16 Bab 16 Perhatian Azka

Mata kuliah terakhir telah selesai. Andrea segera mengemasi bukunya karena Daren berjanji akan menjemputnya. Binar ceria Andrea tak luput dari penglihatan Azka yang belum berani mendekati gadis itu karena tak mau menjadi bahan pembicaraan teman-teman mereka. Azka memperhatikan Andrea yang bersusah payah bangkit dari duduknya hingga berjalan keluar kelas dengan tertatih. Dalam hatinya sedih melihat hal itu, namun egonya ternyata lebih tinggi dari keinginannya dan berakhirlah ia menjadi penonton dari kesulitan gadis itu. Ia bahkan hanya mampu mengesah pelan saat Andrea melewatinya begitu saja tanpa menatapnya. Cukup lama Azka berdiam diri di dalam hingga kelasnya sepi. Segera ia bangkit dan berjalan tergesa untuk menyusul gadis itu. Azka melemparkan pandang ke seluruh jalan kampus hingga sampai di depan gerbang. Ia kembali mengesah pelan saat tak mendapati Andrea di sana. Azka menunggu beberapa saat berharap masih bisa menemukan gadis itu, namun hasilnya nihil. "Kemana dia? Kenapa cepat sekali menghilang?" gumamnya sembari berlalu menuju halte dengan langkah gontai. Ia mulai berpikir jika Andrea pergi bersama lelaki yang beberapa kali sempat menjemputnya itu. Namun, pikiran itu menguap entah kemana saat sepasang netranya mendapati sosok yang ia cari tengah duduk sembari memainkan gawai di halte. Senyum samar tersungging di bibir lelaki jangkung itu. Tak ingin berlama-lama, Azka melebarkan langkah kakinya namun tanpa suara hingga sampai di dekat gadis itu.

"Akhhh…!" pekikan Andrea saat tiba-tiba tubuhnya terangkat terdengar nyaring di telinga Azka. "Turunkan aku," ucapnya lagi saat melihat siapa pelakunya.

"Kita pulang," ucap Azka singkat tapi tak bisa dibantah.

"Aku memang akan pulang, tapi tidak denganmu," kesal Andrea dengan tetap meronta agar di turunkan. Jujur saja ia sangat malu saat ini karena menjadi pusat perhatian orang yang sedang menunggu bus.

"Diam," suara dingin Azka yang paling di benci Andrea. Lelaki itu kemudian menurunkan tubuh gadis itu di atas sebuah kursi di dalam halte untuk menunggu bus mereka datang. Ia kembali melepas jaketnya untuk menutupi paha Andrea yang terekspos karena rok mini yang dipakainya. Ia berdecak kesal tapi tak mengeluarkan suara apapun. Dengan menutup telinganya dari bisik-bisik orang, Azka mengikatkan kedua lengan jaketnya pada Andrea yang kini sudah berdiri di hadapannya. Tak hanya itu, Azka juga kembali memapah tubuh Andrea menuju bus yang sudah mereka tunggu sejak tadi. "Buang semua baju kurang bahanmu nanti," tuturnya dengan nada kesal saat membantu Andrea duduk, sedangkan dirinya memilih tetap berdiri di hadapan gadis itu.

Tak berbeda jauh, kekesalan Andrea pada lelaki jangkung nan dingin itu sudah tidak terbendung lagi. Sudah beberapa kali ia berdecak namun enggan berbalas argumen. Baginya, Azka tidak perlu ikut campur apa pun urusannya karena hubungan mereka tidak sedekat itu. Ditengah kesibukannya mengumpati Azka dalam hati, Andrea berjenggit kaget saat ponsel yang ada di dalam tas berdering. Sudut bibirnya terangkat ke atas saat menemukan ID Caller yang muncul di layar ponselnya. "Halo," sapanya tanpa menghilangkan senyuman yang tiba-tiba membuat Azka kembali kesal.

"….."

"Tidak perlu menjemputku. Aku sudah pulang bersama teman, dia akan menginap," ucap Andrea.

"..."

"Aku juga merindukanmu," sahut Andrea lagi yang kini mengundang resa keingintahuan Azka. "Aku akan mengirim kabar," ucapnya lagi.

"….."

"Baiklah. Jangan lewatkan makan siangmu," pesan Andrea kemudian memutus sambungan telpon sembari menghela napas. Ia melirik tajam pada Azka yang mencuri pandang ke arahnya sejak tadi. Peradaan kesalnya datang lagi. Seharusnya sekarang ia bisa bersama Daren, tapi karena sifat pemaksa lelaki jangkung itu berakhirlah ia disini, di dalam bus menuju apartemen. Tak ingin berlama-lama beradu lirikan tajam, Andrea memilih mengalihkan tatapannya pada pemandangan yang mereka lewati. Ia tak bisa menjamin bahwa jantungnya akan tetap sehat jika terus menatap wajah dingin tapi disukainya itu. Entah mengapa melihat wajah dingin yang minim ekspresi itu sangat di sukai olehnya.

Tak jauh berbeda, dari tempatnya berdiri kekesalan Azka semakin berlipat-lipat pada Andrea. Setelah karena rok mini, kini kekesalannya karena gadis itu menerima telpon dari seorang lelaki. Gadis itu menampilkan ekspresi wajah yang bahkan selama ini tak pernah ia tunjukan jika sedang bersama Azka. Ceria, rindu begitu dalam dan tentu senyum bahagia yang tak pernah di sembunyikan. Dalam hati Azka ingin sekali menghajar lelaki yang berani membuat gadis itu menampilkan dirinya yang sesungguhnya. Selama ini di hadapan Azka, Andrea selalu ketus dan jarang tersenyum, tapi mengapa bersama lelaki yang entah siapa gadis itu justru menjadi sosok yang tak dikenalinya. Bahkan gadis itu harus berpakaian seksi yang bisa mengundang hasrat tidak waras dari seseorang. Dan yang paling mengesalkan adalah ia tidak ada hak untuk melarang Andrea. Azka menghela napas pelan untuk mengurangi kekesalannya. Kini tangannya terulur ke Andrea. "Ayo," ucapnya dengan nada dingin membuat Andrea mengernyit heran karena dalam sekejap lelaki itu sudah berubah. Azka membantu Andrea berdiri dan menuntunnya menuju lobi apartemen. Ia masih setia berjalan beriringan dengan Andrea hingga di dalam lift. Dengan tanpa kentara, Azka menjauhkan kepalanya dari kepala Andrea yang hampir sejajar dengannya. Lelaki itu kembali berperang dengan keinginannya untuk tidak mencium puncak kepala yang gadis itu. Ia harus tetap menjaga kewasarasanya agar tidak memangsa gadis dengan rok seksi dengan aroma tubuh yang berhasil membangkitkan sesuatu di dalam dirinya. Azka bisa merasakan bahu Andrea beberapa kali naik turun yang menandakan gadis itu sedang menghela napas. Gadis itu mungkin juga merasakan ketidaknyamanan karena sedari tadi pinggangnya di pegang erat olehnya.

"Kenapa lama sekali," gumam Andrea yang terdengar jelas oleh Azka. Ia berusaha mengontrol detak jantungnya yang sangat tidak sehat saat ini. Ia tidak ingin lelaki di sampingnya itu mendengar bagaimana jantungnya berulah karena posisi mereka yang sangat dekat.

Tak berapa lama keduanya mengesah lega karena pintu lift akhirnya terbuka. Azka kembali menuntun Andrea menuju kamar gadis itu. Ia melirik jemari lentik Andrea yang memasukan setiap digit kombinasi password kemudian menyunggingkan senyum tipis tak kentara. Ia mendudukkan Andrea di ruang tengah.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Andrea saat melihat Azka berlalu menuju dapurnya. Kini ia hanya menyunggingkan senyum manis saat melihat lelaki itu kembali dengan dua gelas air putih di tangannya. "Kau pasti membuka kulkas," ucapnya disertai kekehan kecil.

"Kenapa kulkasmu hanya berisi air putih? Memangnya kamu tidak pernah masak?" ucap Azka setelah Andrea menerima gelas yang diulurkannya.

"Aku tidak bisa masak," lirih Andrea sembari menyerahkan gelasnya kembali pada Azka yang kini berdecak kesal.

"Lalu apa bisamu?" tanya Azka sembari menatap kesal gadis yang sekarang tersenyum canggung ke arahnya. "Setidaknya isi sereal dan susu atau roti. Jadi kau tetap ada persediaan makanan untuk mengganjal perut," ucapnya kemudian berlalu meninggalkan Andrea yang kini ia yakini tengah memberengut kesal karena diceramahi olehnya.

"Kau tidak pulang?" tanya Andrea saat melihat Azka kembali duduk dan mengeluarkan ponselnya. Ia berdecak kesal saat lelaki di sampingnya itu hanya meliriknya sekilas. "Kau ingin makan sesuatu? Biar aku pesankan," tanya Andrea karena sejujurnya ia juga sangat lapar.

"Aku sudah memesannya," sahut Azka acuh sembari terus menekan remote tv yang entah sejak kapan sudah di kuasainya.

"Kenapa tidak bertanya dulu?" Andrea menatap lelaki itu tidak percaya.

"Cerewet," hanya itu komentar Azka membuat Andrea mengerucutkan bibirnya.

Tak berapa lama Andrea sumringah ketika mendengar bel kamarnya berbunyi. Ia yakin itu adalah layanan pesan antar yang di pesan Azka. Kenapa sayur?" senyumnya menguap begitu saja ketika melihat Azka mulai merapikan sayuran ke dalam kulkas bersama buah dan susu segar. Bukan makanan siap saji seperti harapannya.

Azka tampak acuh dengan protes dan rajukan Andrea. Ia bahkan hanya melirik sekilas saat gadis itu berjalan tertatih menyusulnya. "Sayur itu bagus untuk kamu yang susah makan. Jangan makan junkfood terus," ucapnya.

"Aku lapar." Andrea mengabaikan ucapan Azka sembari menatap lelaki yang masih sibuk dengan belanjaannya itu.

Azka enggan menyahuti. Lelaki itu kini mengambil peralatan makan kemudian menuangkan cah kangkung, bebek panggang dan nasi. Ia tersenyum saat melihat binar bahagia di wajah ayu Andrea. "Makanlah," ucapnya sembari menarik kursi untuk dirinya sendiri dan ikut makan siang dalam diam. "Aku bisa membantumu jika di rumah, tapi tidak di kampus," akhirnya Azka mengungkapkan apa yang ada di pikirannya sejak tadi usai melihat Andrea melahap suapan terakhirnya. Ia menunggu beberapa saat untuk mengetahui bagaiman respon Andrea. Ia mengesah pelan karena ternyata Andrea lebih memilih diam. Ia pun beranjak untuk membersihkan piring bekas makan. Ia melirik Andrea yang kini tengah bangkit menuju kulkas dan menuangkan minum. Gadis itu berlalu begitu saja menuju ruang tengah. "Kau perlu sesuatu?" tanyanya sembari mendaratkan bokongnya di samping Andrea.

"Pulanglah," ketus Andrea membuat Azka paham bahwa gadis itu enggan membahas masalah tadi. "Aku bisa melakukannya sendiri," imbuhnya karena tidak ada sahutan.

Azka terkekeh pelan setelah memilih tidak menyahuti ucapan Andrea. "Dasar bocah," ucapnya sembari mengusap sudut bibir Andrea dengan tisu membuat gadis itu mengumpat dalam hati karena tidak bisa mengontrol detak jantungnya. "Aku akan pulang. Istirahatlah," ucapnya sembari beranjak. Tak lupa mengusap sayang puncak kepala Andrea.

"Jangan menyentuhku sembarangan," kesal Andrea membuat tawa Azka meledak sebelum menghilang di balik pintu. Gadis itu mengusap-usap dadanya untuk menetralkan detak jantungnya yang semakin tidak beraturan.

avataravatar
Next chapter