20 Bab 20 Bodoh

Azka mengeliat saat merasa silau dengan sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya melalui celah korden. Ia menghela napas ketika mengingat harus berangkat ke kampus dan kemungkinan terbesarnya dalah bertemu dengan Andrea. Bukan tidak ingin, tapi beberapa kali melihat gadis itu berpakaian kekurangan bahan membuatnya sedikit merasa tidak nyaman. Ia pun sebisa mungkin menahan diri untuk tidak membombardir Andrea dengan jutaan pertanyaan yang telah bersarang di kepalanya bagaikan burung pipit yang akan bertelur. Ia tidak akan sanggup mendengar jawaban gadis itu jika ternyata kekhawatirannya selama ini adalah benar. Dengan sedikit malas iapun beranjak menuju kamar mandi. Segera bersiap dan perlahan meninggalkan kamarnya.

Belum kaki Azka melangkah jauh, ekor matanya sudah menangkap bayangan seseorang keluar dari sebuah pintu. Ia tak terlalu yakin. Azka menatap sekilas lelaki itu dan mulai berpikir. Ia kembai melirik lelaki yang kini sudah berada di dalam lift dengannya itu. Serbuan rasa penasaran yang semakin besar kini menghampirinya ketika merasa tidak asing dengan orang itu. Azka berulang kali mengesah karena tak juga mengingatnya. Meski kini pikirannya sedang buntu namun Azka yakin jika lelaki itu bukanlah penghuni apartemen ini. Ia tahu betul setiap orang yang ada di tempat ini karena sering berolahraga pagi di lapangan tempat Andrea terkilir. Ya, ingatan Azka justru kembali tertuju pada Andrea yang hingga kini belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal biasanya gadis itu akan berlarian mengejarnya hingga ke lift. Azka melirik jam tangannya sekali lagi. Ia tidak merasa terlalu pagi untuk berangkat tapi mengapa Andrea belum juga menyusulnya. Ada perasaan tidak tenang menghinggapi Azka saat ini. Ia mulai khawatir jika terjadi sesuatu dengan gadis yang sudah berhasil membuat dunianya berputar 180 derajat itu. Ia pun berniat mengeluarkan ponselnya yang berada di saku celana untuk menghubungi Andrea, namun urung karena ia ingin menghindari gadis itu barang sehari saja. Ia merasa sedikit kecewa karena beberapa kali menjumpai gadis itu tengah berpakaian kekurangan bahan dan lebih parahnya lagi pulang larut malam.

Azka kini sudah berdiri di halte sembari melirik jam tangannya. Ia tidak bisa bohong jika saat ini tengah mengkhawatirkan Andrea. Gadis itu pasti akan terlambat jika tidak berangkat sekarang. Dengan membuang semua ego, Azka mengeluarkan ponselnya dan mencari nama Andrea di daftar kontaknya. Ia baru akan memencet tombol calling tapi lagi-lagi harus urung karena melihat Andrea sedang terburu-buru berjalan ke arahnya. Ia menghela napas pelan begitu gadis itu sampai di sampingnya dengan terengah-engah.

"Untung tidak terlambat," ucap Andrea sembari mengatur napasnya dan mengusap pelan keringat yang sudah membanjiri keningnya.

Azka tidak bergeming melihat gadis itu tengah mengibas-ibaskan tangannya di depan wajahnya sendiri.

"Kenapa kamu diam saja?" Andrea bertanya dengan nada sinis pada Azka yang hanya menatapnya sekilas.

Helaan napas kasar jelas terdengar dari Azka. "Dasar pemalas," ucapnya sambil berlalu masuk ke dalam bus disusul Andrea dengan sejuta gerutuan yang tidak jelas.

"Jangan mencaciku. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya tidak bisa tidur," kesal Andrea yang tak sepenuhnya berbohong membuat Azka menaikan sebelah alisnya. Lelaki itu memandang Andrea yang juga sedang memandangnya seolah mengatakan bahwa ia tidak peduli pada hal apapun yang berkaitan dengannya. Andrea berdecak kesal tapi malas untuk kembali menanggapi. Ia lebih memilih diam dan mengingat semua hal yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Mengingat bagaimana Daren membuatnya memuja semua hal yang dimiliki lelaki paruh baya itu. Ia tidak menyangka jika menghabiskan malam dengan Daren bisa membuatnya tidak ingin memejamkan mata barang sejenak, namun juga sangat berbahaya untuk masa depannya dan juga kesehatan jantungnya. Lelaki itu terlalu pandai membuatnya terbang hingga lupa dimana seharusnya kaki tetap berpijak dan kesadaran tetap terjaga di tempatnya. Jauh di lubuk hati Andrea sangat tidak ingin kehilangan momen seperti ini bersama Daren, tapi sekali lagi bayangan perkataan Reyma melintas di pikirannya. Tapi ia tetap berharap jika suatu saat nanti Daren tidak akan pernah pergi untuk meninggalkannya.

"Buang jauh-jauh kotoran di kepalamu," ucap Azka sembari menyentil dahi Andrea keras kemudian meanrik gadis itu keluar dari bus yang ternyata sudah berhenti di halte depan kampus.

"Simpan baik-baik jarimu," sungut Andrea sembari mengusap dahinya yang terasa perih dan berdenyut.

Azka terkekeh melihat bibir manyun Andrea dan menahan diri untuk tidak langsung melahapnya saat ini. Ia harus tetap waras karena saat ini mereka sedang berada di kampus. Tangannya pun kini terulur untuk mengusap pelan dahi Andrea yang tampak memerah karena ulahnya. "Apa yang kau pikirkan?" Tanya Azka.

"Bukan urusanmu," kesal Andrea membuat Azka berdecak kesal.

Azka membiarkan Andrea berjalan lebih dulu. Ia ingin menjaga jarak dengan gadis itu selama di kampus agar tidak ada suara-suara sumbang yang menyertakan namanya. Ia menghela napas sembari menatap punggung Andrea yang semakin menjauh. Pikirannya kembali menerawang saat gadis itu berpakaian tidak layak dan mengaku akan pergi bekerja. Semua hal yang tak Azka inginkan kini mulai terbayang semakin jelas membuatnya mengumpat dalam hati. Mengingat bagaimana Andrea berpakaian seksi menarik ingatan Azka tentang sosok lelaki yang di temuinya tadi pagi. Entah kebetulan atau bukan, Azka benar-benar merasa tidak asing dengan orang itu. Ia pun merutuki kebodohannya dalam mengingat. Padahal biasanya ia akan mengingat hal sekecil apapun baik yang di temui ataupun di baca dari sebuha buku. Ia pun memutuskan untuk ke kelas dan mencoba memikirkannya nanti saja. Sampai di kelas ia pun mengernyit heran karena tidak mendapati Andrea disana. Ia kembali menghela napas dan mulai mengira-ngira kemanakah gadis itu pergi. Ia menggeleng samar begitu menyadari bahwa Andrea pasti tidak sempat sarapan tadi. Azka benar-benar tidak tahu bagaimana gadis seperti Andrea bisa memilih tinggal sendiri jika belum bisa mengurus dirinya sendiri. Tidak ingin memikirkan Andrea terus menerus, ia pun mengeluarkan buku dan memasang headset agar tidak terganggu dengan keributan teman-temannya yang kini mulai berdatangan. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk mebaca buku di bandingkan harus berbicara yang tidak ada gunanya. Beberapa saat berlalu, kini fokus Azka mulai terusik dengan kedatangan Fathan dengan wajah masam. Ia mengernyit heran memandang sahabatnya itu. Pasalnya lelaki itu sudah beberapa hari tidak ke kampus bahkan tanpa memberinya kabar. Entah sudah helaan napas yang ke berapa kali Azka lakukan saat ini. Kini ia harus kembali melakukannya begitu mendapati Fathan memilih menenggelamkan kepalanya ke atas meja dibandingkan menceritakan apa yang sudah terjadi. Azka menggelengkan kepalanya samar. Ia pun memilih mengacuhkan sahabatnya itu dan menunggu kapanpun akan di ajak bercerita. Ia tidak suka banyak bertanya yang berakhir pada ikut campur urusan orang lain meskipun itu sahabatnya sendiri. Ia tidak mau banyak bertanya yang mungkin saja akan malah menambah masalah bagi Fathan. Sejauh ini yang Azka tahu adalah Fathan sedang ada masalah dengan keluarganya. Selain itu, kampus ini bukanlah tempat pilihan Fathan untuk menimba ilmu melainkan pilihan orangtuanya. Sebenarnya, Fathan sangat ingin kuliah ke luar negeri, tapi tidak di ijinkan jika ia tidak mau di jodohkan dengan gadis pilihan keluarganya atau menikah dengan gadis pilihannya sendiri asal sesuai dengan kriteria dari keluarganya. Sumpah demi apapun Azka tidak akan sanggup membayangkan bagaimana rumitnya hidup lelaki itu.

"Pinjamkan bukumu. Aku ingin mengejar ketertinggalan," ucap Fathan sembari menggoyangkan lengan Azka.

"Apa masalahmu seberat itu sampai kau tidak dating ke kampus selama 3 hari?" Tanya Azka sembari menyerahkan bukunya.

"Ini tentang Ashil," jawab Fathan sembari menghela napas.

Azka diam. Pikirannya mengulas tentang gadis yang di cintai sahabatnya itu. Ia cukup tahu bagaimana perjuangan Fathan untuk mendapatkan gadis itu. Bahkan ia tahu bagaimana Fathan mencurahkan semua perhatiannya untuk gadis yang namanya baru saja disebut. "Ada apa?" tanya Azka setelah cukup lama terdiam.

"Nanti aku ceritakan," sahut Fathan sembari tetap fokus pada buku Azka. Lelaki itu tampak kusut dan tidak bersemangat.

Azka kembali diam. Kini tatapan matanya beralih kepada Andrea yang sedang menyodorkan sebotol air mineral padanya tanpa suara. Azka mengambilnya sekalihus berisyarat mengucapkan terimakasih. Hatinya menghangat dengan tidak sopan. Andrea memang memperhatikannya meskipun kadang menyebalkan. Azka juga cukup paham bahwa sesungguhnya gadis itu tidak seburuk yang ia pikirkan selama ini. Ia tersenyum simpul melihat Andrea duduk di bangkunya. Matanya pun kini kembali beralih ke Fathan. "Kau sudah makan?" tanya Azka.

"Sudah," jawab Fathan singkat membuat Azka tak punya bahan lagi untuk di bicarakan. Ia memang tidak terlalu pandai untuk sekedar berbincang panjang lebar dan beruntungnya Fathan sangat memakluminya. Lelaki itu betah berlama-lama dengan Azka yang bahkan bisa seharian penuh tidak mengeluarkan suara. Baginya Azka memang pribadi yang unik. Orang hanya akan tahu jika lelaki itu baik ketika mereka sudah benar-benar dekat dan mengenalnya. Azka memang berperangai dingin tetapi sebenarnya ia adalah lelaki yang hangat dan penyayang. Di tambah tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain. Sosok yang pas untuk di jadikan sahabat menurut sudut pandang Fathan.

Perkuliahan akhirnya di mulai. Mereka kini tengah sibuk dengan tugas yang di berikan dosen setelah satu jam lebih mendengarkan ceramah. Fathan beberapa kali mengikuti arah lirikan mata Azka yang mengarah kepada Andrea. Ia hanya menggelengkan kepalanya sekaligus heran. Pasalnya, Azka dan Andrea cukup dekat tapi sahabatnya itu justru mengaku mereka hanya sebatas mengenal. Fathan memang tidak mengenal Andrea dengan baik. Mereka hanya bertemu dengan rentang waktu lama dalam beberapa kesempatan karena kebetulan satu kelas. Ia ingin sekali memaki kebodohan Azka yang membiarkan gadis cantik itu bebas tanpa status dengannya. Menurutnya, Azka sangat cocok dengan Andrea dimana semua keterbalikan sifat Azka ada pada gadis itu. Jadi jika mereka bersama maka aka nada pekerjaan masing-masing untuk saling menyesuaikan diri. Fathan terkekeh dengan pemikirannya sendiri membuat Azka menatapnya bingung tapi tak berlangsung lama karena mereka harus fokus pada dosen yang kini ada di depan. Azka mendengus kesal karena mendapat tatapan mengejek dari Fathan. Entah mengapa ia merasa Fathan sedari tadi memperhatikan dirinya. Lelaki itu bahkan terkekeh pelan sembari melempar pandang padanya yang semakin membuatnya yakin bahwa sahabatnya itu tahu tentang dirinya.

"Bodoh," lirih Fathan tanpa suara membuat Azka mendelik kesal.

avataravatar
Next chapter