1 FOREWORD

It's sad when a person who gave you the best memories, becomes the memory.

.

.

.

Kau pernah bilang kepadaku bahwa kau benci ditinggal sendiri. Namun, hari itu, justru kaulah yang pergi dan menghilang dari sisiku.

Di kemudian hari, di setiap lapisan malam dalam mimpiku yang sepi, atau saat aku terjaga di tengah siang yang membara dalam suasana hati yang kosong, aku pasti akan mengenang saat-saat itu lagi. Saat aku berjalan di atas bidak-bidak batu halaman rumah sakit yang kering. Saat kutapak lantai koridor seorang diri dengan suara sepatu yang memantul keras. Atau bahkan saat aku mendapatimu berbaring di ranjang rumah sakit yang dikelilingi mesin-mesin. Aku mengira kau sedang tertidur, sebab kau tampak begitu nyaman dengan istirahatmu.

Aku menghampirimu dan naik ke atas ranjang dengan perlahan, mengamatimu yang tengah terlelap. Kau tampak besar, namun begitu rapuh. Kusandarkan kepalaku di pundakmu, sementara kubelai rambut hitammu, dahimu, dan pipimu.

Kau beraroma seperti disinfektan. Kulitmu kering dan sejuk dalam sentuhanku. Aku bertanya-tanya mengapa hangat tubuhmu lenyap begitu saja. Kutemukan jawabannya saat kusadari jejak denyutmu tak terdengar. Napasmu habis. Kulitmu dingin. Kau sudah kehilangan panas tubuhmu. Sekarang, kau tak ada bedanya dengan selimut putih yang menutup pinggulmu.

Kulesakkan wajah lebih dalam di ceruk lehermu, dan kuhirup sisa aroma tubuhmu yang semakin memudar. Kulitmu, serta seluruh keberadaanmu yang kini hanyalah jasad tanpa nyawa menyerang pertahananku begitu telak sehingga aku hanya bisa terpekur menatap nasib. Aku memejamkan mata dan membenamkan diri dalam pelukan kita. Kutunggu air mata untuk menetes, tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Aku terlalu sakit hati untuk menangisi kepergianmu.

Pada saat itu, tidak ada hal lain yang ingin kulakukan selain merengkuhmu erat. Aku harus merelakanmu, kataku dalam hati. Harus kuucapkan selamat tinggal dan kau akan menjadi bagian dari kenangan. Namun, aku tahu hal itu tak mudah kulakukan. Kau telah pergi, dan ingatan tentangmu akan selalu menghantuiku, selamanya.

Aku segera tahu apa yang akan terjadi detik berikutnya setelah kudengar keriat pintu yang dibuka. Itu pasti perawat rumah sakit yang masuk dengan membawa obat-obatan untukmu. Hening bergulir sesaat. Terdengar derap langkah mundur dan aku bisa membayangkan perawat itu berlari ke luar untuk memanggil dokter. Gema keributan di dalam lorong mulai terdengar. Kesunyian di antara kita mulai lenyap. Dunia kecil kita pecah. Dan, sekarang, kita akan benar-benar berpisah.

Aku harus segera menerima kenyataan ini, begitu yang kupikirkan ketika seorang dokter menyatakan waktu kematianmu. Dia menuntunku agar aku melepas rengkuhanku. Saat itu, kulihat jasadmu diselimuti kain putih. Sejengkal demi sejengkal, sampai kain itu menutup ujung kepalamu.

Kini usai sudah. Kau tak akan pernah lagi muncul dalam kehidupanku, hari ini, esok, dan seterusnya. Kenangan akan pudar seiring waktu berlalu, sementara masa depan akan menyeretku memasuki hari-hari yang gelap, tanpa kehadiranmu. Sekalipun aku tidak akan pernah siap untuk menghadapi hari itu, aku tahu tidak ada yang bisa kulakukan untuk melawan takdir.

Kau tetap pergi, dan tak akan kembali lagi.[]

avataravatar
Next chapter