakan sebal dari Fathan.

"Kenapa susah sekaki membuatmu mengakui perasaan," ucap Fathan sembari menghela napas berat. Ia pun mencoba menatap lelaki di hadapannya itu.

"Tidak ada yang harus aku akui," jawabnya. "Diamlah," lanjutnya saat melihat Fathan hendak bersuara.

Mereka pun kembali fokus pada beberapa buku yang berserakan di atas meja. Jemari lentik Azka dengan riangnya menari di atas deretan keyboard laptop yang sedari tadi sudah ia abaikan karena terlalu larut dengan gadis yang bernama Andrea itu. Mereka bahkan mengganti nada dering ponselnya menjadi silent mode agar tak terganggu dengan teman-teman yang selalu ribut di group chat. Dan tepat pukul 12 malam tugas mereka selesai. Azka dan Fathan sedang bersiap untuk beristirahat saat bel apartemen Azka berbunyi. Mereka saling tatap bingung karena tak merasa ada janji dengan siapapun dan juga akan menerima kunjungan. Apalagi sekarang sudah tengah malam. Azka bangkit dari duduknya dengan malas. Ingin sekali ia mengumpat pada orang yang bertamu tidak melihat waktu itu.

Mata Azka membulat sempurna begitu pintu apartemennya terbuka. Ia menatap bingung pada Andrea yang sedang berdiri kaku di hadapannya. "Ada apa?" tanyanya saat gadis di hadapannya itu tak juga bersuara.

"Aku lapar," lirih Andrea yang masih bisa di dengar oleh Azka.

Azka tersenyum tipis. "Masuklah," katanya sembari membuka pintu apartemennya lebar membuat Andrea memekik girang. Ia masuk begitu saja ke dalam apartemen dan langsung menuju dapur disusul Azka yang tidak bisa menahan senyumannya. Lelaki itu langsung mengeluarkan makanan cepat saji dari dalam kulkas dan menghangatkannya.

"Mau minum apa?" tanyanya.

"Teh hangat," sahut Andrea cepat sambil menerima makanannya.

"Disini bukan warteg ya Andrea," kesal Azka mendengar ucapan gadis di hadapannya itu.

"Aku tahu. Tapi kau yang sudah menawarkan minuman tadi, jadi aku jawab apa yang memang aku mau," kelakarnya masa bodoh dengan keluhan Azka.

Dengan berat hati Azka membuatkan the hangat untuk gadis yang sepertinya sedang kelaparan itu dalam diam. Sementara Fathan kini hanya berdiri di ambang pintu menyaksikan dua orang yang berada di dapur itu. Ia sengaja berdiam diri karena begitu penasaran dengan hubungan Azka dan Andrea.

"Tugasku sudah selesai," kata Andrea setelah menyantap suapan terakhirnya membuat Azka menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Bahkan aku sudah mulai mengerjakan di hari yang sama dengan tugas itu diberikan," lanjut Andrea karena Azka hanya menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Aku…" ucapan Andrea menggantung di udara.

"Ada apa Andrea? Kau tahu aku tidak bisa membaca isi pikiranmu," kesalnya karena gadis itu tak juga menyelesaikan perkataannya.

"Aku penasaran dengan apa yang kau dan Fathan bicarakan. Aku ingin tahu," lirih Andrea pada akhirnya tapi masih bisa di dengar dan sukses membuat Azka menatap tajam gadis cantik yang ada di hadapannya itu.

"Apa yang kau pikirkan?" rasa penasaran Azka pun tak bisa di bendung. Ia heran dengan Andrea yang tiba-tiba ingin sekali ikut campur dengan urusan orang lain.

"Aku hanya ingin tahu," Andrea memberanikan diri menatap Azka yang kini menatapnya dengan sinis.

Azka terkekeh melihat ekspresi wajah Andrea. "Kembalilah ke kamarmu, ini sudah tengah malam." Perintah mutlak yang tak bisa di bantah.

Andrea beranjak sambil mengerucutkan bibirnya karena tidak mendapat jawaban seperti yang di inginkannya. Ia kesal pada Azka yang sama sekali tak mau menjelaska padanya tentang Fathan.

"Jangan bebani dirimu dengan masalah orang lain," Azka kembali bersuara setelah Andrea berhasil memasukan kombinasi angka di pintu apartemennya.

"Apa kau tidak mau bercerita denganku?" tanya Andrea dengan wajah polos.

Azka mengusap sayang puncak kepala gadis itu. "Itu sama sekali bukan urusanmu," ucapnya selembut mungkin agar Andrea tidak tersinggung.

"Apa aku sama sekali tak ada artinya untukmu?" ucapan Andrea ini benar-benar membuat lidah Azka kelu.

avataravatar
Next chapter