webnovel

Ciuman Tak Disengaja

Semua orang pasti memiliki impiannya masing-masing. Bahkan tak sedikit orang yang memiliki impian unik, yang akan membuat dahi orang yang mendengarnya mengernyit, bahkan bisa menertawakannya.

Begitu pun dengan Lea, yang memiliki keinginan cukup unik atau bahkan terlalu kekanakkan, yang menyamakan kehidupan nyatanya seperti layaknya negeri dongeng.

"Apa keinginan terbesarmu dalam hidup?"

"Menikah muda."

"Hm?! Menikah muda?"

"Ya. Menikah diusia 17 tahun."

"Hm? Mengapa demikian?"

"Karena aku ingin …."

***

TENG TENG TENG

Bel sekolah berbunyi, membuat seluruh murid berhamburan dari kelasnya karena jam pelajaran telah usai. Begitupun Aleana Diandra Margaretha, yang juga ikut keluar kelas sembari bersenda gurau dengan teman-teman yang lainnya.

"Lea, sudah ada yang menunggu, tuh," cicit Ninda, teman satu mejanya sembari menunjuk ke arah seseorang dengan alisnya.

Lea melirik ke arah yang dimaksud oleh Ninda dengan lontaran senyum yang memukau. Lea menepuk pelan bahu Ninda dan memberikan ucapan perpisahan.

"Aku duluan, ya," ujarnya, kemudian berlalu meninggalkan Ninda dengan lambaian tangan, untuk menghampiri seorang pria yang sejak tadi sudah menunggunya di depan pintu gerbang sekolah.

Dia adalah Beniqno Alfonzo, yang biasa disapa, "Kak Ben!"

Pria itu menoleh pada Lea dan tersenyum, menyambut kedatangan Lea yang penuh semangat. Lea berlari dengan riang tanpa melihat situasi sekitarnya dan tanpa disengaja, kakinya menyandung sebuah batu yang membuatnya ….

BUUUUGH!!!

Cup

"Hngg?"

Lea terjatuh tepat di atas tubuh Ben yang berniat menopangnya saat tersandung. Namun tubuh Lea terlalu berat dan membuatnya jatuh bersamaan.

"Hm?" gumam Ben, tak bisa berkata apapun. Bibir mereka masih berciuman tanpa sengaja.

Lea yang baru sadar kalau dirinya dan Ben berciuman, seolah tersentak dan melepaskannya. Ia menyingkirkan tubuhnya dari atas tubuh Ben.

"Kak Ben … maaf," ucapnya malu. Bagaimana tidak, sudah jatuh dan menahan sakit, ciuman juga terjadi.

"Tidak apa-apa. Biar aku lihat lututmu, apa ada yang terluka?"

Lea segera berbalik badan. Ia tidak ingin Ben memeriksa keadaannya. Ia masih merasa sangat malu atas apa yang baru saja terjadi.

"Tidak usah malu, Lea. Ciuman itu … tidak disengaja, kecelakaan saja. Orang yang melihatnya juga akan mengerti," ujar Ben, berusaha membuat Lea tidak lagi berkecil hati.

"Maaf, Kak …," ucapnya lagi, seperti merintih.

Ben beranjak dan berpindah ke hadapan Lea. Ia menengadahkan tangannya untuk membantu Lea berdiri. Sementara Lea masih menunduk karena malu. Belum mau meraih tangan Ben.

"Mau di sini saja dan dilihat banyak orang?" tanya Ben.

Lea menengadah, melihat ke arah Ben dengan bibir yang mengerucut. Ia mau tidak mau akhirnya meraih tangan Ben dan berdiri. Tak lupa Lea membersihkan seragamnya yang kotor karena debu.

"Aku pikir … Kakak tidak jadi menjemputku."

"Tiket sudah dipesan, Lea … jika aku tidak menjemputmu, lalu harus pergi dengan siapa aku hari ini?"

Lea masih mengerucutkan bibirnya, sepertinya ia masih canggung.

"Sudah, jangan cemberut," pinta Ben, mencubit gemas pipi perempuan yang lebih muda dua tahun darinya itu.

Lea terkekeh, kemudian menunjuk helm yang ada di depan jok motor milik Ben. Dengan sikap manjanya, Lea meminta Ben untuk memakaikan helm tersebut kepadanya.

"Sudah besar, masih saja manja," gerutu Ben, sembari memakaikan helm tersebut.

Lea seolah tidak peduli dan mengajak Ben untuk segera pergi dari sekolah itu. Sepertinya Lea tidak sabar ingin pergi menonton film 3D yang selama ini ia inginkan, namun belum pernah terlaksana karena ia tak memiliki banyak uang yang bisa dihamburkan untuk memenuhi segala keinginannya.

Selama dalam perjalanan, Lea tak henti untuk bicara. Sepertinya ia sudah lupa kejadian memalukan di depan pintu gerbang sekolah. Ada saja pertanyaan dan pembahasan yang ia lontarkan kepada Ben. Namun Ben sama sekali tidak merasa jengah dengan sikap Lea yang seperti itu. Sepertinya ia sudah terbiasa dengan Lea yang cerewet dan selalu manja kepadanya.

"Kalau Kak Ben pacaran nanti, aku masih bisa memeluk Kakak seperti ini tidak, ya?" Tiba-tiba saja Lea menanyakan pertanyaan yang tidak biasanya. Nada bicaranya juga sedikit lesu, membuat Ben diam dan memikirkan jawaban yang tidak menyinggung perasaan Lea.

"Jika aku memiliki pacar nanti, kamu 'kan masih menjadi adikku, Lea," jawab Ben.

Lea semakin erat memeluk Ben dari belakang, bahkan membuat Ben merasa sesak.

"Kamu ingin membuatku tercekik?!" tanya Ben, ia tersenyum melihat Lea yang sudah kembali tetawa.

"Aku sayang Kak Ben …!!!"

***

"Pakai dulu," pinta Ben, memakaikan kacamata yang wajib dipakai saat menonton film 3D, guna memperlihatkan film yang seolah nyata.

Lea memajukan wajahnya, agar Ben tidak kesulitan memakaikan kacamata tersebut. Kemudian Ben terkekeh, melihat popcorn yang dipegang oleh Lea sudah habis setengah lebih, sementara film baru akan dimulai.

"Kamu tidak menyisakannya untukku?" tanya Ben.

Lea tersenyum, kemudian menyuapi popcorn tersebut kepada Ben.

"Kak Ben manja," bisiknya mengejek.

"Eh, film dimulai," ucap Ben, meminta kepada Lea untuk tidak lagi bergurau karena film yang akan mereka tonton adalah film horor. "Jangan takut, yaa …," ujar Ben berbisik, seolah mengejek Lea yang penakut.

Lea tidak menanggapinya. Ia merasa kalau dirinya sama sekali tidak takut dengan film horor. Sayang, ia belum pernah mencoba menonton film horor dengan 3 dimensi seperti ini.

***

Lampu dalam bioskop telah kembali menyala, membuat beberapa orang memilih untuk bergegas beranjak dari tempat duduk mereka dan pergi meninggalkan studio. Sementara Ben masih duduk untuk menunggu jalan sedikit lebih sepi agar tidak mengantre dan berdesakkan saat keluar studio.

"Bagaimana film—nya? Lea?" panggil Ben. Ia heran melihat Lea yang sejak tadi hanya diam, tak memberikan komentar apapun.

Lea masih bersandar pada bahu Ben, sepertinya ia tertidur. Ben melepas pelan kacamata 3D yang dipakai oleh Lea, ia sedikit memajukan wajahnya untuk melihat betapa gemasnya Lea saat tengah tertidur seperti itu.

"Lea …," ucap Ben sangat lembut, berusaha membangunkan Lea tanpa membuatnya tersentak. "Lea, ayo—"

Lea membuka matanya pelan, melihat sosok Ben sangat dekat dengannya. Matanya sama sekali tak mengerjap. Entah mengapa, Lea seolah tidak lagi merasakan detak pada jantungnya. Seolah mati, seperti dunia berhenti sejenak untuk memberikan waktu kepada Lea menatap wajah Ben dengan jarak yang sangat dekat.

"Sudah bangun?" tanya Ben lagi, kali ini membuat Lea mengerjap dan kemudian beralih.

"Aku tertidur terlalu lama," ucap Lea.

Praaak

Lea tidak sengaja menumpahkan popcorn yang masih bersisa sedikit.

"A—aku akan bersihkan," ucapnya sembari mengambil tas dan juga merapikan tempat bekas popcorn serta minumannya. "Kak, Ben bantu aku—"

Lagi

Lea tak sengaja kembali menabrakkan bibirnya tepat di pipi Ben yang sedang membantunya memunguti butiran popcorn yang terjatuh. Keduanya kembali menatap bahkan Lea menelan salivanya berulang kali, seketika ia menjadi sangat gugup.

"Biar aku yang memungutnya," ujar Ben, membuat Lea tak mampu berkata lagi.

Kesalahan yang dilakukan hingga dua kali dihari yang sama, membuat Lea merasa kalau Ben seperti kesal padanya. Ben tidak lagi banyak bicara dan juga tak lagi hangat seperti sebelumnya. Bahkan saat keduanya berjalan keluar dari studio, Ben tidak mempermasalahkan Lea yang meminta berjalan di belakangnya.

'Apa Kak Ben marah padaku? Ini benar-benar murni kecelakaan.'

Next chapter