8 Bab 7: Peringatan

Waktu sudah hampir tengah malam ketika Indra Wijaya pulang dari kantor polisi. Pria tua itu berjalan gontai di trotoar jalan. Merenungi nasibnya yang tinggal sebatang kara, dan miskin.

Memorinya kembali memutar masa jaya, ketika segala yang dia mau bisa didapatkan dengan satu jentikan jari saja. Begitu juga dengan keluarga yang utuh, senantiasa memberinya cinta yang tulus, serta kehangatan tiada dua. Sekarang mereka pun tinggal kenangan. Pergi dengan cara yang teramat kejam.

Jika saja Indra Wijaya tidak tergiur dengan pasar gelap itu, jalan cerita yang dia miliki mungkin tidak akan berakhir setragis ini. Atau mungkin dia beserta anak dan istrinya sudah lama meregang nyawa. Jika diingat lagi, hari ketika dia bergabung dalam bisnis gelap itu, adalah hari yang membingungkan. Membuat dia serba salah.

Ngomong-ngomong soal pasar gelap, Indra Wijaya jadi teringat teman lamanya. Orang itu mati karena menentang adanya pasar gelap dalam bisnis yang mereka jalani. Mengesalkan memang, tapi sepertinya keputusan orang itu lebih baik daripada keputusannya.

Lama berjalan, rasa sakit tiba-tiba menjalar di kedua kaki rentanya. Membuat Indra Wijaya hampir tidak sanggup untuk melangkah lagi. Penyakit di lututnya memang selalu membuat menderita. Tidak bisa diajak bekerja sama. Padahal rumahnya masih lumayan jauh.

Lantas dia berhenti, duduk di trotoar dan meluruskan kedua kakinya. Suasana yang sepi membuatnya leluasa, tapi disisi lain juga membuat merinding. Sejenak dia tampak merenung lagi, meratapi kebodohannya yang menolak untuk diantar oleh petugas.

Setelah rasa sakit di kakinya berkurang, Indra Wijaya kembali berdiri. Mencoba untuk melanjutkan perjalanan meski dengan tertatih. Dia terus melangkah, sampai sebuah taksi berhenti di sampingnya dan sopir taksi itu memintanya untuk masuk.

Indra Wijaya tampak berpikir untuk beberapa saat. Dia tidak ingin menolak, tapi juga ragu. Curiga jika sopir taksi ini akan berbuat hal buruk padanya. Akan tetapi, apa yang sopir itu inginkan dari pria tua dan miskin seperti dirinya? Pasti tidak ada.

Dan pada akhirnya, Indra Wijaya masuk ke dalam mobil. Duduk dengan nyaman, dan menghilangkan semua kecurigaan terhadap si sopir. Sebenarnya dia masih memiliki sedikit uang untuk ongkos taksi, tapi enggan menggunakannya. Ingin berhemat. Itu alasannya.

Rasa nyaman yang dia dapatkan tidak berlangsung lama. Ingatannya tiba-tiba tertuju pada Arvin. Ada hal yang mengganjal tentang polisi muda itu.

"Wajah mereka sangat mirip. Bahkan terlalu mirip." Indra Wijaya bergumam. Dia terus menerus membandingkan wajah Arvin dengan teman lamanya.

Terlarut dalam lamunan, membuatnya tidak menyadari jika sopir taksi di depan terus memperhatikan dari kaca spion. Indra Wijaya baru sadar akan ketidakberesan dari taksi yang ditumpanginya, ketika si sopir berbelok ke arah yang salah.

"Pak sopir, ini bukan jalan menuju rumah saya," ucapnya.

"Aku tahu." Sopir itu berucap dengan nada yang pelan dan dingin, tapi cukup jelas di telinga Indra Wijaya. Jauh berbeda dengan caranya ketika menawari tumpangan gratis kepada Indra Wijaya beberapa menit lalu.

"Saya ingin turun di sini saja."

Si sopir tidak menghiraukan ucapan pria tua itu. Dia justru memacu kendaraannya semakin cepat. Membawa penumpangnya berputar-putar, seolah tidak memiliki tujuan yang tepat.

"Siapa Anda sebenarnya? Apa yang Anda inginkan dari saya?" Panik mulai menyerang. Perasaannya pun berubah tak karuan.

"Kau akan mengetahuinya nanti, Paman."

Indra Wijaya merinding. Nada bicara orang ini benar-benar dingin dan penuh penekanan. Belum lagi, kenapa dia memanggilnya paman? Seolah mereka sudah saling kenal sebelumnya.

Lumayan lama dibawa berputar-putar, akhirnya sopir itu memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah, dengan lampu penerangan yang remang di beranda.

Pria berpakaian serba hitam itu keluar. Lalu membuka pintu penumpang dengan kasar. Menarik Indra Wijaya turun, dan menghempaskan tubuh tua itu ke aspal.

"Apa yang mau Anda lakukan?!"

Indra Wijaya semakin panik. Dia kembali merutuki keputusan yang dibuatnya. Tidak seharusnya dia berhenti untuk curiga. Padahal jika jeli, cara berpakaian pria ini saja sudah tampak mencurigakan. Topi dengan lidah yang hampir menutupi wajah, serta masker yang membuat ekspresinya sulit ditebak.

Pria itu tidak menjawab, dia justru mendekati Indra Wijaya. Berjongkok di aspal, dan menarik rambut penuh uban itu. Di saat yang sama, sebelah tangannya membuka topi serta masker yang dikenakan sejak tadi.

Indra Wijaya dibuat terbelalak dengan apa yang dia lihat. Meski hanya diterangi cahaya remang, tapi wajah pria itu terlihat jelas. Sangat jelas sampai membuatnya tidak perlu lama berpikir di mana mereka bertemu sebelumnya. Serangan panik pun semakin menggila.

"Kau?! Tidak mungkin ... tidak! Ini gila!!" Indra Wijaya melepaskan cengkeramannya. Dia berdiri, lalu dengan tenaga yang tersisa, berlari menghindari pria itu sebisanya.

Tangannya merogoh saku. Menyalakan layar ponselnya dan menekan angka satu. Lalu menempelkan benda tipis itu pada telinganya. Menunggu sambungan telepon terhubung.

"Dia kembali! Dia akan-," Kalimat terputus berbarengan dengan tubuhnya yang ambruk di atas aspal.

Indra Wijaya meringis. Balok kayu yang menghantam tengkuknya benar-benar menimbulkan rasa nyeri yang tidak tertahankan. Di meringkuk di atas aspal. Tangannya menggapai sumber sakit.

Sementara ponselnya terlempar cukup jauh. Suara seseorang terdengar memanggil namanya berulang kali. Sebelum pada akhirnya, pria misterius itu mengambilnya dan menutup sambungan telepon.

"Di saat seperti ini, kau serius malah menghubungi orang itu, Paman?" Pria itu memainkan ponsel Indra Wijaya di udara. Membulak-balikannya seolah itu menyenangkan.

"Kau ... bagaimana bisa?" ucap Indra Wijaya dengan terbata-bata. Sakit di tengkuknya masih terasa. Meski tidak separah tadi.

Pria itu berjalan semakin dekat dengannya. Dia kembali mengayunkan balok kayu ke tubuh Indra Wijaya. Berkali-kali. Membuatnya menjerit akibat rasa sakit yang kembali menjalar di tubuhnya.

"Ampun ... ampuni aku."

Indra Wijaya menyerah. Meski dia kesal, tapi melawan atau memancing emosinya seperti tadi, bukan pilihan yang tepat. Ditambah, ponselnya berada di tangan orang itu. Sungguh sial nasibnya.

"Beri aku satu alasan, kenapa aku harus mengampunimu, Paman?" Pria itu berjongkok. Sorot matanya tajam memperhatikan setiap gerak-gerik Indra Wijaya.

"Aku ... aku akan bertanggung jawab. Aku akan ... berada di pihakmu."

Pria itu menyeringai. Lebih pada mengejek ucapan pria tua yang sebentar lagi meregang nyawa itu. Akan bertanggung jawab, katanya. Akan berada di pihaknya, katanya. Pria itu benar-benar ingin tertawa.

"Bagaimana caramu bertanggung jawab? Menyerahkan diri ke polisi?"

Indra Wijaya mengangguk antusias. Dia tidak memikirkan apa pun lagi selain keselamatannya sendiri. Memang, yang namanya manusia selalu berubah dalam keadaan yang mendesak. Berkhianat sekalipun.

"Kau sudah mengkhianati kami, dan sekarang ingin melakukan hal serupa pada mereka? Hebat!"

Pria itu menarik rambut Indra Wijaya, lalu membenturkannya pada aspal. Satu kali, dua kali, dan seterusnya.

"Am-ampuni aku. Kumohon ... ampuni aku."

Dia bersimpuh di kaki si pria muda. Air mata bercucuran sama derasnya dengan darah yang mulai mengalir dari kulit kepala yang sobek. Mulai terbayang dengan apa yang menimpa anak dan istrinya. Rasa sakit yang mereka rasakan, pasti serupa. Atau mungkin lebih parah dari yang menimpanya.

Pria itu tidak menghiraukannya. Dia justru tertawa cukup lama. Mendengar korban meminta ampun sudah menjadi suntikan semangat baginya. Dia menyukai suara ratapan itu. Keputusasaan itu.

Lagi, dia kembali menghantamkan kepala korban ke aspal. Menyiksanya sampai nyawa pria itu terbang ke alam lain.

"Tangan kanan untuk peringatan, dan tangan kiri untuk mengingatkan kembali." Dia bergumam setelah selesai memberi tanda di telapak tangan Indra Wijaya yang sudah dipotong. Setelahnya beranjak pergi dengan senyum misterius terukir di wajahnya.

Sementara tidak jauh dari tempat dia mengeksekusi Indra Wijaya, seseorang memperhatikannya dengan ponsel menempel di telinga.

avataravatar
Next chapter