webnovel

Rencana Pernikahan

"Cari penyakit?"

Lea menoleh ke arah belakang, ketika mendengar suara yang sudah tidak asing lagi seolah menyapanya.

"Radi? Kamu sedang apa di sini?" tanya Lea, menggeser posisi duduknya seolah memberikan tempat duduk untuk Radi.

"Jalan-jalan saja. Aku suntuk di rumah," jawab Radi, kemudian ia duduk bersebelahan dengan Lea. "Kamu sendiri sedang apa di sini malam-malam? Cuaca malam ini sedang tidak bagus, loh."

"Aku sudah memiliki janji dengan seseorang. Tapi sepertinya ia akan telat datang."

Radi menghela napas panjang, melihat Lea yang sepertinya sudah lelah menunggu Bagaimana tidak, Lea masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan tas ransel yang dipangku olehnya.

"Aku akan menemanimu sampai orang itu datang," ujar Radi menawarkan diri.

"Tidak perlu, Radi. Aku bisa menunggunya sendiri," balas Lea menolaknya. Ia merasa tidak enak dan tidak ingin merepotkan Radi.

"Kamu perempuan dan ini sudah malam, Lea. Aku akan menemanimu sampai orang yang kamu tunggu datang," elak Radi yang tidak ingin ditolak oleh Lea. "Kamu tunggu disini, ya. Jangan kemana-mana, aku akan segera kembali."

Radi beranjak dari tempat duduknya dan melangkah menuju ke sebuah gerobak yang sepertinya menjual sesuatu yang hangat. Terlihat dari gerobak tersebut ada uap yang mengepul seperti asap.

Lea tersenyum dan menurut, untuk menunggu dan tidak kemana-mana. Tidak lama, Radi kembali dengan membawa sebuah gelas plastik yang yang berisi minuman hangat berwarna merah muda.

"Sekoteng. Agar kamu tetap hangat," ujar Radi memberikan sekoteng tersebut kepada Lea.

Lea tersenyum dan dengan senang hati menerimanya.

"Terima kasih, Radi. Untukmu mana?" tanya Lea, ia tidak melihat sekoteng milik Radi.

"Sebelum bertemu denganmu, aku sudah membelinya lebih dulu. Karena rasanya enak, aku merekomendasikannya untukmu," jawab Radi.

Sementara Lea dan Radi duduk di kursi tersebut untuk menunggu kedatangan Ben, orang yang ditunggu-tunggu oleh Lea sejak siang akhirnya menepikan sepeda motornya di area parkir di taman tersebut. Ia segera melangkahkan kakinya menuju ke taman, dimana ada kursi panjang yang menjadi tempat persinggahan mereka setiap kali menikmati senja bersama di taman itu.

Kaki Ben berhenti melangkah, ketika melihat seseorang yang sedang duduk di taman bersama dengan seorang pria. Ia tidak mengenal siapa pria itu, namun wanita yang kini sedang meminum minuman hangat itu adalah Lea. Lea terlihat sesekali meniup gelas yang dipegang olehnya, menyingkirkan uap panas yang mengepul di atas gelas tersebut. Tangan Ben mengepal kuat seperti tidak rela melihat pemandangan itu.

Merasa kalau dirinya juga bersalah karena telah membuat Lea menunggu terlalu lama, akhirnya emosi yang merundungnya reda juga. Dengan memantapkan hatinya, Ben memilih untuk menghampiri Lea yang sedang bersama seorang pria yang tidak dikenal oleh Ben, siapa lagi kalau bukan Radi.

"Lea?" panggil Ben dari arah belakang.

Lea yang baru saja menengguk sekotengnya, segera beralih dan menoleh ke arah belakang. Semangatnya bukan main saat mendengar suara Ben dari arah belakang.

"Kak Ben?" sapa Lea dengan sumringah. "Kakak sudah lama?"

"Lea, kamu apa-apaan?!" tanya Radi kesal. Jelas Radi kesal, sejak tadi yang menunggu adalah Lea, bukan Ben. Namun Lea lah yang menanyakan 'sudah lama' kepada Ben, seolah ia yang sudah membuat Ben menunggu lama. "Dia yang membuatmu menunggu selama ini, bukan kamu yang membuatnya menunggu!" gerutu Radi, sepertinya ia tidak rela kalau Lea terlalu baik pada orang tersebut, dimana Radi belum pernah bertemu apalagi mengenal Ben.

"Lea, maafkan aku. Banyak sekali tugas sehingga aku tidak ingat kalau memiliki janji denganmu," ujar Ben. Ia sama sekali tidak memedulikan Radi. Yang dibutuhkan olehnya adalah Lea menerima permintaan maafnya.

"Tidak masalah, Kak. Aku juga sudah bisa menebaknya, kalau Kakak pasti sibuk dengan tugas kampus," balas Lea, ia sama sekali tidak marah ataupun kecewa pada Ben.

"Kita pulang saja, yuk. Bicara di rumah saja. Ini sudah malam," ajak Ben, tidak ingin membuat ibu Lea resah menunggu dan juga ia tidak ingin Lea mendapat amukan lagi dari ibunya.

"Hmmmm," gumam Lea, kemudian menoleh pada Radi.

Radi mengambil gelas sekoteng dari tangan Lea seraya berkata, "Pulanglah, jangan biarkan ibumu resah menunggu."

"Kamu … tidak apa-apa aku tinggal?" tanya Lea, kali ini ia merasa tidak enak karena akan meninggalkan Radi.

"Kenapa kamu selalu merasa tidak enak, Lea … aku baik-baik saja. Kamu pulang saja, ya … kita bertemu besok di sekolah."

"Hmmm, terima kasih, Radi. Sudah menemaniku dan traktir aku sekoteng hangat ini. Biarkan aku membalas jasamu dikemudian hari," ujar Lea. Anak itu sungguh baik dan lugu.

"Ayo Lea, kita pulang!" ajak Ben lagi, mengulurkan tangannya untuk menggadeng tangan Lea. Lea meraihnya dan ia segera beranjak dari tempat duduknya.

"Daah, Radi," ucap Lea memberikan salam perpisahan kepada Radi. Ia pun berlalu bersama Ben, menuju ke area parkir taman tersebu untuk pulang.

Selama dalam perjalanan, Lea dan Ben sama sekali tidak saling bicara. Ben yang masih merasa bersalah karena sudah membuat Lea menunggu terlalu lama, sementara Lea yang masih saja memikirkan perjodohannya dengan anak dari Paman Rudolf. Ia memang sangat ingin menikah di usia muda dengan seseorang yang seperti pangeran. Namun bukan dijodohkan seperti ini. Apalagi pernikahannya sebagai syarat jual beli rumah dengan harga tinggi.

Huft ….

Lea menghela napasnya, sepertinya sudah benar-benar pasrah dengan keadaan yang ada.

"Ada apa, Lea?" tanya Ben, ia merasa kalau Lea sedang tidak baik-baik saja.

Lea menggelengkan kepalanya, ia menyembunyikan wajahnya dibalik punggung Ben, seperti sedang menangis.

Ben menghentikan sepeda motornya dan mendengar suara isak Lea Ia menggenggam tangan Lea yang melingkar pada pinggangnya, memeluk Ben.

"Lea, ada apa? Mengapa kamu menangis?" tanya Ben, sangat yakin kalau Lea sedang tidak baik-baik saja.

Lea masih menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin bercerita saat ini.

"Maaf Lea. Aku sudah membuatmu menunggu lama. Padahal kamu sedang tidak baik-baik saja, ya? Ada yang ingin kamu ceritakan?"

"A—aku … dijodohkan, Kak," ucap Lea terbata, disertai dengan isak.

Ben menghela napasnya, ia mengusap punggung tangan Lea, sedikit menyemangatinya.

"Bukankah kamu ingin sekali menikah muda? Ini adalah jalan dari Tuhan untuk mengabulkan keinginanmu," ujar Ben, berusaha membuat Lea tidak tersudutkan.

"Tapi tidak dengan cara yang seperti ini, Kak," rengek Lea.

"Ada apa, Lea? Ceritakan saja," pinta Ben.

"Rencana pernikahan ini … bukan seorang pangeran yang datang ke rumah lalu melamarku. Melainkan sebuah tawaran harga yang tinggi pada rumah yang ibu jual dengan syarat …."

"Dengan syarat?" tanya Ben, ia mendengar Lea bicara tidak tuntas.

"Syaratnya pernikahan ini," jawab Lea. "Rencana pernikahan ini … benar-benar sangat tidak aku inginkan, Kak."

Next chapter