2 Dua

Becca mengetuk pintu rumahnya perlahan. Selama beberapa menit, dia tak mendengar sahutan dari dalam. Selama itu juga tak ada pertanda jika pintu akan dibuka. Tak sabar, gadis itu akhirnya menarik handle pintu. Raut wajahnya mengekspresikan kekhawatiran saat melihat pemandangan di depan matanya. Di kursi ruang tamu Wulan, ibunya, sedang duduk dengan sebatang rokok terselip di antara jemari tangan. Asap putih mengepul keluar dari mulut wanita itu. Gaun mini yang masih melekat di tubuh Wulan membuat Becca yakin kalau wanita itu pasti baru sampai di rumah juga. Mungkin beberapa menit sebelum dia datang.

"Ibu! Ibu kok masih ngerokok sih? Kan Ibu lagi sakit!" seru Becca ketika kakinya telah menginjak lantai ruang tamu. Usai melemparkan tas ranselnya ke kursi, dia mendekati Wulan.

Berbanding terbalik dengan ekspresi khawatir Becca, Wulan justru menatap anak gadisnya itu dengan tenang. Hanya sekilas, tapi tajam. Lalu, seolah tak peduli dengan kekhawatiran Becca, wanita itu melanjutkan lagi akitivitasnya mengisap silinder beracun.

Becca memandang wanita dengan rambut bergelombang itu dengan tatapan sendu. Dia lelah dengan aktivitasnya seharian dan bukan sambutan seperti ini yang menjadi harapannya. Bukan tatapan tajam nan mengerikan dari Wulan yang dia inginkan, melainkan senyum hangat yang menenagkan.

"Ibu dengerin Becca. Ibu jangan ngerokok lagi, ya!" mohon Becca. Gadis itu berlutut di samping kursi tempat Wulan duduk sambil berusaha merebut rokok dari tangan wanita itu.

Wulan mengembuskan asap dari mulutnya. "Uhk ... uhk ... mana uang kamu!" bentaknya kemudian. Wanita itu menepis tangan Becca lalu mendorong anak gadisnya itu dengan kasar.

Tubuh Becca terhuyung ke belakang hingga akhirnya terlentang di lantai. Dalam hitungan detik tetes bening melesak keluar dari rongga matanya.

"Mana uang kamu? Jangan mewek saja kamu anak cengeng!" hardik Wulan. Wanita itu berdiri tegak usai menarik bagian bawah mini dress hitamnya dan meletakkan rokok di asbak.

"Dengar ya, merokok atau tidak itu bukan urusan kamu! Kamu itu anak kecil jangan sok menasehati Ibu!" bentak Wulan sambil mengacung-acungkan telunjuknya di depan wajah Becca. Dia kemudian menarik lengan Becca agar gadis itu berdiri.

Isakan Becca mulai terdengar memilukan seiring dengan air matanya yang mengalir semakin deras. Tubuhnya gemetar. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya. Wulan bisa bertindak nekat kalau sedang terbakar amarah.

"Ibu bilang jangan mewek, ya jangan mewek, goblok! Sekarang mana uang kamu? Kasih ke Ibu cepat!" bentak Wulan. Tangan wanita itu beralih dari dagu ke rambut Becca. Dia tarik Rambut gadis itu kuat-kuat.

"Ahh! A ... ampun, Bu, sakit!" rintih Becca ketika rasa sakit bercampur panas menjalar di permukaan kulit kepala di bagian rambutnya yang dijambak Wulan.

"Makanya kasih ke Ibu uangnya cepat!" Wulan melepaskan tangannya dari rambut Becca. Dia lantas mendorong tubuh anak gadisnya itu kuat-kuat. Akibatnya tubuh Becca terhempas ke kursi tempat dia melemparkan tas. Dengan tergesa gadis itu lantas menggeledah tasnya, berusaha menemukan uang yang dia simpan di dalam dompet. Sembari menunggu Becca yang sedang menmbongkar isi tas, Wulan mengambil lalu mengisap lagi rokoknya.

"Ini untuk berobat Ibu." Becca menyerahkan setumpuk uang ke hadapan Wulan. Campuran lembaran lima puluh ribu dan seratus ribuan.

"Uhk ... uhk ... sedikit sekali!" bentak Wulan setelah dia memperhatikan lembaran uang di tangannya. Jumlah lembaran itu lebih sedikit dari yang biasa Becca berikan. "Sisanya kamu ambil, ya!" desisnya sambil menempelkan bagian rokok yang masih panas ke pipi Becca.

"Ahh! Tidak, Bu, memang Becca cuma dapat itu kemarin sore," jawab Becca lirih. Dia abaikan rasa panas dan perih yang merayap di permukaan kulit wajahnya. Hanya desisan yang keluar dari mulutnya ketika rasa panas itu terasa menusuk ke dalam daging.

Dengan kasar Wulan menyeret Becca menuju dapur. Becca tak melawan. Lelehan air mata di pipinya masih terus mengalir. Sementara itu, seolah tak iba melihat tangisan Becca, Wulan meraih pisau dapur lalu dia tekankan bagian ujung pisau itu ke sudut bibir anak gadisnya tersebut.

"Kalau sampai kamu bohong, Ibu nggak akan segan-segan merobek mulut kamu pakai ini," kata Wulan.

"Ampun, Bu. Sakit …," rintih Becca. Perih terasa di sudut bibirnya. Pisau tajam itu berhasil merobek kulitnya.

"Dasar cengeng!" bentak wulan. Didorongnya tubuh Becca ke tembok. Pisau yang tadi dia pegang dilemparkannya keras ke lantai, menghasilkan bunyi kelontang yang mengerikan.

Tanpa berkata apa-apa lagi Wulan kemudian membalikkan badan, berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dia meninggalkan Becca yang sudah terduduk di lantai dengan wajah tertunduk dan lutut yang tertekuk. Tangisnya terurai semakin parah.

Sejak kecil hubungan Becca dengan Wulan tidak pernah normal seperti ibu dan anak pada umumnya. Hari demi hari, sejak Becca kecil hingga sekarang usianya sudah menginjak enam belas tahun, dia selalu tumbuh dalam bayang-bayang kebencian Wulan. Setiap kata kasar dan makian dari Wulan menimbulkan luka yang mendalam di hatinya.

Namun, semua itu tak mengurangi rasa sayang Becca pada Wulan. Karena hanya ibunya-lah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Dari kecil dia tidak pernah bertemu ayahnya. Wulan bilang ayahnya sudah meninggal karena kecelakaan saat dia masih berada di dalam kandungan.

Becca kecil sering sekali bertanya tentang ayahnya. Pernah suatu hari dia bertanya pada Wulan saat melihat seorang anak perempuan sedang digendong seorang pria berjalan lewat depan rumah mereka.

"Bu, Ayah di mana? Becca mau juga digendong Ayah seperti itu, Bu!" kata Becca kecil sambil menarik-narik ujung rok Wulan.

Tanpa Becca duga Wulan menjawab dengan bentakan yang membuatnya tersentak kaget. "Ayah kamu sudah mati!" desis Wulan. Matanya melotot mengisyaratkan kemarahan yang begitu mengerikan.

Kejadian itu sudah sangat lama. Waktu itu Becca masih berusia empat tahun. Sejak saat itu dia tidak pernah lagi bertanya apa pun tentang ayahnya pada Wulan. Namun dalam hatinya dia tetap menyimpan rasa penasaran. Dia ingin tahu bukti nyata yang menunjukkan kalau ayahnya memang sudah tiada. Dia baru bisa percaya seratus persen ketika Wulan mengajaknya ke sebuah makam di usianya yang ke sepuluh tahun. Wulan bilang makam itu adalah makam ayahnya.

avataravatar