4 Light Out

Rupanya aku terlalu lama memandangi tulisan itu sampai tak sadar dengan seruan Yuju di sampingku.

"Kau sedang apa? Aku memanggilmu dari tadi, tapi kau sama sekali tidak menjawab," gerutunya sambil mengguncang bahuku.

"Kau tahu apa maksudnya ini?" kataku sambil menunjuk nama yang terukir di cermin dan mengamati perubahan ekspresi Yuju. Dia menatap cermin dan berpikir-pikir.

"Tulisan ini tidak ada saat aku mengunjungi rumah ini beberapa waktu lalu."

"Oh, jadi muncul sendiri, begitu?" kataku selagi kembali mengitari ruangan.

Yuju berpaling dari cermin dan menatapku. "Memang bukan aku yang menulisnya, kok."

"Apa agen properti yang iseng melakukannya?" Aku bertanya lagi, kali ini memandang ke luar jendela dari sisi ruangan, ke arah langit yang semakin terang. "Aneh, bukan? Kalau kau tidak melakukannya, lantas siapa? Tidak ada jendela yang tampaknya dibuka secara paksa. Jadi, penyusup juga tidak mungkin masuk."

"Aku juga tidak yakin, tetapi sepertinya agen properti tidak mungkin melakukannya. Maksudku, untuk apa?" kata Yuju.

"Begini saja, akan kutanyakan hal ini pada paman agennya. Lagipula, itu cuma tulisan saja, bukan?" katanya selagi melangkah mengitari konter dapur dan mengelap lapisan debu tebal di bak cuci, "sama sekali bukan hal yang menakjubkan daripada ini, lihatlah! Ini yang terjadi kalau kau kelamaan membiarkan kerannya menutup."

Aku berpaling tepat saat suara guyuran air keran yang dibukanya mengalir. Dengan warna kusam seperti bercampur lumpur, bau busuk selokan merebak di seantero dapur dan aku nyaris muntah menciumnya―hal yang biasa terjadi kalau mendiami rumah lama. Yuju melirikku dan meledak dalam tawa, sekali lagi, mengira tampangku mirip lelucon, berkata di sela-sela gelaknya,

"Oh, sepertinya ini akan jadi hari yang panjang untuk bersih-bersih."

-oOo-

Rumah tampak jauh lebih layak huni setelah kami menghabiskan sepanjang hari dengan bersih-bersih. Aku menjadi satu-satunya yang kelelahan, sementara Yuju sama sekali tidak terlihat capek, atau begitulah yang terlihat di mataku, mengingat kesediaannya membersihkan ruangan hanya berarti dua puluh persen kerja dan delapan puluh persen mengeluh tentang sarang laba-laba serta kotoran tikus.

Pada pukul sepuluh malam, Yuju menerima panggilan dari seseorang dan memberitahuku bahwa dia harus pergi.

"Senior di kantor menyuruhku mengedit laporan dan mengirimkan e-mail-nya paling lambat subuh nanti. Aku harus bergegas kalau besok tidak mau lembur," katanya dengan wajah masam, diselingi sumpah serapah saat menutup teleponnya dengan kasar.

Aku mengawal Yuju sampai ke depan pintu dan menunggunya memakai sepatu. Dalam keheningan di antara waktu itu, berpikir tentang kenyataan bahwa sebentar lagi aku kembali sendiri dan itu berarti aku harus mencari cara untuk melawan kesepian yang memuakkan.

Yuju mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Dia mengatakan besok akan kembali lagi ke sini dan memberi kabar lebih lanjut tentang kemungkinan pekerjaan yang bisa kudapatkan di Seoul.

"Kau pasti bisa mendapat pekerjaan di Seoul, aku janji," kata Yuju, memilin rambutku yang tergerai di bahu dan menyelipkannya ke telinga. "Aku sudah bercerita tentangmu kepada Namjoon, dan dia bilang akan melakukan sesuatu untuk membantumu."

"Sampaikan terima kasihku kepadanya," kataku. "Tetapi, seandainya kalian berdua terlalu sibuk, aku benar-benar bisa memakluminya. Kau tahu, di kota ini aku bisa menjadi kasir minimarket, atau pengantar susu atau loper koran. Aku bisa bekerja apapun dan menghidupi diriku sendiri."

"Kau harus jadi ketiganya sekaligus kalau mau menghidupi dirimu dan membayar uang sewa rumah tahun depan," kata Yuju dengan tegas, "Dan, aku tidak akan membiarkanmu kerja seharian penuh."

"Yuju, aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Oh, Jia, jangan memulai lagi," Yuju menukas lesu, memandangku dengan tatapan menuduh. "Aku tahu aku tak berhak mencampuri hidupmu, tetapi bisakah kali ini kau serahkan semuanya kepadaku? Kau sudah menolak untuk tinggal denganku, tolong jangan membuatku merasa bersalah dengan melihatmu kerja banting tulang seperti itu. Aku hanya ingin melihatmu berubah menjadi lebih baik, bukan semakin sengsara."

Aku mengamati Yuju dan merasa hatiku tersentuh karena ucapannya.

"Terima kasih, Yu," kataku dengan suara rendah. "Maaf, aku tidak bermaksud menolakmu."

"Sudah, tidak apa-apa," dia menyahut ringan. "Jangan khawatir. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik untukmu."

Setelah Yuju pergi, aku masuk ke rumah, mengunci pintu dan menuju kamar. Kulepas seluruh pakaian sampai hanya menyisakan kaus tipis dan celana pendek, lalu naik ke atas ranjang. Aku menghabiskan setengah jam bergelung di dalam selimut, bolak-balik mencari kenyamanan, kemudian sadar bahwa malam ini aku tak bisa tidur.

Pada akhirnya, aku menyerah dan turun dari ranjang, berjalan menuju kursi di meja hias. Kuraih koper kecil yang disimpan di bawah meja dan membuka isinya. Di dalam koper, selain beberapa lembar pakaian, aku juga menyimpan beberapa barang yang kumiliki sebagai kenang-kenangan dalam sejarah hidupku; foto pernikahan orang tuaku, cincin perak, bandul berisi foto Seokjin, anting mutiara yang diberikan Ibu kepadaku, serta bros bunga matahari yang jarum pengaitnya sudah tumpul karena berkarat.

Aku menyelipkan tanganku ke dalam kantung koper dan meraih bandul peraknya. Ketika kubuka, wajah Seokjin yang tersenyum menyambutku.

Foto itu dulu kuambil dengan kamera ponsel saat kami berkencan di bukit. Seokjin memetik setangkai bunga berkelopak kuning dan bercerita lelucon tentang itu. Aku tidak ingat apa yang dia bicarakan. Saat itu langit bersinar cemerlang tanpa awan, sementara danau di bawah kaki kami berkilau. Dia tersenyum lebar dan aku bisa melihat gemerlap seperti bintang di wajahnya. Aku begitu terpana memandangnya sehingga satu-satunya hal yang terpikirkan olehku adalah mengabadikan momen itu. Foto itu kucetak diam-diam dan kuperkecil, kumasukkan di dalam bandul ini dan kusimpan baik-baik. Kejadian itu berlangsung sekitar dua bulan sebelum Seokjin dinyatakan menderita kanker hati dan harus menjalani serangkaian perawatan yang memakan waktu. Saat itulah aku menyadari bahwa hari itu adalah terakhir kalinya kami pergi ke bukit.

Kutangkup kalung itu dalam dada, kemudian kusapukan permukaannya yang halus pada bibirku; seperti ciuman lembut dari seseorang yang kurindukan, yang tak akan bisa kugapai dalam lingkup dunia tempatku berpijak.

Kesepian kadang memerangkapku dalam bayangan masa lalu yang begitu menyesakkan, seperti saat ini. Apa yang bisa kuperbuat tanpanya? Ada kekosongan yang tercipta di suatu tempat dalam hidupku, yang terasa sangat dingin dan hening. Itu adalah tempat Seokjin dulunya berada, tempat Seokjin terenggut dan menghilang dari sisiku. Kini aku harus melepas semua itu dan mendiami lubang itu sendirian, tapi aku tidak mau dan tidak akan pernah bisa....

Aku sudah hampir tenggelam dalam kemurungan ketika bunyi sesuatu yang pecah dari arah dapur tiba-tiba terdengar.

Terkejut sampai benda-benda yang tadi kukeluarkan jatuh ke lantai, aku membeku dalam ketegangan. Keheningan merebak secepat suara itu menghilang.

Bergegas kuhampiri pintu kamar dan memeriksanya. Suara itu seperti berasal dari dapur. Di atas konter tergeletak panci sisa makan malam berisi sup ayam, kaleng-kaleng soda minuman, serta toples berisi keripik kentang. Laci-laci di atas tertutup rapat, yang itu artinya piring-piring dan gelas-gelas masih tertata rapi di dalamnya. Kalau begitu, apa yang pecah?

Aku memalingkan pandanganku beberapa derajat dan menemukan, di sisi lain ruangan, pintu kamar mandi yang terbuka. Kelegaan langsung menjalar di tengkukku saat aku menyadari bahwa lampu di sanalah yang mati. Oh, mungkin lampunya pecah karena listriknya mengalami korsleting. Syukurlah, kalau begini masih bisa kutangani.

Aku sudah hampir menginjakkan kaki di dalam sana ketika tahu-tahu terdengar bunyi kelontang memekakkan dari belakang.

Segera aku berpaling. Atensiku tersita pada salah satu kaleng minuman soda yang menggelinding di ubin lantai.

Mendadak, entah dari mana, suhu udara tiba-tiba saja menurun. Kelembapan sedingin es melingkupi ruangan dan aku membeku dalam waktu yang lama. Perutku kejang dan meleleh karena rasa takut; Ada sesuatu yang menjatuhkan kaleng itu dari atas meja.

Aku berusaha tenang, akan tetapi tubuhku mulai gemetar. Ada kehadiran lain di ruangan ini dan aku dengan jelas merasakannya. Tersembunyi, entah di mana, atau mungkin dia tengah mengawasiku sekarang, tetapi aku menjadi satu-satunya yang tidak bisa melihatnya.

Aku terlalu takut untuk memedulikan semua itu. Kupaksa diriku berbalik dan memantapkan keseimbangan, lalu berlari menuju kamar. Rasa takut merayap dari dasar perut menuju jantung, berdenyut begitu cepat sampai-sampai aku menduga tulang rusukku bisa patah karenanya.

Kututup pintu kamar dengan debuman keras dan aku bergegas naik ke bawah selimut.

Gemetarku belum hilang. Kutarik selimut hingga menutupi kepalaku seakan bisa melindungiku dari sesuatu yang misterius di dapur, yang tak bisa kulihat, namun kehadirannya terasa begitu kuat. Akan tetapi, aku tak bisa sepenuhnya tenang. Masih sanggup kurasakan bahwa sesuatu itu memandangku, menembus dinding, pintu dan selimut.[]

avataravatar