1 Memories

Untuk kesekian kali seorang wanita hamil besar datang ke rumah sakit dalam lima bulan terakhir. Inilah kegiatan rutinnya setiap hari, meski perut gendut menghalangi langkah namun, tak patah arang ia terus datang membesuk suami yang dalam keadaan koma akibat kecelakaan lalu lintas.

"Apa anak ini akan lahir tanpa ayah?" tanyanya mengusap perut mengingat suami tercinta di vonis memiliki persentase sangat kecil untuk bangun.

Dan jikapun ia bangun, kemungkinan besar dia akan hilang ingatan. Bahkan Dokter yang menangani suaminya menyarankan untuk melepas alat bantu pernafasan karena sudah tidak ada harapan pasien akan bangun kembali. Tapi, ia bersikeras tetap membiarkan alat-alat itu terpasang sempurna hingga pasien benar-benar menghembuskan nafas terakhir. Sebenarnya, apapun yang akan terjadi, anak pertama mereka akan tetap lahir tanpa seorang ayah.

Hana begitulah orang-orang memanggilnya, mendesah berat seraya mengusap dahi sang suami penuh kasih.

"Maaf." Bisiknya meminta maaf sebelum membuka alat bantu pernafasan sebentar hanya untuk mengecup pelan bibir penuh orang yang terlelap damai dengan selang infus dan beberapa kabel yang tertancap di tubuhnya. Kecupan pertama sejak wanita itu hamil. Tanpa ia sadari, sang suami yang bernama Callan Gui Marcus ini menggerakkan jari tangan sebelah kiri sadar dari koma panjang.

"Selamat tinggal." Pamitnya hendak kembali ke rumah setelah beberapa jam mendampingi orang yang tidak menganggap keberadaannya disini, apalagi hari mulai gelap.

Akan berbahaya baginya jika berjalan malam dalam keadaan hamil. Sekali lagi, ia membelai dahi di balik poni Gui dan mengecup punggung tangan kanannya sebelum beranjak.

Baru selangkah ia beranjak, jari-jari panjang Gui menggenggam jemari mungilnya. Hana tersentak kembali berbalik memastikan bahwa ia sedang tidak berhalusinasi. Benar. Ia memang tidak berhalusinasi. Suaminya memang sadar, namun dengan keadaan yang begitu lemah. Perlahan Gui membuka mata siap untuk mengarungi hidup di dunia nyata. Lagi.

"Gui? Kamu sadar?" tanyanya meyakinkan. Pria itu mengedipkan mata pelan tak dapat menyahut. "Sebentar, Tunggu sebentar. Aku panggilkan dokter." Paniknya bergegas mencari Dokter keluar.

"Aku siapa?" tanyanya serak begitu mendapat tenaga untuk mengeluarkan suara yang telah lama tidak di pakai.

Hana menatapnya nanar. Namun, inilah sebuah kecerahan untuk hidupnya.

"Kamu, Callan Gui Marcus." sahut Hana menatap matanya.

Gui mengangguk. Setelah itu, dokter memberikan beberapa pertanyaan padanya untuk memastikan sesuatu.

"Dia hilang ingatan sementara." Ucap dokter ketuk palu. Meskipun begitu Gui masih mengingat beberapa kata atau kalimat.

"Kamu siapa?" tanya Gui suatu hari pada Hana.

Karena hanya wanita itu yang selalu mengunjunginya setiap hari meski hanya sebentar tanpa sepatah katapun terucap antara mereka. Hari ini ia diperbolehkan pulang setelah beberapa hari lagi di rawat inap di rumah sakit.

"Aku? Aku Ayuringga Hana, istrimu."

"Itu artinya aku suamimu? Aku pasti sangat mencintaimu sebelumnya karena itu kita menikah. Bukankah seharusnya margamu menjadi Callan juga?"

"Hah? I.. iya."

"Apa ini rumah kita?" tanya Gui begitu sampai di depan pekarangan sebuah rumah.

"Iya."

"Aku suka berkebun gak?" tanyanya lagi melihat tanaman bunga tumbuh subur.

Hana menggeleng.

"Kalau kamu?" Hana mengangguk mengiyakan.

"Apa bunga kesukaanmu?"

"Lily. Lily putih."

"Hmm.. lily ya? Apa bunga yang itu?" tanyanya menunjuk sembarang bunga.

"Gimana bisa tahu bunganya yang itu?"

"Asal tebak aja. Yang jelas, bunganya terlihat anggun sepertimu meski sedang hamil."

"Makasih." Terima kasih Hana tersipu malu mendapat pujian.

"Liat tuh! Wajahmu memerah, kelihatan lebih anggun lagi." Puji Gui lagi membuat Hana melayang.

"Ayo masuk! Aku lelah berdiri."

"Oke. Pasti berat jalan-jangan dengan perut besar gitu."

"Iya. Sedikit."

"Waahh.. rumah kita besar juga. Ini rancangan kita berdua 'kan?"

"Gak. Ini hadiah pernikahan dari orang tuamu."

"Benaran? Jadi ini bukan rumah idaman kita dong?" tanyanya sedikit kurang suka. "Hana, apa saja kesukaanku dan kesukaanmu?" tanya Gui lagi begitu mereka mendudukkan pantat di sofa ruang keluarga begitu bersemangat untuk mengingat segala sesuatunya.

"Gui?" panggil Hana lembut sambil menunduk.

Ia begitu ingin menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Secepatnya, ia harus memberitahu Gui apa yang terjadi. Tapi, sepertinya keadaan Gui tidak begitu sehat untuk mengerti apa yang akan ia sampaikan saat ini.

"Ya?" tanya Gui menatapnya dalam menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut mungil Hana.

"Aku.. aku lelah." Putusnya mengingat kondisi Gui yang begitu labil untuk mengetahui semuanya dalam beberapa jam setelah kepulangannya.

"Baby~nya ngantuk ya? Kalau gitu, kita istirahat barengan deh. Tubuhku juga pegal-pegal di gerakkan, mungkin karena udah kebiasaan baring kali ya." Ujarnya mengelus perut buncit Hana. "Yok! Kekamar. Ngomong-ngomong, dimana kamar kita?"

"Eum.. itu.." dengan ragu akhirnya Hana menjawab "Kita gak tidur sekamar."

"Kenapa? Kita 'kan udah nikah kenapa tidurnya gak sekamar?" heran Gui tak mengerti.

"Kamu suka nendang waktu tidur jadi, kita pisah kamar karena takut nanti perutku kena tendang sama kamu."

"Oh, gitu ya? Maafin papa ya sayang.. gara-gara tingkah papa gak baik waktu tidur kita jadi gak bisa tidur sekamar. Sayang, nanti jangan nakal seperti papa ya? Jangan tendang-tendang mama. Kalau mama kesakitan gimana? Ya? Jaga mama baik-baik ya?" ujar Gui bertingkah lucu sambil mengelus-elus perut bulat Hana.

"Gui, jangan menyentuhku terlalu lama."

"Kenapa lagi?"

"Aku suka mual kalau di sentuh terlalu sering. Apalagi kalau geli."

"Kamu sensitif banget sih, sayang." Gerutu Gui menjauhkan jemari panjangnya dari perut Hana tanpa rasa curiga sedikitpun. Wanita itu tersanjung begitu Gui menyapanya dengan kata 'sayang'.

"Pasti sulit buat gerak dengan keadaan gini. Iya 'kan?" Hana mengangguk mengiyakan.

"Eum.. yok aku antar kekamar. Kamarmu dimana? Trus kamarku dimana?"

"Kamarku di bawah samping tangga. Kamarmu di atas sebelah kanan tangga paling ujung."

"Oke. Yok!" ajak Gui menuntun Hana ke kamarnya. Membantunya berbaring, kemudian menyelimutinya.

"Baby, jangan nakal ya nak. Jangan ganggu mama. Mama capek. Istirahat yang tenang ya sayang. Oke?" sekali lagi Gui membelai perut Hana.

"Istirahatlah. Jangan sampai kelelahan." pesan Gui pada Hana meninggalkan kecupan singkat di dahinya sebelum beranjak pergi.

'(Ini gak benar!)' pikir Hana

"Gui?" panggilnya begitu pria itu mencapai pintu, Hana sudah sangat ingin memberitahukan semuanya.

"Ya?" tanyanya tersenyum polos.

"Bukan apa-apa. Selamat tidur." Simpang Hana menyampaikan salam tidur. Hatinya tidak rela melihat senyum cerah itu menghilang seketika jika ia mengatakan yang sebenarnya.

"Selamat tidur, Hana!" balas Gui menutup pintu masih dengan senyuman yang tak luntur.

Seminggu kemudian..

"Kamu ingat sesuatu?" sapa Hana duduk di samping Gui yang tengah melamun memegang kepala memperhatikan sebuah suvenir pernikahan.

"Gak. Gak ingat." Sahutnya menghembuskan nafas berat. "Aku udah coba mengingat semuanya tapi hasilnya nihil. Kepalaku sakit terus-terusan dipaksa."

"Oh, ya udah. pelan-pelan aja."

"Iya. Kamu bakalan bantu aku 'kan?" dengan ragu Hana mengangguk pelan.

"Hana, aku suka pergi-pergi gak? Kakiku gatal banget pengen jalan." Lagi Hana mengangguk.

Gui tersenyum. "Kita makan di luar yuk! Eum.. tunjukin aku tempat makan favorite kita."

"Kita gak punya tempat makan favorite. Cuma kamu."

"Hanya aku? Aneh banget. Ya udah kamu tahu tempatnya 'kan?"

"Iya."

"Yok! Ajak aku kesitu." Rayu Gui bertingkah imut.

Tanpa ba–bi-bu.. Hana langsung mengabulkan meski perutnya yang semakin hari semakin besar dan berat, tetap ia paksakan untuk berjalan karena berencana akan melahirkan normal jadi, dia harus banyak bergerak.

"Ini tempatnya?" tanya Gui begitu sampai di sebuah cafe tempat biasa ia nongkrong bersama teman ataupun saat bersama seseorang yang spesial baginya.

Sebenarnya Hana tak begitu rela menunjukkan tempat ini. Tapi, terlalu lama menyembunyikan kenyataan hanya akan membuat diri sendiri sakit.

"Apa yang biasanya aku makan ya?" bingung Gui menggaruk kepala yang tak gatal melihat deretan menu makanan.

"Spagethi Bolognise." Sahut Hana tahu sedikit banyak tentang kesukaannya.

"Benaran? Kalau kamu, sayang?" tanyanya.

"Sama. Tapi, aku suka yang agak pedas."

"Baiklah, kita pesan itu saja." Ucap Gui mengembalikan buku menu pada pelayan cafe.

Seraya menunggu pesanan datang, Gui hanya duduk diam menopang dagu memperhatikan setiap inch gerak-gerik Hana membuat wanita itu salah tingkah.

"Hana? Kamu mencintaiku 'kan?" tanya Gui tiba-tiba.

Wajah Hana memerah, jantung bertalu-talu, lidahnya terasa kelu. Baru saja dia membuka mulut hendak menjawab, pelayan cafe mengusik mereka memberikan makanan yang telah di pesan. Memecah fokus Gui yang tengah menantikan jawaban.

Mencium aroma nikmat dari spagethi tersebut, dia lupa akan pertanyaannya barusan. Meloloskan Hana dari jebakan yang mungkin akan melukai hati salah satu dari mereka.

Sejak keluar dari rumah sakit, Callan Gui Marcus yang dulunya pendiam kini berubah cerewet, tanya ini, tanya itu karena dia sangat tahu betapa tidak enaknya menjalani hidup tanpa memori. Dan Hana selalu menjawab pertanyaannya dengan jujur meski wanita itu lebih banyak menjawab dengan isyarat mengangguk ataupun menggeleng.

Dari sana, Gui mengenal Hana sebagai seorang yang pemalu dan pendiam. Anehnya, kejujuran Hana tak membuahkan hasil bagi ingatan suaminya sehingga membuat wanita itu sejenak menikmati permainan hidup.

"Kemana?" tanya Gui melihat Hana hendak pergi keluar lagi padahal mereka baru saja kembali.

"Aku lupa beli bahan untuk makan malam." Jawab Hana memeriksa kembali daftar barang yang ingin dia beli.

"Biar aku yang pergi. Sendiri. Aku udah hafal jalan ke super market. Ya?" mohon Gui manja. Kakinya masih ingin berjalan-jalan kian kemari.

"Oke, kalau terjadi sesuatu telpon aku ya?" pasrah Hana tak tega melihat mata berbinar pria itu saat meminta.

"Ashiap.." sahut Gui langsung terbang hambur keluar rumah begitu mendapat tugas pertama yang hanya akan ia lakukan sendirian setelah menerima catatan belanja dari Hana.

"Callan.." panggil seseorang dari kejauhan begitu pria itu selesai berbelanja.

"Ya?" sahutnya melirik kiri kanan. Ia pikir akan bertemu dengan teman yang kemarin bertemu dengannya namun, ini orang yang lain lagi. Wanti-wanti, Gui merogoh kantong celana mengambil handphone siap menghubungi Hana jika ada sesuatu yang tidak bisa ia jawab nanti.

"Hai.. gimana kabar kamu? Udah sembuh belum?"

"Eum.. lumayan. Seperti yang terlihat."

"Maaf ya, selama kamu di rumah sakit aku gak sekalipun ngunjungin kamu, karena Hana selalu disitu. Keberadaannya bikin aku gak bisa ketemu kamu." Tukas orang itu tanpa ditanya.

Ingin Gui bertanya siapa dia dan ada hubungan apa antara mereka. Tapi, tertahan karena kalimat yang disampaikan wanita itu sedikit janggal. Dan sebuah pertanyaan timbul, kenapa orang ini tidak membesuknya hanya karena Hana selalu disisinya, padahal teman yang lain datang beberapa kali bersamaan dengan istrinya.

"Gak papa. Lagi pula sekarang 'kan kita udah ketemu." sahut Gui tersenyum. Bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja.

"Oh, ya. Ada yang mau aku tanyakan sama kamu, bisa bicara sebentar gak?"

"Oh.. iya, bisa." Setuju Gui karena sedikit ingin tahu tentang orang ini.

"Ya udah, ayok! Kita ketempat biasa." Ajak wanita itu menariknya ke cafe yang tadi siang ia datangi bersama Hana.

'(Siapa wanita ini? Kenapa dia bilang tempat favoriteku sebagai tempat biasa? Apa hubunganku dengannya? Apa Hana berbohong sebelumnya?)' Pikir Gui. pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dalam benak.

"Aku.. aku penasaran apa yang mau kamu bilang ke aku waktu itu."

"Yang mau aku bilang?" bingung Gui.

"Ya.. yang mau kamu bilang sebelum kamu kecelakaan waktu itu. Jadi.. gimana keputusannya?"

"Maksudmu apa? Keputusan apa?"

"Bukannya kamu mencintaiku? Dan karena itu kamu selalu ketemu aku?"

"Maaf. Sebenarnya.. aku lupa ingatan. Aku bahkan gak ingat nama sendiri." Maaf Gui memutuskan untuk memberitahu orang itu. Terlebih ia makin tidak paham arah tujuan pemicaraan ini.

"A.. Apa?" kaget orang itu tak dapat mencerna.

"Iya. Akibat kecelakaan itu aku lupa ingatan. Bisa gak kamu jelasin ke aku maksud kamu itu apaan? Dan apa hubungan kita?" tanya Gui sudah sangat ingin tahu.

Lama wanita itu terdiam.

"Eum.. Aku Bryeveta. Kamu dan Hana menikah tanpa cinta. Karena merasa muak, kamu mendekatiku. Dan terakhir, kamu bilang bakalan ceraiin Hana dan nikah sama aku."

"APA!?" Pekik Gui begitu mendengar kata 'cerai'.

Ngilu menusuk hati. Tanpa pikir panjang, ia menyambar kantong belanjaan berlari pulang ingin minta penjelasan pada Hana.

"HANA!" Teriak Gui.

Mendobrak pintu masuk terus menuju pintu kamar Hana membukanya dengan dobrakan lagi. Hana yang terkejut, terlonjak kaget hingga selembar kertas jatuh dari tangannya.

Melihat judul di kertas itu, kantung belanja dalam genggaman Gui terlepas, isinya berserakan di lantai. Mata pria itu beralih ketangan kanan Hana yang memegang sebuah pena tinta hitam.

"Apa maksudnya ini? Kamu sengaja bohongin aku? Wanita itu bilang kita gak saling cinta. Trus, Kenapa? Kenapa kamu gak kasih tahu dari awal? Kenapa kamu biarin aku hanyut dalam kebersamaan sama kamu? KENAPA?!" hardik Gui membuat Hana bergidik takut.

"Cepat, jawab!" sambungnya dengan nada dingin.

"Aku.. aku gak maksud bohongin kamu. Memang salahku ngerasa nyaman sama kelakuanmu kayak gini, karena aku.. aku… Maaf." Hana mencoba untuk jujur. Tapi, ujung-ujungnya dia menyembunyikan sesuatu lagi.

"Aku gak kasih tahu dari awal karena mengingat kondisimu yang belum terlalu sehat dan aku berniat bakalan kasih tau kalau kamu udah benar-benar siap. Mungkin Bryeveta udah ngasih tau kalau kita menikah bukan karena cinta tapi, pernikahan politik antara perusahaan warisan orangtuaku sama perusahaan orang tuamu. Dan karena itu juga kita gak tidur sekamar yang karena gak sekilaspun kamu melirik dan gak sedikitpun kamu merasa tertarik sama aku. Dan itu.." tunjuk Hana pada kertas yang tadi ia jatuhkan.

"Itu bukti kamu gak cinta. Surat perceraian itu kamu berikan tepat di hari yang sama dimana aku baru tahu lagi hamil anakmu.." Terang Hana menatap pasti pada manik mata Gui ingin memastikan apa reaksinya.

"Gimana bisa kamu hamil anakku kalau emang aku gak cinta?"

"Ada saatnya kamu lelah bekerja dan pulang dalam keadaan mabuk. Saat seperti itu kamu selalu menyentuhku. Sebagai seorang istri, tanggung jawabku meladenimu dan gak sekalipun aku tolak. Sebenarnya, waktu itu aku gak pernah ingin memberitahu tentang kehamilan ini karena aku sendiri baru sadar malam hari. Sedangkan kamu memberikan surat perceraian itu sore sepulang kerja. Entah kenapa malam itu kamu masuk kamarku tanpa ijin mengacak-acak semua laci yang ada di sini. Terakhir aku memergokimu memegang testpack yang kusembunyikan disana." Jelas Hana menunjuk laci nakas samping kepala tempat tidur.

"Mengetahui aku positif hamil kamu marah besar setelah itu kamu langsung menelpon Bryeveta, buru-buru ingin menemuinya. Waktu di perjalanan kesana kamu bawa mobil dalam kecepatan tinggi. Kamu nabrak mobil dari arah berlawanan mengabaikan lampu merah." Papar Hana.

Gui memegangi kepala mencoba mengingat hari itu. Sekilas, beberapa bayangan muncul di benaknya. Tanpa sepatah katapun Gui meninggalkan Hana. Wanita itu hanya bisa mengambil nafas berat sambil menengadah menatap langit-langit kamar sedangkan kedua tangannya mengelus perut yang semakin hari semakin buncit.

Perlahan tapi pasti ia berjongkok mengambil kertas yang tadi sempat tertunda untuk di tanda tangani. Tidak, sebenarnya kecelakaan yang menimpa Guilah yang membuatnya terus menunda penanda tanganan ini. Sekali lagi ia menghembuskan nafas berat sebelum benar-benar membuat tanda tangan di kertas ini. Selesai, ia menatap nanar kertas itu beberapa lama, hingga larut dalam lamunan.

"Haahh.. kamu akan lahir tanpa papa 'nak." Desahnya menatap perut seraya melipat surat cerai tadi lalu memasukkannya kedalam amplop.

"Brengsek! Kenapa kamu harus hilang, hah!?" pekik Gui mengadu kepala dengan dinding tembok kamar.

"Kamu harus ingat bodoh!" geramnya terus mengadu kepala. "Brengsek, brengsek, BRENGSEK!"

Tiga hari Gui mendekam dalam kamar merutuki diri tak tahu apa yang harus ia perbuat. Rasa lapar dan haus tak lagi ia rasakan seolah ia dapat hidup tanpa dua hal tersebut. Sesekali terdengar pekikan histeris yang menggema keluar membuat Hana bergidik ngeri, canggung untuk ambil sikap. Salah-salah mereka akan terjebak dalam masalah yang lebih rumit.

"Gui.. keluarlah, kamu harus makan." Ujar Hana mengetuk pintu kamar.

Satu tangannya memangku baki berisi mangkuk bubur dan segelas susu putih. Pria itu mendengar hanya saja tak tahu harus merespon seperti apa.

"Gui.. setidaknya kamu harus minum." Tambahnya lagi mengulang mengetuk pintu.

Ingin dia membuka pintu yang sedari tadi disandari tapi tangannya tak mampu di gerakkan. Bukan kesehatan yang salah tapi otak dan fikiran kacau balau.

Hanya inilah yang dapat ia lakukan selama tiga hari belakangan. Tak mendapat sahutan, Hana meninggalkan baki tersebut di depan pintu sebelum berlalu kebawah. Sepanjang menuruni tangga, sesekali ia mendongak ke atas berharap Gui akan menampakkan wajahnya dari balik pintu yang tertutup rapat.

Sering kali wanita yang tengah mengandung ini melamun panjang mengingat tingkah Gui yang berubah drastis, Hana menyalahkan diri sendiri karena pernikahan ini ia yang memulai. Ia yang meminta orang tua Gui untuk memadukan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Sebuah kesalahan yang tak pernah ia fikirkan. Rintik air mata jatuh membasahi pipi chuby Hana menyesali kesalahan tak termaafkan.

"Gui.. aku minta maaf."

Hana kembali menghampiri pintu yang sama. Kali ini dengan sebuah amplop di tangan. Ragu, ia menaruhnya di baki yang masih tergeletak di sana. Mungkin ini jalan yang terbaik dan akhir dari segalanya.

Ingin Gui menjawab, tapi apa yang harus ia katakan? Lama keduanya berdiri tegak saling berhadapan di batasi daun pintu. Hanya desahan nafas yang saling berpacu.

"Maaf." Bisik Hana sebelum beranjak. Menarik koper keluar rumah.

"I.. ini punya siapa?" tanya Gui memegang testpack menggambarkan dua garis merah. Hana terdiam menggenggam gelas berisi air putih.

"Siapa!?" hardiknya. Hana bergidik takut. "Bagaimana bisa? HAH?!" bentak Gui mengambil asumsi sendiri.

"Ki.. kita.. sering.. tidur bersama." Jujurnya menunduk dalam.

Gui mengacak rambut kasar. "Kenapa kamu gak memberitahuku sebelumnya hah!? Kamu tahu apa resiko menyembunyikan ini? Kau tahu gak?! Atau jangan-jangan kau sengaja ingin merusak pernikahanku dengan Bryeveta. Iya? Brengsek! BRENGSEK!" Geram Gui meninju pintu tepat di samping kapala Hana.

"Aku gak akan.. minta tanggung jawab." Gagap Hana menahan nafas.

Darah berdesir cepat keseluruh tubuh menatap mata tajam, merasakan gemetar tubuh Gui yang menjalar saat pria itu mengapitnya ke dinding. Kentara sedang menahan emosi.

"Gak kamu mintapun, tanggung jawabku akan tetap ada. Tahu gak?" ujar Gui dingin mengintimidasi.

Mata Hana goyang tak mampu menatap matanya. Jangankan menatap mata, melihat wajah garang Gui saja tak sanggup.

"AAAkkkhhh.." gusarnya menjauh.

Kali ini tendangan yang menempel dinding. Wanita di hadapannya hanya dapat membatu sambil berharap Gui membunuhnya saat itu juga. Dengan begitu, hal yang di takutkan pria itu akan hilang dan ia pun akan terlepas dari amukan si singa yang amat sangat ia cintai ini.

"Aaakkhh.." teriaknya lagi buru-buru mengambil handphone dari kantong celana menghubungi seseorang di ikuti langkah cepat keluar rumah mengendarai mobil langsung tancap gas dalam kecepatan tinggi.

"Hana?"

Gui jatuh terduduk memegangi kepala yang tiba-tiba berdenyut sakit setelah beberapa jam terdiam di tempat. Perasaan ini.. perasaan yang pernah ia alami sebelumnya. Perasaan bahagia membuncah namun juga kacau.

"Hana?" panggilnya pelan berharap orang yang di himbau akan segera datang.

Tak mendapat jawaban, Gui meraih ganggang pintu.

"Hana!" panggilnya menengadah menatap seseorang yang telah hilang.

"Hana!" lagi ia memanggil menyanggupkan diri untuk berdiri mencari orang tersebut meski kepala terasa berat akibat pusing berlebihan.

"HANA!" Pekik Gui melangkahkan kaki menuju pintu keluar begitu mendapat selembar kertas permintaan maaf di atas kasur dalam kamar Hana.

"Hana!?" panggilnya terus berjalan dengan mata yang mulai kabur baik akibat air mata maupun karena penglihatan yang rusak. Pikirannya masih berjalan menuju gerbang rumah menyetop sebuah taksi, setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi.

Kenyataannya, tubuhnya ambruk ditanah dalam pekarangan rumah sebelum mencapai gerbang.

"Gui? Gui? Kamu kenapa?" panik seseorang menepuk-nepuk pelan pipinya.

"Gui? Bangun. Jangan membuatku takut. Cepat bangun!" ujar wanita itu lagi, tangis hendak pecah darinya. "Gui..?" lirihnya masih mencoba membangunkan.

"APA?" sahutnya mengagetkan, lalu tertawa cekikikan.

"Aishh.. kamu! Dasar jelek gendut tukang buat ulah!" gerutu Hana memukuli pangkal lengan Gui begitu tahu ia tengah di kerjai.

"Yang gendut tuh kamu, bukan aku. Lihat aja ukuran perutmu." Kekeh Gui puas membuat Hana cemberut.

"Setidaknya, dalam perutku ada sesuatu, gak kayak perutmu, isinya angin doang. Dasar gendut!" Oceh Hana. Tak terima di sebut gendut.

Gui menggelitik pinggang Hana.

"Ei! Ei! Ampun!" kekeh Hana merasa geli. Gui ikut tertawa.

"Katakan dulu kalau yang kamu ucapkan tadi gak benar." Syaratnya.

"Iya.. Iya.. tapi, jangan gelitik lagi. Kalau aku muntah gimana? Kamu mau bersihinnya?" kalah Hana mencari alasan dengan nafas terengah-engah.

"Cepat! Katakan."

"Iya iyaa.. Kamu gak gendut karena buktinya perutnya datar. Udah, puas?" tanya Hana mengatakan apa yang terlihat dimatanya ketika Gui mengangkat ujung bawah bajunya memperlihatkan bentuk perut yang memang tidak gendut namun juga tidak kotak-kotak atau sixpack.

"Dasar gendut." Ulang Hana lagi sambil cekikikan menyembunyikan diri dalam selimut.

"Apa?" tanya Gui berpura-pura kaget.

"Gendut!" jawabnya dalam kurungan selimut diselingi cekikikan genit.

"Hei! Aku gak gendut. Terima ini." Balas Gui kembali menggelitiki pinggang Hana. Keduanya tertawa lepas menikmati waktu kebersamaan.

"Hana?" panggil Gui begitu nafas mereka kembali normal. Wanitanya tak menyahut.

"Hana?" panggil Gui lagi menyingkapkan selimut yang menutupi wajah Hana.

Gui menghirup nafas pendek tersenyum kecil melihat peluh bercucuran dari dahi indah di balik poni Hana. Perlahan, Gui mengusap butiran keringat itu sangat hati-hati tak ingin wanitanya terbangun dari waktu istirahat siangnya.

"Udah waktunya bobo' ya?" gumam Gui bertanya pada diri sendiri.

"Gui.." gumam wanita hamil itu belum sepenuhnya terlelap.

"Ya? Ada apa?"

"Aku mencintaimu Gui." Ucapnya tak sadar mengakui perasaan yang selama ini terpendam.

"Sama, aku juga mencintaimu, Hana ." Balas Qyou tersenyum bahagia membelai wanita yang tengah hamil ini hingga ia benar-benar terlelap.

DBUM!

Bunyi letusan ban truck yang kebetuan lewat didepan rumah mereka, sentak Hana terbangun.

"Guii..?" paniknya khawatir, nafasnya memburu.

"Gak papa.. gak papa." Sahut sang suami menenangkan. "Istirahatlah, gak apa-apa. Tidur lah."

"Gui?" panggil Hana lagi setengah sadar.

"Hmm?"

"Aku mau makan lima porsi omelet buatanmu.." gumamnya sebelum kembali jatuh tertidur akibat belaian lembut Gui di kepalanya.

"Kamu ngidam ya?" tanya Gui yang tak kunjung mendapat jawaban.

Begitu Hana benar-benar tertidur, Gui meninggalkan kecupan ringan di pipi chuby-nya.

"Met bobo' Hana, met bobo' anak papa." Ucap Gui menyampaikan salam tidur untuk sang istri sekaligus calon buah hati.

Setelah itu beranjak ke dapur membuatkan permintaan Hana meski tidak tahu apa yang akan ia lakukan, setidaknya Hana baru saja mengajari cara menggunakan internet sebelum mereka bercanda dan Hana berakhir jatuh tertidur di ranjang dalam kamarnya.

Dan bagaimana cara membuatnya? Gui tak terlalu memusingkan itu, karena beberapa hari belakangan ia belajar dasar-dasar memasak bersama Hana. Mudah-mudahan saja omelet yang di sebutkan istrinya bukan masakan restaurant yang begitu rumit untuk di buat.

.

"Hana?"

Gui memasuki kamar dengan sebuah piring di tangan selesai membuat omelet yang hasilnya lumayan hancur juga lumayan bagus bagi seseorang yang tidak bisa memasak. Jadi, jangan dipertanyakan lagi bentuknya.

"Hana?" panggilnya lagi sengaja membangunkan.

"Hana, bangunlah! Sudah waktunya makan siang. Ayok! Bangun."

"Hmm? Aku masih ngantuk." Sahut Hana bersuara serak.

"Tapi kamu harus bangun, sayang. Baby kita bisa kelaparan kalau kamu telat makan. Cepat bangun! Ini omeletnya sudah aku buatkan. Hana.. sayang, bangun! Hana…"

Gui terus membujuk Hana yang kembali merebahkan tubuh beratnya setelah beberapa detik terduduk.

.

.

"Hana.." seru Gui tersendak air liur, ia terbatuk.

"Hana!" paniknya menatap sekeliling.

"Kamu sadar?" tanya seseorang dari belakang.

"Hana?" harapnya menatap orang tersebut.

"Aku Bryeveta, bukan Hana!" sahut seorang wanita mendekatinya meyakinkan Gui bahwa tak ada Hana disini.

Pria itu mengambil nafas berat.

"Bagaimana aku.."

"Aku gak sengaja melihatmu gak sadarkan diri di halaman rumah. Makanya aku bawa kamu kerumah sakit ini."

Wanita bernama Bryeveta ini langsung paham walau Gui belum menyelesaikan kalimat pertanyaannya.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa wanita itu membiarkanmu pingsan di halaman? Gimana bisa dia gak berperasaan gitu membiarkanmu seperti itu? Bukankah udah seharusnya kamu dan dia…"

"Bryeveta?" tegur Gui mendudukkan tubuh yang terbaring menghentikan ucapan wanita itu.

"Apa?"

"Apa aku pernah menyentuhmu? Menciummu mungkin atau tidur denganmu?" tanya Gui menunduk dalam mengoreksi diri, mencoba mengingat kesalahan dimasa lalu.

Ragu, akhirnya BryeVeta menyahut,

"Gak. Kamu gak pernah menyentuhku lebih. Hanya sekali, kamu menciumku di pipi. Setelah itu.. gak ada lagi."

"Maaf." KyuHyun bertahan dalam posisi.

"Ya? Maksudnya?" tanyanya bingung karena tiba-tiba Gui minta maaf.

"Maaf. Aku menyakitimu, maaf karena aku pernah memberimu harapan."

"Maksudnya? Callan, kamu kenapa? Jangan-jangan… kamu udah ingat, kamu ingat semuanya sekarang?"

Wanita itu waspada berharap Gui akan ingat tentang hubungan mereka.

"Aku ingat."

BryeVeta kembali berharapan besar.

"Tapi.. hanya sepenggal ingatan sebelum terjadi kecelakaan, selebihnya.. belum. Maafin aku kalau sebelumnya aku pernah memintamu untuk menikah. Maaf untuk itu, sebenarnya.. aku gak peduli lagi aku akan ingat atau gak, kita gak akan menikah."

"Kamu.. kamu.. jahat, Callan!" ujar Bryeveta tak terima kenyataan.

"Kamu ingin tahu apa yang akan aku katakan waktu itu 'kan? Aku gak ingat sama sekali. Yang jelas, kosongnya kepalaku tanpa memori menuntun hatiku pada cinta yang seharusnya hadir dari dulu. Terlepas dari apakah benar jalan ini yang harus aku ambil atau tidak, aku gak akan mempertimbangkannya lagi. Sekarang, aku udah jatuh cinta sama Hana jadi, jangan berharap lagi. Aku ingin memperbaiki waktu dan kesempatan yang pernah kubuang dulu. Sebuah tanggung jawab besar menantiku di rumah kami. Maaf aku gak bisa membahagiakanmu. Kalau jalan yang kupilih ini salah, aku tidak akan menyesal karena aku tahu kamu bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik."

Gui ketuk palu ataa keputusannya.

BryeVeta temenung.

Gui bangkit bangun dari ranjang. Sesuatu menuntut untuk di selesaikan di luar sana.

"Pantas kamu selalu menyebut nama Hana selama bersamaku. Aku iri padanya yang bisa mendapatkan pria yang mencintainya tanpa ia sadari meski di awali dengan sebuah keterpaksaan." Ujar Bryeveta menghentikan langkah Gui menerawang jauh kebelakang mengenang saat-saat mereka bersama. Dulu.

"Jadi, jalan yang kupilih udah benar?" tanya Gui pada dirinya sendiri. Kemudian tersenyum miring.

Bryeveta menghempaskan nafas berat.

Gui melangkah keluar meninggalkannya sendirian dalam lamunan panjang meresapi setiap detik yang berlalu.

"Dasar! Pria jahat!" gumamnya teringat yang dikatakan pria itu sebelumnya. Bahwa Gui belum ingat sepenuhnya.

"Kamu fikir kamu akan menemukan orang yang kamu cintai itu kalau kamu gak ingat rumah orang tuanya dimana, hah?" gerutunya mengetikkan beberapa huruf di handphone sebelum tersenyum lega dan mengirimnya pada Gui.

Yah, seperti perkataan Gui, dia bisa menemukan pria yan jauh lebih baik dari pada pria jahat itu.

.

.

'(Kompleks perumahan Merpati, Gang Anggrek, no. 324)' baca Gui begitu pesan singkat masuk ke phonecell-nya.

Tanpa bertanya lebih lanjut, ia langsung paham maksud ini.

Kemudian meminta sopir taksi mengantarkannya ke alamat tersebut.

.

.

'Ting.. tong.. ting.. tong..'

suara bell menyadarkan Hana dari lamunan panjang di sofa ruang utama rumah besar yang lama ia tinggalkan ini.

"Siapa?" tanyanya membuka pintu namun, tak menemukan siapapun.

"Apa aku berhalusinasi?" bingungnya.

Ia kembali ke dalam. Baru beberapa langkah, bell kembali berbunyi.

Hana berbalik.

"Siapa?" tanyanya lagi menaikkan suara dua oktaf.

Tak ada sahutan juga tak ada siapapun bahkan semutpun tidak lewat.

Beberapa lama berdiri di luar dan tak terjadi apapun, Hana kembali masuk menutup pintu asal sehingga tak tertutup sempurna.

Tanpa ia sadari, seseorang telah menaruh sesuatu di sudut daun pintu agar pintu itu tak tertutup rapat.

.

Hana terperanjat kaget saat sepasang tangan kekar melingkar sempurna diantara dada dan perut membuatnya waspada, sontak ia langsung melepas paksa hendak memukuli orang yang berani-beraninya menyentuhnya tanpa ijin.

"Kangen.." ujar orang itu menatap sayu manik mata Hana menghentikan tangan yang tertahan di udara.

"Kangen.." keluhnya lagi dengan nada suara manja memposisikan diri dibelakang Hana kemudian memeluknya erat seperti rencana sebelumnya yang sempat tertunda.

"Aku kangen kamu, Hana." Ucapnya lagi merebahkan kepala dibahu kanan wanita hamil itu, lalu mengecup pelan sudut bibir Hana dekat mulutnya.

Hana terdiam bingung.

"Papa merindukanmu 'nak. Vepatlah lahir." Pria yang tak lain Callan Gui Marcus itu mengelus perut gendut istrinya.

"A.. apa yang kamu lakukan disini?" gagap Hana merasa geli.

"Apa aku gak boleh menemui istri dan calon anakku?"

"A.. Apa?"

Hana bingung tak ketulungan.

'(Apa aku berhalusinasi?)' pikirnya.

"Aku merindukanmu Hana! Aku merindukan wanita yang mampu membuatku jatuh cinta karena perut buncitnya ini." Jujur KyuHyun.

Hana menggeleng-gelengkan kepala merasa tak yakin.

"Kenapa menggeleng?" tanya Gui memutar tubuh Hana agar menghadap padanya.

"Kamu pasti salah orang."

"Gimana bisa aku salah orang Ayuringga Hana? Ah, bukan. Nyonya Callan lebih cocok."

"Kamu gak ingat apa-apa, jadi mungkin saja kamu salah orang."

"Ingatan gak menentukan apa yang di rasakan hati seseorang." Jawab Gui meyakinkan.

Hana mengernyit sakit memegang perut.

"Kenapa?" khawatir Gui menuntunnya menuju sofa.

"Dia.. menendang!"

"Dia? Menendang? Apa udah waktunya?" tanya Gui memastikan merasa tak yakin.

Hana mengangguk.

"Benarkah?" pekik Gui begitu senang.

"Nak?! Kamu dengar papa 'kan? Beritahu mama kalau papa gak salah menemui orang. Tendang lagi sayang." Pinta Gui harap cemas pada seseorang yang belum lahir bahkan masih dalam kandungan.

HyeHwa kembali meringis.

"Lagi?" tanya Gui tersenyum lebar.

Hana mengangguk.

"Sekarang kamu udah yakin 'kan kalau aku gak salah orang?"

Lagi, HyeHwa mengangguk.

"Dimana? Dimana?" tanya Gui semangat ingin tahu dimana posisi tendangan kecil yang dirasakan Hana dari dalam perutnya.

Hana menuntun tangan suaminya kebagian bawah perut.

Baru saja tangan Gui menepel, sebuah tendangan kecil langsung menyambut sentuhan tangan hangatnya.

"Ya ampun! Kuatnya." Puji Gui menatap wajah Hana bahagia penuh kasih sekaligus terima kasih tapi, Hana membalasnya lelah.

Gui menghirup nafas berat tahu Hana butuh sebuah penjelasan.

"Aku gak jadi menikah dengan wanita itu dan kamu harus bertanggung jawab untuk itu." Terang Gui.

"Apa itu artinya kita gak jadi cerai?" Hana memastikan.

Gui tak menjawab kembali sibuk dengan perut Hana.

"'Nak, kenapa diam? Tendang lagi. Tendang lagi, sayang."

Pinta Gui manja bertingkah lucu sambil menempelkan telinga juga.

Hana mengedip-ngedipkan mata bingung melihat tingkah anehnya.

'(Apa suaranya kedengaran?)' pikir Hana memperhatikan Gui yang mengoceh panjang seraya menempelkan telinga ke perutnya meminta calon bayi agar menendang lagi.

"Lagi.. Lagi.." Begitu Gui mendapat sebuah tendangan lagi.

"Ei! Sakit tahu. Jangan menyuruhnya menendang terus." Keluh Hana menahan ringisan.

"Udah ya sayang, jangan tendang mama lagi. Sakit." Ujar Hana mengelus perut setelah menjauhkannya dari Gui.

"Mamamu garang ya, sayang? Tendang lagi nak! Biar mama gak marah-marah gitu." Suruh Gui.

Lagi, bayinya menendang.

"Gui! Jangan menyuruhnya menendang lagi." Kesal Hana memukul lengan suaminya kemudian beranjak ke sebuah kamar.

"Dia akan menendangmu lagi nanti karena kamu udah memukulku." Ujar Gui mengekori Hana.

Baru saja ucapan Gui selesai, sebuah tendangan halus menghantam perut Hana. Lagi.

"Gui.." ringis Hana merebahkan badan ke kepala ranjang.

"Iya. Iya. Sayang, jangan tendang mama lagi ya? Mama udah kesakitan, sayang. Nanti kita main tendang-tendangan lagi ya. Sekarang, baby papa istirahat ya. Jangan ganggu mama ya sayang, kasihan mama." Ujar Gui panjang lebar menenangkan bayi yang masih bergantung pada kesehatan Hana dalam perutnya.

'(Gimana bisa dia mengetahui itu sebuah perintah untuknya? Apa dia hanya mendengar suara Gui saja? Kenapa kalau aku yang menenangkannya dia gak dengar?)'

Bathin HyeHwa merasa aneh karena anaknya hanya menurut jika Gui yang minta.

.

.

Untuk kesekian kalinya Hana mendesah berat tak bisa tidur. Sebuah keinginan mendorong dirinya untuk terus terjaga.

Padahal tidak ada yang salah. Makan malam sudah dan segala sesuatunya sudah di penuhi.

Tapi.. kenapa rasanya masih lapar? Dan anehnya ini bukan lapar ingin memakan sesuatu. Sesekali Hana mencuri-curi pandang pada Gui yang tengah membaca novel yang duduk bersandar di sisinya.

"Kenapa?" tanya Gui sengaja memergoki.

Wajah Hana memerah malu.

"Gaakk..." sahut Hana mencoba untuk kembali melelapkan diri.

Masih gagal.

Matanya kembali menatap jahil bibir Gui yang sesekali bergerak pelan.

Hana menelan ludah menjauhkan pikiran nakal.

"Kamu kenapa, sih? Kenapa gelisah gitu?" Ujar Gui menutup buku.

"Kamu ngidam lagi?" tanya Gui mengerti kegelisahan Hana.

"Gak mungkin ngidam di usia kandungan segini." Hana menggeleng.

"Siapa tau ngidam yang dulu gak kesampaian. Emangnya kamu mau apa? Ayo, bilang!" Sahutnya lagi

Gui mengubah posisi duduk menjadi menelungkup namun kepala tegak dengan tumpuan kedua siku. Jari panjang lentiknya membelai lembut dahi Hana di balik poni.

"Eumm... itu..." malu Hana menggaruk kepala yang tak gatal.

"Jangan marah, ya? Juga... jangan menertawakanku." Syarat Hana karena Gui terus menatapnya dengan tuntutan.

"Aku gak akan ketawa. Katakan saja." Yakin Gui.

Perlahan, tangan kanan Hana melingkar di leher Gui menariknya kebawah hingga dalam jangkauan, barulah Hana menyentuhkan bibirnya pada bibir penuh Gui.

Hanya sebentar Hana melakukannya karena malu. Ia tak mampu menatap Gui lagi.

Pria itu tersenyum smirk, menyamankan posisi untuk melakukannya lagi, ia tahu Hana belum puas menciumnya dan begitu juga dengan dirinya sendiri yang dari kemarin-kemarin menahan diri untuk tidak melakukan ini.

"Umhh… Gui.." keluh Hana kepayahan kehabisan nafas setelah lama saling melumat.

Enggan, Gui masih mengemut bibir Hana yang terasa manis seperti di polesi gula.

"Guii.." desah Hana tanpa sadar.

"Apa perlu melakukan lebih?" tanya Gui usil namun memastikan apakah Hana ingin di gauli atau tidak.

Gui berharap iya. Namun, harapannya harus tertunda sampai Hana memintanya suatu saat nanti karena baru saja Hana menggeleng.

"Hanya ini untuk sekarang." Jawab Hana dengan wajah semerah kepiting rebus.

Gui tak tersinggung sedikitpun malah tersenyum senang. Satu tangannya meraih stop kontak mematikan lampu kamar.

Sebelum kembali menyambar bibir Hana dengan posisi yang sama. Hana tidur telentang dan Gui menyerangnya dari samping kanan karena tidak memungkinkan Gui mengangkangi perut besar Hana.

-Love is love. Just make it simply-

~Ķh

avataravatar