webnovel

2. Egois

Aku tersaruk-saruk menuruni tangga dengan sepatu dan buku di dekapanku. Rambutku bahkan masih basah. Dan aku juga belum—tidak sempat sarapan. Singkat kata, aku terlambat pemirsah! Di luar, Bang Dika semakin membabi buta menggeber-geber motor gedenya.

"Buruan, Naa! Semenit lagi lo belum nongol, gue tinggal!"

"Iya! Iya! Buset, dah! Sabar dikit napa, sih?" omelku sambil berlari menghampiri dia yang tengah nangkring di atas motornya.

Hah! Luntur sudah segala rasa yang kumiliki untuknya. Aku bersumpah untuk menolaknya ketika mengajakku having fun nanti malam!

Sejenak, aku tertegun dengan pemikiranku sendiri. Inget, Naa, lo adeknya! batinku mengingatkan.

"Bangke!"

Pekikan Bang Dika membuyarkan lamunanku. Kulihat dia tengah menggosok-gosok dahinya yang tampak memerah, dan sepatuku yang sebelah sudah berada di dekat kakinya.

"Bisa jangan berisik nggak? Anak gue kaget denger suara motor lo!" omel Mbak Lana sembari berkacak pinggang di sampingku. Dia kakak perempuanku—anak pertama keluarga ini, dan baru melahirkan sekitar empat bulan lalu. Di tangannya sudah ada sepatuku yang sebelah lagi. Posisinya sudah siap untuk melemparkan menuju sasaran, yaitu jidat Bang Dika.

"Tapi nggak usah pake nglempar pake sepatu juga, kali, Mbak! Ketampanan gue jadi ternoda. Mau lo dihujat sama Swargahollic garis berat?" Kemudian, dia menoleh padaku, memasang tampang nelangsa. "Dek, tolongin Abang. Abang dianiaya," katanya dengan suara dibuat semenderita mungkin.

"Ra-sa-in!" kataku tanpa suara, kemudian menjulurkan lidah ke arahnya.

Perdebatan kedua manusia paling tidak akur di dunia masih berlanjut, sedangkan aku memilih untuk merapikan penampilan. Asal kalian tahu, Bang Dika merupakan selebgram. Peenggemarnya menamai diri mereka Swargahollic. Karena itulah, bukannya bekerja di kantor bang Nico setelah lulus kuliah, dia lebih memilih menekuni dunia konten kreator dan sekarang mulai merambah ke Yutub. Silakan kalian cari saja akunnya di IG, pasti tidak ada.

"Bang, Naa udah siap!" kataku.

Bang Dika mengangkat sebelah tangannya, lalu berkata, "Bentar, bentar! Gue belum selesai sama masalah penganiayaan tadi ...."

Aku memutar bola mata. Sungguh, jika di biarkan, maka pertengkaran kedua makhluk itu baru akan selesai seribu tahun kemudian. Aku kembali menarik-narik jaketnya.

"Bang, buruan! Naa bisa telat."

Dia masih tak menghiraukanku. Aku berteriak memanggil Juna—tetanggaku. Rumahnya tepat di sebelah rumahku.

"Jun, gue nebeng sama lo, ya?" tanyaku.

"Eh, bukan gue nggak mau, tapi ...." Juna menggaruk-garuk tengkuknya.

Bang Dika terkenal sangat protektif padaku, semua temanku mengetahui itu. Mungkin karena itu juga aku mengidap jomlo akut. Mana ada cowok yang berani mendekatiku kalau hanya mengajakku mengobrol saja sudah mendapatkan tatapan maut darinya.

"Bang Dika lagi sibuk debat. Ayok, lah! Gue nggak mau telat," sahutku.

"Gue udah kelar, kok. Lo pergi aja sono! Nggak perlu repot-repot nganterin Siena. Dia tanggungjawab gue," kata Bang Dika yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. Dia merangkulku dengan posesif. Aku mendongak menatapnya.

"Iya, 'kan, Naa?" Bibirnya tersenyum, tetapi tatapan matanya dingin dan menusuk.

Aku mengangguk ngeri.

"Iya, Bang. Sorry, Jun," kataku tak enak hati pada Juna.

Juna tersenyum padaku, "Nggak apa-apa, Naa. Gue duluan, ya?" Kemudian dia melesat pergi, menghilang dari pandanganku.

Bang Dika menarik tanganku dengan kasar. Dia diam saja saat tengah memasangkan helm padaku. Ekspresinya sama sekali tak terbaca.

"Bang—"

"Buruan naik, lo bilang udah telat, 'kan?" Nada bicaranya begitu dingin.

***

"Bang, jangan ngebut-ngebut! Gue takut!"

Sedari tadi aku berteriak, tetapi Bang Dika tak mengacuhkannya. Dia justru semakin mempercepat laju motornya. Aku nggak mau mati, aku nggak mau mati. Aku terus menerus merapalkan kalimat itu seperti sebuah mantra, seolah hal itu akan menolongku jika terjadi sesuatu.

"Bang, please! Naa takut!"

Ketika Bang Dika menghentikan motornya di taman dekat sekolah, aku melepaskan helm dan langsung berlari ke meninggalkannya. Terdengar Bang Dika berteriak memanggil, tapi tak kuhiraukan. Aku masuk ke toilet, dan saat itulah tangisku pecah.

Aku tak tahu di mana letak kesalahanku. Kenapa Bang Dika bisa sekasar itu? Dia bahkan tak memedulikan keselamatan kami. Apa dia marah karena aku berbicara pada Juna? Apa salahnya? Toh, selama ini aku tak pernah ikut campur ketika dia bergaul dengan siapa pun dan berpacaran dengan cewek mana pun. Kenapa dia harus marah hanya karena masalah sepele?

Ini pertama kalinya aku melihat sisi lain Bang Dika. Dia yang begitu kasar dan egois. Seberapa banyak lagi hal yang tak kuketahui tentang kakakku itu?

***

Bang, di mana?

Kukirimkan pesan ke nomor Bang Dika. Centang dua, tapi belum dibaca. Sudah hampir setengah jam aku menunggunya, tetapi ia tak kunjung muncul. Padahal, tadi di pesannya ia mengatakan akan menjemput dan aku harus tetap menunggu. Ingin mengajakku ke suatu tempat, katanya.

Aku kembali mengirimkan pesan, mengatakan kalau aku menunggunya di taman dekat sekolah. Sekadar untuk mengusir kebosanan, aku membuka IG, melihat postingan yang dibagikan teman-temanku. Jariku terhenti saat melihat foto Bang Dika dengan seorang cewek. Dibagikan baru sekitar dua puluh menit yang lalu.

Apa-apaan dia? Di sini aku panas-panasan demi menunggunya, dia malah asyik-asyikan pacaran! Kepalaku panas, siap meledak kapan saja. Darahku seolah mendidih. Ya! Aku cemburu! Dia mengabaikan pesan dan panggilan dariku! Dia lebih memilih untuk berkencan dengan cewek lain dan mengingkari janjinya padaku!

Kuputuskan untuk pulang. Terserah kalau dia marah dan mengamuk. Aku tidak peduli jika dia pusing mencariku! Itu pun jika dia ingat! Aku baru saja akan memesan ojek online ketika Juna menghampiriku.

"Naa, Bang Dika belom jemput?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Lagi sibuk sama ceweknya," jawabku ketus.

"Emm ... ikut gue mau nggak?" tanyanya. Ada keraguan dalam suaranya.

"Lo nggak marah soal tadi pagi? Sorry, ya, abang gue emang gitu, tapi dia sebenernya baik, kok."

Eh, kenapa aku harus membelanya? Siena bodoh! Dia itu jahat! Buktinya, dia lebih memilih cewek lain daripada menepati janji untuk menjemputku!

Cowok itu tertawa, membuat lesung pipitnya terlihat.

"Nggak, lah. Kenapa mesti marah? Gue kalo punya adik cewek juga bakal ngelakuin hal yang sama. Apalagi adiknya secantik lo."

"Bisa aja lo," kataku. Sepertinya aku tersipu. Jadi begini, ya, rasanya digombali cowok?

Dia mengulurkan helm padaku. Bingung juga kenapa dia membawa dua helm, padahal dia selalu berangkat ke kampus sendirian.

"Naa, kalo kita ke kafe dulu gimana? Di deket sini ada kafe baru. Lo mau nggak?" tanyanya.

Aku berpikir sejenak. Tidak apa-apa, 'kan, sesekali pulang terlambat? Aku mengangguk, kemudian kusadari kalau cowok itu tidak bisa melihatnya.

"Boleh," sahutku balas berteriak.

Kafe itu cukup ramai. Mungkin karena masih baru, sehingga orang-orang masih penasaran dengan menunya. Dia menggandeng tanganku, kemudian menuntunku masuk. Perlakuannya kembali membuatku tersipu. Kenapa sikapnya manis banget, sih? Coba Bang Dika bisa bersikap semanis ini.

Baru beberapa langkah, tiba-tiba seseorang menarik tanganku dengan kasar. Aku memekik. Aku sudah membuka mulut, hendak memaki orang yang sudah bersikap kurang ajar itu. Namun, begitu melihat siapa orang itu dan juga ekspresinya, kekesalanku berubah menjadi kepanikan.

Bang Dika menatapku dingin. Rahangnya menegang. Wajahnya merah padam. Tangannya mencengkeram erat pergelangan tanganku.

"Gue udah bilang 'kan kalo lo mesti nunggu? Lupa?" tanyanya dingin.

"Bang, jangan marahin Siena. Gue yang ngajakin—"

"Gue lagi ngomong sama adek gue. Lo nggak perlu ikut campur!" Bang Dika memotong perkataan Juna. "Dan gue ingetin sama lo, jauhin Siena!" imbuhnya.

Aku meringis ketika cengkeraman Bang Dika semakin kencang. Dia menyeretku menuju motornya.

Juna meraih tanganku, membuat langkah kami terhenti. "Tapi nggak perlu kasar gitu lah, Bang! Kasian Siena, dia kesakitan," katanya sambil menatapku iba.

Bang Dika melepaskan genggaman Juna di pergelangan tanganku secara paksa, lalu mendorongnya—membuat cowok itu terhuyung. "Gue bilang jauhin Siena! Jangan coba-coba deketin dia, apalagi berani nyentuh dia!"

***

Bang Dika membawaku ke sebuah gedung apartemen. Dia bungkam saat aku bertanya tujuan kami ke sini. Kami berhenti di depan sebuah unit. Dia mengeluarkan selembar kartu akses untuk membuka pintu, kemudian menyeretku masuk.

"Gue udah bilang 'kan tunggu gue jemput? Kenapa lo malah pergi sama dia? Gue nyariin lo, takut terjadi apa-apa sama lo!" Dia berteriak padaku.

Aku hanya bisa menggumamkan permintaan maaf. Entah sejak kapan, air mataku sudah jatuh. Aku takut melihat sorot matanya yang begitu liar dan penuh amarah. Dia menarikku ke sebuah kamar, mendorongku hingga jatuh di atas tempat tidur. Bang Dika mencengkeram leherku, lalu menciumku dengan sangat kasar.

"Bang, maafin Naa. Naa janji nggak akan ngulangin lagi," kataku berharap kemarahan Bang Dika mereda.

"Lo nggak belajar dari kejadian tadi pagi!"

Dia memperlakukanku begitu kasar. Tak memedulikan aku yang menangis dan berteriak memohon padanya. Aku meronta, tetapi percuma—tubuhnya jauh lebih besar dariku. Dia tak menghiraukan aku yang kesakitan karena perbuatannya. Setelah itu, dia meninggalkanku begitu saja seorang diri.

Aku hancur! Dia sudah menginjak-injak harga diriku. Tubuhku sakit, tetapi hatiku jauh lebih sakit. Ke mana kakakku yang dulu? Yang selalu lembut dan selalu tersenyum padaku. Aku tak mengenali siapa pemuda tadi. Dia begitu kasar dan tak berbelas kasihan. Ataukah memang seperti itulah sifat kakakku yang sebenarnya? Seberapa banyak hal yang kuketahui dan tidak kuketahui tentangnya?

Next chapter