10 Bab 9: Dia Pantas Mati

Kabar mengenai kematian Indra Wijaya kembali menghebohkan publik. Banyak yang menyayangkan jatuhnya korban ketiga ini. Tidak sedikit pula yang menyalahkan kinerja polisi yang dianggap lelet dalam menangani suatu kasus.

Padahal, pihak kepolisian pun dibuat sama terkejutnya. Bahkan lebih geram daripada yang terlihat. Mereka tidak menyangka akan ada korban dalam jarak waktu yang begitu dekat.

Mengingat, kematian dari korban pertama berjarak enam hari sampai pada jatuhnya korban kedua. Berpola. Awalnya semua berpikir seperti itu. Namun, ternyata pola itu berubah menjadi tidak beraturan.

Sama halnya dengan dua korban sebelumnya, luka yang ditemukan pada jasad Indra Wijaya pun sama. Yaitu luka parah di kepala dan kedua tangan yang dipotong. Serta tanda berupa huruf X dan angka 10.

Keadaan ini dengan jelas mengidentifikasikan bahwa pelaku adalah orang yang sama. Tanda yang tinggalkan pun sudah pasti tanggal eksekusi. Sementara untuk huruf X, belum ditemukan apa maksudnya itu.

Arvin melempar beberapa lembar foto korban ke hadapan Daryo. Pria yang sebelumnya menjadi saksi atas kematian Anita Azahri Wijaya, tertangkap basah berada di kediaman korban ketiga oleh Arvin dan Kino. Dia satu-satunya orang mencurigakan yang berada di TKP selain pihak kepolisian dan beberapa wartawan.

"Anda yang membunuh mereka bertiga?"

Arvin menatap pria itu dengan tajam. Meninjau setiap gerakan yang dia lakukan. Bertanya tanpa basa-basi adalah cara yang biasa Arvin lakukan dalam melakukan interogasi. Dia tidak mau membuang waktu.

"Bukan saya, Pak. Saya tidak tahu apa-apa."

Sudah lebih dari lima jam Daryo berada di sana. Namun, Arvin dan Bian baru datang beberapa menit yang lalu. Bulir keringat bercucuran dari dahinya.

Ruang interogasi yang awalnya terasa dingin mencekam, kini mulai membuatnya kepanasan. Belum lagi, berhadapan dengan dua polisi ini untuk yang kedua kali membuat dirinya menjadi gugup.

"Apa kesaksian yang Anda berikan pada kematian korban kedua juga merupakan rekayasa?"

Arvin melipat kedua tangannya di dada. Punggungnya dia sandarkan ke sandaran kursi. Terlihat santai, tapi tatapan matanya fokus pada satu titik.

"Tidak, Pak. Apa yang saya katakan waktu itu benar adanya." Daryo bersikukuh dengan jawabannya.

"Lantas apa yang Anda lakukan di kediaman Indra Wijaya dini hari tadi?" Nada bicara Arvin meninggi. Tampaknya dia mulai kesal.

Berhadapan dengan orang seperti Daryo sudah bukan yang pertama bagi Arvin. Ada yang tertangkap di TKP, ada pula yang ditangkap karena banyak bukti yang mengarah padanya, tapi orang-orang itu selalu mengelak. Bersikukuh tidak mau mengaku, tapi setelah dicecar banyak pertanyaan, baru akan menunduk dan menangis. Menyesal, itu kata yang terucap dari mulut mereka pada akhirnya.

Padahal, jika memang melakukan apa yang dituduhkan, tinggal mengaku saja. Daripada malah membuang waktu. Toh jika sudah ditangan polisi, para pelaku kejahatan hanya akan dipenjara, tidak akan dikeroyok sampai mati seperti yang dilakukan masyarakat biasa.

"S-saya ... sa-saya hanya ...." Daryo tergagap. Entah apa yang ada di pikiran pria itu.

"Hanya kebetulan lewat?" Bian memotong ucapan Daryo. Dia yang sedari tadi hanya menyimak dan mencatat, rupanya dibuat geram juga.

Daryo langsung mengangguk, tanpa memikirkan konsekuensinya akan seperti apa.

"B-benar. Saya hanya lewat."

"Jika Anda hanya lewat, seharusnya Anda berada di jalan atau berada di antara kerumunan wartawan. Tapi yang terlihat di sini adalah, Anda berada di dalam area kediaman korban. Bukankah itu terlihat bertentangan dengan yang Anda katakan?"

Daryo tampak kembali berpikir. Posisinya saat ini memang benar-benar terpojok. Ditangkap di area TKP, bukanlah suatu yang menguntungkan. Semua pihak pun akan mencurigai dirinya. Pria itu sudah hampir putus asa.

"Dan lagi, Pak. Meskipun Anda benar-benar hanya lewat. Meskipun Anda berada di jalan atau di antara para wartawan, Anda akan tetap dicurigai." Bian kembali menambahkan. Nada bicaranya terdengar lebih santai.

Dia menghargai bahwa dalam penyidikan semua kemungkinan harus diselidiki, tapi dia harus berpikir rasional. Tidak terbawa emosi atau memberi tekanan pada orang yang sedang diinterogasi. Meski fakta yang terlihat memang menyudutkan Daryo, tapi siapa tahu jika ada fakta lain yang tersembunyi, bukan? Dan lagi, memberi tekanan pada orang lain bukanlah hal yang dibenarkan.

"Anda juga satu-satunya orang yang mengetahui kasus pembunuhan kedua. Ada kemungkinan Anda merekayasa kesaksian tersebut. Kedua hal ini benar-benar menyudutkan Anda." Arvin membulak balik kertas laporan atas kesaksian Daryo beberapa hari lalu.

"Saya berani bersumpah. Saya tidak berbohong, Pak." Daryo menunduk. Kedua tangannya yang diborgol terangkat untuk menyeka keringat. Entah akan sampai kapan dia ditanyai seperti ini. Nasibnya benar-benar sial.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Seseorang muncul dari daun pintu. Orang itu tidak memasuki ruangan, melainkan hanya mengintip.

"Kanit Gerdian memanggilmu, Arvin," ucap orang itu. Dia ternyata salah satu anggota Unit I juga.

Arvin menghela napasnya sejenak. Lalu beralih menatap Daryo dan rekannya itu bergantian. Raut tidak rela terpancar jelas dari wajahnya. Jujur saja, dia tidak mau melewatkan interogasi ini dan membiarkan Bian seorang diri yang melakukannya. Akan tetapi, dia juga tidak mungkin membantah perintah Kanit Gerdian.

Dengan langkah terpaksa, Arvin meninggalkan ruangan. Sebelumnya, Bian sudah mengatakan jika dia tidak akan mengambil bagian Arvin. Dia akan menunggu dan melanjutkan interogasi nanti. Lagi pula, apa yang harus dia tanyai? Pertanyaan yang sama dan menghasilkan jawaban yang sama, terlalu monoton. Bian tidak terlalu pandai melakukan interogasi.

Arvin menghampiri Kanit Gerdian yang sedang duduk di kursinya. Dia terlihat fokus membalik beberapa lembar kertas di tangannya. Sesekali menandai bagian yang menurutnya penting dengan pulpen.

"Anda memanggil saya, Komandan?"

Kanit Gerdian langsung mengalihkan perhatiannya pada Arvin. Dia memberikan selembar kertas pada penyidik muda itu. Tanpa berucap, dan kembali sibuk sendiri.

Arvin membaca isi kertas itu dengan saksama. Matanya dengan jeli menangkap setiap huruf yang tersusun. Pun sebuah foto seorang pria yang terletak di pojok kanan atas tidak dia lewatkan.

Kedua bola matanya membulat. Dia tahu pria itu. Pun mengenai beberapa keterangan yang tertulis di sana.

"Aku langsung memeriksanya tadi pagi, tepat setelah kau menangkap saksi itu. Dan ternyata benar soal dugaanmu, dia adalah karyawan yang kita bahas sebelum malam kejadian." Kanit Gerdian menerangkan. Kedua tangannya mengusap wajah yang terlihat lelah. Sampai saat ini, dia belum memejamkan mata barang satu menit pun. Sungguh hari yang sibuk.

Arvin tetap terdiam. Ingin penjelasan lebih, tapi Kanit Gerdian malah balik menatapnya.

"Kau akan memerlukan itu untuk proses interogasi," ucap Kanit Gerdian pada akhirnya.

"Jadi Anda memanggil saya hanya untuk ini?" Arvin mengangkat kertas itu.

"Kau tidak mau?"

"Mau. Sangat mau. Hanya saja … " Arvin terlihat berpikir, "tidak ada. Terima kasih, Komandan."

Dia memberi hormat dan berjalan meninggalkan ruangan. Kepalanya menggeleng beberapa kali. Tidak habis pikir dengan tingkah Kanit Gerdian yang menurutnya membuang waktu. Padahal di waktu genting seperti ini, waktu menjadi sangat berharga daripada segunung emas. Kanit Gerdian bahkan tidak menanyakan perkembangan proses interogasi yang tengah dilakukan. Benar-benar membuang waktu.

Arvin kembali ke ruang interogasi dengan wajah sedikit berseri. Dia duduk di tempatnya tadi, dan menyeringai ke arah Daryo. Membuat nyali pria itu menciut seketika.

"Baiklah, saya akan bertanya satu kali lagi. Apa yang Anda lakukan di kediaman Indra Wijaya?!" Arvin kembali memulai.

Daryo menunduk. Gelagatnya terlihat semakin  gelisah.

"Baiklah. Jika Anda masih belum mau berterus terang, saya akan mengganti pertanyaannya." Arvin menyerahkan kertas yang diberikan Kanit Gerdian tadi pada Daryo.

Bian menatap Arvin dengan tatapan seolah bertanya, 'kertas apa itu?' tapi rekannya itu tidak menatapnya sama sekali. Membuat Bian pasrah dan kembali pada tugasnya. Arvin jika sedang melakukan interogasi, tidak akan bisa diganggu. Seolah dunia ini hanya miliknya, dan hanya ada dia dan orang yang sedang diinterogasi.

 Daryo membaca kertas tadi. Respons yang dia berikan sungguh di luar dugaan. Dia meremas kertas itu sampai kusut. Kuku tangannya terlihat memutih akibat meremasnya terlalu keras. Pun matanya memerah dan mulai berair.

"Bagaimana perasaan Anda mengenai kematian Indra Wijaya?" Arvin menyeringai. Lagi. Merasa kemenangan ada di genggamannya.

Dia sungguh penasaran akan hal ini sejak tadi. Seseorang yang pernah bersitegang dengan korban, tidak jarang memiliki perasaan yang biasa saja mengenai kabar kematian korban. Tidak jarang pula yang merasa bahagia. Dan dia ingin tahu perasaan Daryo seperti apa.

"Dia pantas mati!"

Setelah hening untuk beberapa saat, Daryo akhirnya menjawab. Terdapat amarah dalam setiap kata yang dia ucapkan. Pun kertas yang sudah kusut tadi, dia sobek menjadi beberapa bagian.

avataravatar
Next chapter