7 Bab 6: Dalam Bahaya

Para anggota Unit I termasuk Kanit Gerdian, terlihat berkumpul dalam ruangan yang sepenuhnya berdinding kaca tebal. Tempat rapat, begitulah Bian menyebutnya. Mereka duduk di kursi yang tersedia dengan beberapa gelas kopi terhidang di meja, menghadap papan tulis yang terbuat dari kaca juga. Lengkap dengan foto Dewi Intan yang tengah berpose memeluk Anita menempel di sana. Selain itu, terdapat beberapa foto kondisi mayat kedua korban disertai keterangan yang ditulis menggunakan spidol hitam.

Waktu memang sudah menunjukkan hampir pukul satu dini hari, dan beberapa petugas berseragam terlihat keluar dan memasuki mobil untuk melakukan patroli malam. Akan tetapi, suasana di kantor polisi itu masih lumayan ramai. Kebanyakan dari mereka memilih lembur atau sengaja menginap demi menyelesaikan kasus yang tengah ditangani.

Kanit Gerdian menyesap kopinya yang hampir dingin. Udara malam yang menusuk, menjadi salah satu pengaruh cepatnya perubahan suhu pada minuman itu. Pun Bian, dia terlihat memperhatikan papan tulis di depannya, sembari menggosok telapak tangan yang terasa dingin.

"Ada yang aneh dengan Indra Wijaya." Arvin yang sedari tadi hanya duduk dan menatap ponselnya, kini memulai pembicaraan. Wajahnya memasang ekspresi serius yang tidak dibuat-buat.

"Apa yang kau temukan?" Kanit Gerdian beralih pada anak buahnya itu. Jika Arvin sudah memulai pembicaraan terlebih dahulu, itu pasti hal penting.

"Aku memeriksa catatan tentangnya. Dia terlibat skandal penggelapan uang pensiun beberapa karyawan, tapi tidak dipenjara. Bukankah itu aneh?"

"Ah, soal itu. Kudengar para karyawannya memilih jalur damai. Mereka hanya menuntut ganti rugi berupa uang, tanpa menyeretnya ke meja hukum." Kanit Gerdian menerangkan. Dia cukup tahu banyak mengenai kasus yang menimpa beberapa perusahaan besar.

"Semudah itu?" Arvin masih belum puas dengan jawaban yang dia dapatkan. Bagaimana pun, menurutnya Indra Wijaya seharusnya dijebloskan ke dalam jeruji besi. Karena sudah merugikan banyak pihak, dan apa yang dia lakukan itu sudah termasuk korupsi.

Kanit Gerdian mengangguk. Lalu menatap ke luar jendela. Langit di luar sana tampak tak berbintang. Hitam muram seolah ingin menumpahkan hujan.

"Sebenarnya tidak semudah itu. Salah satu karyawan pernah melaporkan jika Indra Wijaya terlibat dalam kegiatan suatu pasar gelap, tapi beberapa waktu kemudian, laporan itu dicabut dan malah berbalik si karyawan yang masuk penjara."

Bian menyimak, tanpa mau ikut campur. Sesekali dia terlihat mengingat-ingat, lalu mengangguk. Menyetujui penjelasan Kanit Gerdian. Dia memang pernah mendengar laporan yang terjadi pada tahun 2014 silam, yang cukup membuat heboh publik.

"Apa motif di balik laporan yang dilakukan karyawan itu? Apa dia termasuk yang dirugikan?" tanya Arvin.

Kanit Gerdian mengangguk sebagai jawaban. Dari informasi yang beredar, karyawan itu merasa tidak puas dengan ganti rugi yang dia dapatkan, dan membuat laporan tersebut. Pihak kepolisian sempat menanggapinya dengan serius, karena kesaksian si karyawan cukup meyakinkan. Bahkan, dia menyebut-nyebut jika pasar gelap yang Indra Wijaya ikuti ada kaitan dengan maraknya penyebaran narkoba di Jakarta tahun itu.

Tidak berselang lama setelah penyelidikan dilakukan, tiba-tiba rumah si karyawan dikepung oleh penyidik dari unit narkoba. Mereka menangkapnya atas dugaan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Dalam penangkapan yang disertai penggeledahan itu, mereka menemukan beberapa bungkus sabu-sabu yang disimpan di dalam lemari dapurnya.

Meski karyawan itu terus mengelak dan berkata tidak tahu menahu mengenai barang haram di kontrakannya itu, barang bukti yang ditemukan pihak unit narkoba sungguh memberatkannya. Oleh karena itu, secara tidak langsung dia dipaksa untuk mencabut tuntutan terhadap Indra Wijaya, dan juga meminta maaf karena sudah mencemarkan nama baik pengusaha bangkrut itu. Dia juga menerima hukuman sebagaimana mestinya.

"Karyawan itu, apa dia masih mendekam di penjara?"

"Sepertinya dia sudah bebas Desember tahun lalu, jika aku tidak salah." Kanit Gerdian memang belum paham betul ke mana arah pembicaraan Arvin, tapi tidak ada salahnya memberikan informasi yang polisi muda itu butuhkan.

Arvin merinci setiap informasi yang dia dapatkan. Intuisinya mengatakan, kematian beruntun anggota keluarga Indra Wijaya, pasti ada kaitannya dengan laporan yang terjadi enam tahun silam.

"Kenapa kau begitu tertarik dengan skandal perusahaan itu?" tanya Bian yang mulai penasaran. Dia berjalan ke arah papan tulis, mengambil spidol dan membuat beberapa coretan.

"Tidak ada salahnya mengorek informasi dari masa lalu seseorang. Kebanyakan kasus pembunuhan, berawal dari rasa sakit hati di masa lalu." Arvin bergumam. Sama sekali tidak bermaksud menjawab pertanyaan Bian.

Bian mengangguk, "Jadi secara kasarnya, kau mencurigai jika ini adalah kasus balas dendam?"

"Jika dilihat dari kondisi mayat kedua korban, aku rasa iya. Karena jika ini suatu pembunuhan acak, rasanya tidak mungkin dihabisi dengan cara sesadis itu." Arvin menatap lurus pada foto-foto di hadapannya. Tidak habis pikir, bagaimana seseorang bisa berbuat sekeji itu.

"Bagaimana jika ini memang pembunuhan acak? Di luar negeri sana banyak pembunuh gila yang menandai korbannya." Bian bertanya memastikan.

"Rasanya tidak mungkin. Jika ini pembunuhan acak, kenapa mereka menargetkan keluarga Wijaya? Yang pada kenyataannya sudah miskin dan banyak hutang." Kanit Gerdian menguatkan asumsi Arvin tadi. Selama berkecimpung dalam bidang kepolisian, belum pernah dia mendapati kasus pembunuhan seperti ini. Korban mutilasi, selalu menjadi yang tersadis menurutnya. Namun sekarang, anggapan itu sedikit berubah. Ditambah, fakta bahwa korban ditandai, membuat bulu kuduknya meremang.

Bian mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Apa yang Arvin pikirkan itu memang sangat masuk akal. Dan entah membawa tujuan, atau hanya sekadar ingin mengusir rasa bosan, dia masih saja bermain dengan coretan asal di papan tulis.

"Jika seperti ini, berarti kita harus mulai menyelidiki karyawan itu. Lagi pula, setelah perusahaannya bangkrut, Indra Wijaya memang belum pernah terlibat perselisihan dengan siapa pun." Kanit Gerdian membuka laptop yang sedari tadi teronggok tak ada guna di kursi sebelahnya. Jemarinya mulai menelusuri web kepolisian dengan arsip pada tahun 2014.

Sementara Arvin, dia memainkan ponselnya di atas meja. Diputar-putar seolah tidak ada hal lebih berguna yang bisa dia kerjakan. Pikirannya seolah tengah melayang entah memikirkan apa.

Bian yang mulanya terlihat masih asik dengan spidol dan papan tulis kaca, tiba-tiba dia menghentikan kegiatannya dan melompat ke depan Kanit Gerdian. Membuat yang lebih tua hampir mengumpat karena terkejut.

"Jika ini memang ada kaitannya dengan skandal perusahaan dan karyawan itu, bukankah Indra Wijaya sendiri berada dalam bahaya?" Bian menatap Arvin dan Kanit Gerdian bergantian. Bola matanya yang bulat memancarkan ketegangan disertai rasa khawatir. Tubuhnya pun terlihat kaku seketika.

Dalam sekejap, Arvin menghentikan kegiatan tak bergunanya tadi. Beralih menatap Bian dengan raut wajah terkejut. Pun Kanit Gerdian yang menunjukkan reaksi serupa. Kenapa mereka tidak berpikir ke sana? Jarak dari kematian Dewi Intan pada kematian Anita memang bisa dibilang lumayan lama, tapi itu sama sekali tidak menjamin keselamatan Indra Wijaya. Lagi pula, tidak ada yang tahu apa yang akan menimpa pria tua itu dari satu detik ke detik berikutnya.

Di saat bersamaan, ponsel Arvin tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal masuk. Dengan terburu dia mengangkatnya.

"Ini gila!" Arvin bergumam. Panggilan itu terputus begitu saja. Padahal mulutnya baru setengah terbuka untuk bicara, tapi penelepon itu benar-benar tidak memberinya kesempatan.

"Siapa yang menelepon di jam seperti ini?" tanya Bian.

Bukannya menjawab, Arvin justru menyeret Bian dan Kanit Gerdian menuju tempat parkir. Memasuki mobil dan menjalankannya seperti orang kesetanan.

avataravatar
Next chapter