2 Departure

Mimpi-mimpi burukku penuh dengan Seokjin.

Aku seringkali melihatnya dalam kemeja katun berwarna krem. Lututnya terlihat di bawah jeans biru navy, duduk di kursi kayu ruang tengah. Dia menyenandungkan sebuah lagu dari gitar yang dipetiknya. Aku lupa bagaimana liriknya, atau bahkan nadanya. Aku tidak tahu. Mungkin, sebetulnya dia tidak pernah menyanyikan lagu untukku.

Di dalam mimpi, dia masih Seokjin dengan memorinya yang utuh, hanya saja kali ini tampak lebih layu dan kurus, dengan punggung membungkuk dan jari-jari pucat panjang seperti tengkorak. Dia menatapku di ambang pintu, tampak amat tersiksa. Aku mencoba untuk tidak memikirkan rasa sakitnya ketika dia menunjukkan ekspresi itu kepadaku.

Sebelum aku berlari menujunya, gitar di tangannya jatuh ke lantai dengan bunyi memekakkan telinga. Kulihat dalam gerakan yang lambat, gagangnya patah menjadi dua dan senar-senarnya melecut putus sebelum menari bebas di udara. Kudongakkan wajah. Namun, saat menatap ke kursi lagi, Seokjin telah hilang, seakan menegaskan kematiannya.

Selanjutnya, aku terbangun dengan tubuh bersimbah keringat, dilanda kepanikan dan kebingungan sebab seluruh memori tentang dirinya tumpang tindih di benakku. Aku butuh waktu sekitar lima menit untuk memusatkan perhatian, memilah mana kenyataan dan mana ilusi.

Semuanya berubah.

Setelah kematian Seokjin, aku tidak bisa memandang dunia dengan cara yang sama seperti dulu. Seperti ada sebuah ruangan kecil yang kelam dan aku terkunci di dalamnya. Ketakutan setengah mati, aku kehilangan arah dan merasa tersisihkan.

Kematian Seokjin mengubah dimensi dunia yang kutempati mirip seperti alam yang bukan bagianku. Menjalani rutinitas tanpa dirinya seakan mencoba menyelam di tengah lautan saat kau tahu kehidupanmu berlangsung di daratan. Aku harus menemukan cara baru untuk bertahan hidup, tetapi sampai kini belum juga kudapatkan alasan yang bagus untuk melakukannya. Jadi, aku masih tetap di sini, meringkuk dalam selimut kusut yang terjalin atas benang memori kami berdua. Aku dan Seokjin, yang sekarang hanya tinggal aku.

Ah, bahkan menyebut namanya saja terasa aneh. Seakan-akan aku telah mengarungi waktu bersama seseorang yang tak pernah ada. Namanya kini melayang-layang di udara, terdengar begitu kosong apabila diserukan. Sementara memorinya membeku dan abadi di dalam benakku. Siapa yang selama ini menemaniku? Siapa yang memberiku sebuah cincin yang menjadi alasan keputusanku untuk mempercayainya? Mengapa kau pergi dari sisiku? Aku menunduk memandang lingkaran perak yang mengelilingi jari manisku.

Tidak ada seorangpun yang bisa menjawab jeritanku.

-oOo-

Duduk di atas gelondongan batang pohon yang menjembatani kedua sisi bukit, kaki telanjangku terjulur ke bawah, menanti air danau untuk menyiprat. Langit di atas berwarna biru cerah, dengan embusan angin sepoi-sepoi. Segalanya akan sempurna jika hari ini adalah liburan, sepanjang waktu berbincang bersama Seokjin dan mendengarkan celotehnya. Tetapi, kenyataannya hari ini aku hanya sendiri, dan tak memiliki siapapun untuk mengulang memori itu.

Ini merupakan terakhir kalinya aku mengunjungi bukit ini, serta mungkin menjadi terakhir kalinya aku berada di Daegu. Sebab, sore hari nanti aku akan pindah ke Seoul. Kulakukan ini demi mencari kesibukan dari memikirkan masa-masa berdukaku. Aku butuh sesuatu untuk bertahan, meski itu artinya aku harus sanggup berdiri tanpa Seokjin, kurasa aku bisa menjadi lebih baik dari diriku yang sekarang.

Jadi, pada saat matahari bersinar teguh, kupaksa diri untuk bangkit. Kususuri jalanan menurun yang dipenuhi rerumputan sebatas pinggang, berbelok masuk ke sebuah celah di dinding batu di bawah bukit. Ini adalah tempat di mana kami selalu bertemu. Aku dan Seokjin. Berada tepat di balik gua kecil di tebing bukit, menghadap danau yang gemerlap kehijauan. Seokjin dan aku menghabiskan lebih banyak waktu berada di bukit daripada di rumah.

Setelah keluar dari bukit, kususuri pemukiman penduduk. Aku melangkah ke timur sedikit lebih jauh menuju halte bus nomor empat, jalur yang akan membawaku pergi ke pusat kota di Daegu. Kutunggu sekitar lima belas menit sampai bus datang, kemudian aku naik ke dalamnya dan memilih tempat di dekat jendela. Ponselku tiba-tiba berdering. Aku mengangkatnya saat membaca nama Yuju muncul di layar.

"Jia?"

"Aku di sini," jawabku, menggulirkan mata mengamati pemandangan di luar jendela.

"Kau sudah sampai di kereta?"

"Masih ada waktu sekitar satu jam. Aku harus ke suatu tempat dulu, lalu baru ke stasiun."

"Kau mau ke mana, Ji?"

Aku tidak menjawab.

"Baik, terserah kau saja," Yuju berkata setelah aku membisu cukup lama. "Aku hanya menelepon untuk memberitahu kalau barang-barangmu baru saja tiba di apartemenku. Kau akan kuantar ke rumah barumu kalau sudah sampai di Seoul."

"Ya," kataku. "Terima kasih, Yu."

Kemudian Yuju membalasnya dengan pesan agar aku berhati-hati di jalan dan menutup teleponnya. Sebelumnya, dia menghela napas dan aku tahu dia kesal padaku. Yuju mungkin agak tertekan karena menghadapiku belakangan ini. Tetapi, kuharap sikapku mendapat pemakluman, sebab tidak ada penderitaan yang jauh lebih buruk daripada harus berpura-pura tenang sementara orang yang kau sayangi pergi dari dunia ini selamanya.

Kuamati lahan persawahan yang membentang luas di balik jendela bus. Beberapa saat kemudian, jarak antar bangunan mulai menyempit. Toko-toko mulai bermunculan, dan sekejap saja aku menangkap salah satu toko permen yang sering kukunjungi bersama Seokjin dulu. Spanduk reklame di atasnya lepas. Tokonya sudah tutup dan tampak tak terawat lagi. Mendadak aku sadar sudah begitu lama aku terkubur dalam duka atas kematian Seokjin.

Setelah kepergian Seokjin, aku tidak bisa keluar dari ruang kelam tempat aku jatuh dan terkunci. Kerjaanku hanya berbaring menatap langit-langit kamar dengan pikiran kosong. Jarang sekali makan, minum, dan lebih banyak membiarkan tubuhku kelaparan dari yang biasa kulakukan saat aku kehabisan uang. Aku tidak tahu bagaimana dengan cara seperti itu aku masih bisa bertahan. Barangkali, sesungguhnya Yuju yang menolongku. Selepas menerima kabar duka tentang Seokjin, dia langsung menghubungiku dan berusaha menekanku agar pergi ke Seoul, mencarikanku pekerjaan, membantuku menemukan rumah kontrakan dengan harga miring, lalu bersikap seakan aku tidak pernah sekalipun berhutang kepadanya.

Yuju begitu baik, dan terkadang aku benci kepada diriku yang terlalu mementingkan diri sendiri.

-oOo-

Jalanan rel mulai melandai turun saat kereta mendekati Seoul Station. Deru angin yang menggempur badan kereta membuat jendela-jendela bergetar. Aku terbangun dari tidur saat merasakan kereta mulai melambat.

Kubenahi rambut kepangku sebelum menyampirkannya di bahu. Kupakai jaket, dan aku mulai berdiri saat pemandangan di jendela berganti menjadi peron yang penuh orang-orang. Cahaya lampu neon membanjiri mataku saat aku turun dari kereta. Segalanya tampak aneh dan begitu asing. Dan, tiba-tiba saja aku ingin kembali ke Daegu.

Yuju ada di dekat pintu masuk tangga dan sedang melambai ke arahku. Masih sama seperti empat tahun lalu, kecuali warna rambutnya yang kini dicat cokelat menyala. Dia tersenyum menyambutku, memeluk punggungku dengan cara bersahabat.

"Jia, aku rindu sekali! Sudah lama kita tidak bertemu!" katanya.

Matanya naik turun mengamatiku. "Kau kelihatan kurus sekali, Ji. Apa kau yakin selama ini makan dengan benar?"

Aku kebingungan untuk menjawabnya. Tetapi, Yuju tampaknya tak butuh jawabanku, sebab setelah mengamati raut wajahku dia langsung mengandeng tanganku pergi dari stasiun.

Kami menapaki tangga ke atas, menyusuri perkotaan Seoul yang ramai oleh kelap-kelip warna seperti pasar malam. Musik-musik yang diputar di setiap toko seperti sahut-menyahut. Mobil-mobil mengilat hilir mudik di jalanan lebar beraspal serta orang-orang dengan pakaian modis. Semuanya begitu berbeda denganku. Aku seperti baru saja terdampar di tempat yang keliru.

"Kita akan makan," kata Yuju, melingkarkan lengannya di lenganku. "Kau ingin apa? Udon? Sate daging? Sushi? Ah, mungkin kau mau mencoba gurita panggang raksasa?"

"Tidak, sepertinya makanan seperti itu malah membuatku mual. Aku mau yang ringan saja," pintaku.

"Oke, kalau begitu roti saja."

Kemudian Yuju menarikku agar berjalan lebih cepat. Gerimis lembut mulai datang dan cuaca menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Kami berjalan beriringan sambil merapatkan tubuh. Aku terbiasa dengan hawa dingin, karena di desaku, namanya Dangjin, saat musim panas pun suhu normalnya tak pernah lebih dari dua puluh derajat.

Semestinya Yuju juga sama denganku, sebab Dangjin adalah tanah kelahirannya. Namun, temanku ini telah banyak berubah semenjak dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke universitas dan tinggal di Seoul. Saat berbicara dengannya aku tahu dia sudah bukan Yuju yang dulu lagi. Paling tidak gaya bicaranya yang kental dengan aksen Gyeong-san telah hilang. Dia juga jadi lebih suka memperhatikan tas dan sepatu yang dikenakan orang lain. Yuju yang dulu lebih sederhana dan pemalu.

Kami berbelok ke sebuah gang dan masuk ke wilayah pertokoan. Dia mendorongku ke sebuah kedai roti. Aku disuruhnya duduk, sementara dia memesan beberapa macam roti di meja kasir. Sekembalinya, Yuju membawa satu nampan besar berisi roti dan kue.

"Aku langsung mengenalimu saat kau turun dari kereta tadi," kata Yuju selepas menggigit sepotong muffin. "Kecuali badanmu yang makin kerempeng itu, kau sama sekali tidak berubah. Masih dengan gaya rambut kepangmu yang kuno, juga wajah pucat tanpa riasan. Oh, kupikir aku bertemu Ahn Jia yang berumur 18 tahun. Apa kau ini masih SMA?"

"Aku tidak bisa merubah apa-apa dari penampilanku."

"Ya, sebenarnya kau bisa kalau kau ingin." Yuju menjawab dengan setengah menyindir.

Dia mengamatiku yang tengah melahap sepotong roti isi selai, lalu bertanya. "Kau belum membagikan kehidupanmu di Dangjin. Ceritakan kepadaku apa yang terjadi selama lima tahun ini."

"Biasa saja," jawabku. "Aku masih tinggal di mansion yang sama seperti dulu, menganggur sepanjang siang dan kerja paruh waktu di malam hari. Tak ada yang menarik di Dangjin. Kepala desa membongkar lahan bekas pabrik industri dan mendirikan pasar malam sebagai gantinya, tapi orang-orang di desa kita kebanyakan manula, sehingga jarang ada yang tertarik. Tempat itu sekarang sepi setelah beberapa bulan peresmian."

"Gawat banget," Yuju berkomentar. Aksen Gyeong-gi (aksen anak muda Seoul-nya) keluar dan dia memasang wajah kecewa yang justru tampak seperti ekspresi berlagak manis di mataku. Apakah itu adalah cara pemuda Seoul menunjukkan keluhan? "Tidak ada satu pun yang benar yang dibangun di desa kita." Yuju melanjutkan dengan nada sedih. "Semuanya sampah."

"Ya, kau pasti lega sekali sudah keluar dari desa itu," kataku.

Seorang pramusaji datang dan memberikan dua cangkir susu dengan asap mengepul. Yuju langsung menyeruput bagiannya, kemudian melanjutkan percakapan.

"Dari dulu aku memintamu agar dapat ikut ke Seoul bersamaku. Tapi, kau keras kepala dan susah diatur. Kau selalu bilang akan pergi bersama Seokjin, tetapi pada akhirnya kalian berdua tetap tinggal di tempat itu, bahkan sampai Seokjin meninggal...."

"Kami sudah berencana pindah." Aku menimpali perkataan Yuju, tiba-tiba merasa agak kesal dengan tuduhannya. "Seokjin sudah hampir dipindah rawat ke Seoul, tetapi rencana itu gugur terlalu cepat karena dia meninggal beberapa minggu sebelum keberangkatan kami."

Yuju menyelipkan rambut di belakang telinganya, berkata dengan pelan, "Mm, sebetulnya bukan itu poin yang ingin kusampaikan. Dengar Ji," Dia menggenggam tanganku dan meremasnya, matanya menatapku lekat-lekat. "Apa selama ini kau tak pernah sekali saja merelakan Seokjin dan fokus dengan kebutuhan dirimu sendiri?"

Aku menghela napas dan mencoba tenang. "Apa kau pikir selama ini aku tak berusaha untuk itu?"

"Ya, aku tahu, tapi...." Yuju mencoba lagi, tetapi aku memotongnya.

"Yuju, aku sedang tidak ingin bicara tentang itu."

Dia mengamatiku lama, menghela napas dan menyisir rambutnya dengan jari, dalam gerakan-gerakan yang kuasumsikan sebagai kecanggungannya.

"Oke, omong-omong," katanya sembari mengeluarkan ponsel dari saku. "Aku belum mengirimkan foto rumah barumu, 'kan, Ji? Sebentar, ini dia," Yuju menarikan jemarinya sebentar di layar ponsel sebelum memperlihatkan kepadaku. "Lihat ini," katanya. "Kau beruntung sekali bisa dapat rumah seperti ini dengan harga murah."

Foto itu diambil tampak depan. Rumah sederhana bercat putih yang tidak begitu besar. Halamannya sempit, tetapi dipenuhi tanaman hijau hingga kelihata sejuk. Pot-pot bunga amarilis dan fuchsia tergantung di teras depan. Ada bidak-bidak batu yang berjajar di depan pintu masuk, yang mengingatkanku dengan rumah sakit tempat Seokjin dirawat dulu. Rumahnya sekilas mirip rumah kurcaci, lalu aku membayangkan hidup di dalamnya bersama serangga-serangga musim panas yang berisik.

"Ini bagus sekali," kataku.

"Benar, 'kan?" kata Yuju puas, sembari mengaduk-aduk minumannya. "Aku menghabiskan seharian penuh keliling agen properti di Seoul dan akhirnya menemukan yang sesuai dengan anggaranmu. Sudah kumasukkan namamu menjadi penerima kuasa rumah. Kau bisa menandatangani dokumennya saat kita berdua tiba di apartemen nanti."

"Ah, terima kasih banyak," kataku. "Aku minta maaf tidak bisa membantumu apa-apa."

Yuju mengibaskan tangan di udara seakan bukan masalah besar. "Kau akan tinggal sendiri nantinya, tetapi aku berjanji akan sering-sering mengunjungimu."

"Selama ini aku tinggal sendiri, dan tidak ada masalah."

"Yah, tapi kau bisa lebih beruntung dari ini. Aku menawarimu untuk tinggal di apatemenku, tetapi kau tak mau. Padahal itu akan lebih menghemat tabunganmu, Ji."

"Dan sudah kukatakan berkali-kali aku tidak mau merepotkanmu," sahutku.

Yuju melihatku sejenak, lalu dia mengangkat bahunya. "Sifat keras kepalamu tak berubah dari dulu."

Aku mengembalikan ponsel Yuju tepat ketika dia berkata kepadaku.

"Rumah ini agak jauh dari kota. Kau baru bisa pergi ke halte terdekat sekitar dua ratus meter. Tetapi walau begitu, fasilitas lengkap di dalamnya bisa kau dapatkan cuma-cuma."

Aku mengangkat alis. "Kau bilang fasilitas?"

Yuju mengangguk. "Ya," katanya. "Agen propertinya bilang, kau tidak perlu membawa perabotan seperti lemari, tempat tidur, rak buku, juga televisi dan pemanas ruangan. Penyewa terdahulu meninggalkan miliknya di rumah itu dan tidak ada keluarganya yang datang untuk mengambilnya."

Aku menganggukkan kepala, melahap robekan besar roti bermentega dan kembali merenung. Tiba-tiba, kepikiran sesuatu tentang perkataan Yuju.

"Mengapa harus keluarganya yang mengambil perabotan penyewa lama itu?" tanyaku.

Yuju menumpukan dagu pada punggung tangannya, memandangku lurus. Ekspresinya seakan memberitahu bahwa dia sudah menungguku untuk bertanya soal ini. Sekejap, Yuju menarik napas dan mengembuskannya bersamaan dengan jawaban yang dia lontarkan.

"Sebab, pemilik yang terdahulu sudah mati, Ji."[]

avataravatar
Next chapter