15 Bab 15 Terlukai Ego

Azka terbangun saat mengingat Andrea yang mungkin hari ini tidak akan bisa berangkat ke kampus karena kakinya masih sakit. Ia meringis pelan mengingat bagaimana gadis itu akan melakukan kegiatan paginya mengingat Reyma tidak mau menginap karena sedang ada keperluan. Ia meraih gawai yang sedari tadi malam ia simpan di atas nakas. Ia beberapa kali menimbang untuk menghubungi gadis itu dan menanyakan bagaimana keadaannya saat ini, namun akhirnya ia batalkan karena mereka tidak sedekat itu selama ini. Dengan setengah tenaga, ia menyiapkan sarapan untuknya sendiri sebelum berangkat ke kampus. Suapan demi suapan yang masuk ke dalam mulutnya kembali mengingatkannya pada Andrea yang entah kini sedang apa dan sekali lagi meringis pelan membayangkan bahwa Andrea sedang menyiapkan sarapan atau bahkan berjalan ke kamar mandi. Entah dorongan darimana, Ia pun bergegas keluar kamar begitu yakin jika Andrea tetap saja berangkat kuliah meskipun kakinya belum pulih. Dayung bersambut, Azka tersenyum tipis saat melihat gadis yang sedari kemarin sudah berhasil membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak sedang kesulitan menutup pintu kamarnya. Ia pun berdecak kesal dan berjalan mendekat. "Mau kemana?" tanyanya untuk memastikan bahwa gadis itu akan kuliah.

"Kuliah," sahut Andrea singkat.

Tanpa diminta atau bahkan persetujuan, Azka membantu Andrea. Ia memapah tubuh gadis itu untuk berjalan menuju lift mengabaikan keterkejutan bahkan penolakan. "Kau yakin berangkat kuliah?" tanya Azka merasa khawatir.

Andrea mengangguk. "Aku baik-baik saja," jawabnya membuat Azka menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kau tidak percaya?" tanya Andrea sembari menatap wajah aneh Azka. "Aku bukan gadis manja seperti yang ada di pikiranmu," ungkapnya menunjukkan ketidaksukaan atas tatapan lelaki itu.

"Bukan begitu. Kau sangat kesulitan berjalan, apa tidak lebih baik ijin untuk hari ini? Aku yakin dosen akan memakluminya," sahut Azka segera menyadari perubahan pada Andrea.

"Aku bosan di kamar saja." Terdengar suara helaan napas berat dari Andrea membuat Azka merasa iba. "Dan kau tidak perlu berlebihan. Aku baik-baik saja," imbuhnya.

Azka membantu Andrea masuk ke dalam lift dalam diam. Ia menghela napas menyadari bahwa gadis yang dibantunya itu sangat keras kepala. "Orang buta pun tahu kalau kondisimu bisa dibilang tidak baik-baik saja," sahutnya kemudian sembari melepas tangannya yang setia melingkari pinggang Andrea.

Andrea terhuyung dan hampir jatuh jika Azka tak meraih tubuhnya. "See? Baik-baik saja seperti apa yang kau maksud?" ucap Azka.

Andrea mengesah kesal pada tindakan yang menurutnya tidak berperikemanusiaan dari pria jangkung nan dingin itu. Ia tahu Azka memang tidak akan mungkin membiarkannya dalam kesulitan namun kali ini egonya lebih tinggi dibandingkan hal lain sehingga dengan segera Andrea memukul lengan Azka yang masih bisa dijangkaunya. "Kalau tidak berniat membantu pergi saja," sewotnya.

Azka terkekeh. "Kalau aku tidak berniat membantumu, sudah ku biarkan kau meraung kesakitan kemarin di lapangan. Pulanglah dan mandi keramas agar kotoran di kepalamu hilang," ucap Azka sembari mencium tangannya jijik setelah mengusap rambut Andrea.

"Aku sudah keramas. Jangan sembarangan," cebik Andrea yang hanya ditanggapi kekehan ringan lagi oleh Azka. Tak ada lagi perdebatan diantara mereka saat menunggu benda persegi itu mengantarkan hingga ke tujuan. Azka berusaha agar tidak semakin menarik tubuh Andrea untuk mendekat padanya. Ia tidak ingin di cap sebagai lelaki mesum apalagi oleh gadis semacam Andrea. Pandangan Azka lurus ke depan berniat menghindari hal yang tidal di inginkan, namun tindakan itu salah karena di depan sana tampak pantulan tubun sintal Andrea yang ditutupi oleh rok mini dan baju yang tipis. Kerongkongan Azka mendadak sakit untuk menelan saliva. Seketika ia merasa kehausan seperti sudah beberapa hari tidak minum air.

Sementara Andrea yang menyadari hal itu juga menjadi salah tingkah. Meskipun sudah pernah melakukan hal lebih dari sekedar berpelukan dengan Daren, tapi kedekatannya dengan Azka jelas berbeda. Daren membayarnya sangat mahal sedangkan Azka hanya lelaki baik yang kebetulan menolongnya saat dalam keadaan sulit. Ia merasa seperti tidak layak untuk bersanding dengan lelaki yang kini sedang berusaha menutupi kegugupan yang sama seperti dirinya.

Helaan napas lega sangat kentara dari keduanya pasalnya mereka pun kini telah keluar lift dan berjalan menuju halte. Tak ada yang memulai pembicaraan begitupun dengan Andrea yang biasanya sangat banyak ide untuk membuat Azka memberikan perhatian sepenuhnya kepada dirinya. Ia merasa bingung harus membahas apa kali ini karena kemarin pun lelaki itu menemaninya seharian. Dan sudah bisa di pastikan banyak hal yang ia katakan. Andrea semakin terdiam mengingat pertanyaan lelaki itu yang sama sekali tak bisa di jawabnya hingga nanti, mungkin. Ia berharap Azka tidak lagi mengungkit tentang hal itu, cukup kemarin saja ia merasa di pojokan dengan sikap yang entah apa maksudnya.

Berbeda dengan Andrea, Azka kini harus berjuang sekali lagi untuk menahan diri agar tidak bertindak lebih ketika tubuh Andrea begitu dekat bahkan menempel pada tubuhnya. Tak hanya itu, tangannya pun masih setia berada dipinggang gadis itu. Dengan susah payah Azka menjauhkan hidungnya dari puncak kepala Andrea yang begitu menguarkan aroma memabukan jika di nilai dari sisi kelelakiannya. Biar bagaimanapun dirinya adalah lelaki normal dan dewasa, tidak di pungkiri berdekatan dengan seorang wanita yang juga terbilang dewasa akan membangkitkan sesuatu yang tidur meskilun selama ini ia jarang dan bahkan tidak pernah sedekat ini dengan makhluk yang satu ini. Ia memapah Andrea hingga ke dalam bus dengan sangat hati-hati karena khawatir kaki gadis itu akan kembali merasakan sakit. Ia pun segera mencarikan kursi untuk gadis keras kepala itu. Sedikit bernapas lega karena kini Andrea duduk dengan manis di hadapannya. Ia memilih berdiri dan menghalangi beberapa lelaki yang sedari tadi memandangi Andrea karena memakai rok mini. Azka berdecak kesal karenanya. Ia menatap tajam setiap lelaki yang sekedar memberikan senyuman untuk Andrea dan berlaku seolah dia adalah pemilik gadis cantik itu. "Buang semua baju kekurangan bahan milikmu nanti," kesalnya. Tanpa menyadari apa yang dilakukannya, Azka justru membuat Andrea tersenyum senang sekaligus mengejek namun tidak menyahut sepatah katapun.

Waktu berlalu, mereka sudah sampai di halte kampus. Masih dengan susah payah Azka membantu Andrea turun dari bus dan keluar halte. Tak ada kata terucap setelah ia menyadari senyuman mengejek Andrea selama di bus. Ia bahkan tak mengucapkan terimakasih karena ongkos bus kali ini di bayar oleh Andrea. Ia merasa apa yang dilakukan Andrea belum seberapa di dibandingkan dengan apa yang ia lakukan.

Begitu melangkahkan kaki di gerbang kampus, bisikan demi bisikan di abaikan oleh Azka dan Andrea. Namun semakin ke dalam bisikan itu semakin terdengar nyaring hingga membuat Andrea muram. Melihat hal itu tentu saja Azka merasa prihatin. Ia mulai merasa risih juga pada akhirnya. Ia ingin tetap membantu Andrea tapi egonya merasa tidak terima dengan bisikan tentang kedekatannya dengan Andrea. Hingga tanpa aba-aba Azka meninggalkan Andrea begitu saja. Ia tahu gadis itu akan kesusahan, tapi ia juga tidak mau jika menjadi bahan pembicaraan seisi kampus. Mereka juga tidak dekat seperti apa yang di bicarakan anak-anak kampus. Azka merasa tidak terima dengan hal itu.

Andrea mengesah frustasi melihat punggung Azka semakin menjauh. Ia berusaha berjalan sendiri menuju ruang kelasnya. Ia merasa heran dengan perilaku Azka yang meninggalkannya begitu saja padahal hanya di katakan jika sedang sekat dengannya. Karena menurutnya memabg mereka dekat sebagai teman, tidak lebih. Tanpa sadar Andrea mengusap dadanya yang merasakan perih. Entah karena bisikan-bisikan menyesatkan itu atau sikap Azka yang justru memilih meninggalkannya. Ia pun memilih diam. Berjalan tertatih menuju kelas dan akan kembali bertatap muka dengan lelaki dingin itu. Air muka Andrea berubah menjadi datar saat melihat Azka yang juga sedang menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Entah mengapa Andrea merasa tidak perlu berbaik-baik kepada lelaki yang sudah membantunya itu. Kejadian tadi sudah cukup menunjukkan bagaimana sebenarnya lelaki itu menurut Andrea. Ia tidak akan memerlukan bukti ataupun penjelasan tentang kata teman yang selama ini mereka sandang. Andrea menyentak tangan Azka yang terulur untuk membantunya duduk. Ia tidak memerlukan bantuan lelaki itu atau siapapun. Andrea masih bisa melakukannya sendiri. Begitulah yang ada dipikiran Andrea. Ia bahkan tak memperdulikan gumaman Azka yang sepertinya memprotes tindakannya baru saja. Ia sudah tahu bagaimana tabiat lelaki itu, jadi ia tidak perlu berusaha untuk menjadi orang baik.

"Kemarikan bukumu," Azka justru semakin mendekat melihat penolakan Andrea.

"Pergilah," tolak Andrea kali ini dengan nada dingin.

"Aku bantu," ucap Azka masih berusaha mendekat namun harus di urungkan keyika melihat tangan Andrea terangkat.

"Aku tidak memerlukannya," sahut Andrea usai menurunlan tangannya tanpa menoleh.

"Biarkan aku membantumu," Azka masih mencoba peruntungannya.

"Tidak perlu berlaku seolah kau perduli padaku, aku tahu itu hanya akal burukmu entah dengan tujuan apa," ucap Andrea.

Azka menatap nanar Andrea yang bahkan sama sekali tak menoleh ke arahnya. "Kau menilaiku seperti itu?" ia tak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu.

"Lalu apa? Kau justru meninggalkan aku hanya karena ucapan tidak penting itu," kesal Andrea.

"Aku hanya tidak ingin menjadi bahan gunjingan," jelas Azka.

"Kau sama saja dengan para lelaki di luaran sana," Andrea mulai lelah.

"Apa maksudmu?"

"Apa ini yang kau inginkan?"

avataravatar
Next chapter