2 PULANG

Surabaya, jawa timur; akhir April, 2020

"aiishh.. si Ivan ke mana sih, berak aja pake sejaman" gerutu seorang pemuda pada temannya sambil berjalan keluar dari aula menuju lapangan basket, menyusul teman temannya yang lain yang menunggu mereka di sana

"positif thinking aja Rez, kali aja dia sembelit"ucap pemuda yang satunya ngasal, sedangkan temannya hanya bisa menghela nafas

"jujur ya Dian, aku tu heran, apa sih yang bikin kau tahan temenan sama dia, kau tau sendiri kan dia tu orangnya aneh" pemuda yang di tanya hanya diam

sebenarnya dia tau, apa yang terjadi pada sahabatnya, Ivan sendiri yang bercerita padanya dengan wajah pucat satu tahun yang lalu di dalam UKS, kalau dia melihat sebuah kepala wanita menyeramkan yang menyembul dari meja kantin

dia yang dulu tidak terlalu percaya hanya bisa diam saat temannya itu bercerita dengan bibir bergetar di depannya, mendengarkan cerita yang dulu menurutnya sangat tidak biasa. Namun, setelah melihat kilat ketakutan di mata sahabatnya itu, Dian hanya bisa menenangkannya sambil terus merapalkan mantra penenang berulang kali 'tenang saja…kau tidak sendiri'

ya…Dian sudah tau dari awal, semenjak 'pengelihatan' temannya pertama kali muncul

"diamlah!"Reza menoleh, menatap Dian bingung, apa dia mengatakan sesuatu barusan, atau dia salah dengar?

"kau belum pernah merasakan rasanya menjadi dia, jadi diamlah!"ucap Dian tegas sukses membuat orang di sebelahnya tertegun, Dian tetap berjalan tak menghiraukan wajah orang di sebelahnya yang berubah kaku mendengar perkataannya barusan

Selalu saja begini, hampir semua orang di kelasnya menempel pada Ivan hanya karena uangnya, mengingat Ivan adalah anak dari keluarga kelewat kaya, kebiasaanya menteraktir teman temannya sudah biasa Ivan lakukan semenjak mereka pertamakali berteman saat SMP, Dian sudah beberapa kali mengingatkannya untuk tidak boros, tapi temannya itu selalu saja tersenyum dan mengangguk tanpa berkata apa-apa menanggapi ucapannya

Dian tau, temannya itu adalah orang baik yang ingin sekali menjadi jahat, namun ia tidak cukup berani untuk melakukannya, hal itulah yang membuatnya selalu menuruti setiap permintaan terakhir dari hantu-hantu yang mengganggunya selama ini

"Kau duluan saja Rez, aku akan mencari Ivan sebentar."Dian berbelok, menuju ke arah koridor yang berbeda dengan Reza, berniat mencari sahabatnya yang iya yakini sedang sibuk meladeni permintaan-permintaan aneh dari hantu berwajah setengah hancur yang mengganggu sahabatnya akhir-akhir ini

Dian menghela nafas lega, setelah melihat sahabatnya itu di ujung koridor sedang kesusahan menggeser loker dengan tubuh yang utuh

"Oi,cok."Radhea Putra atau yang lebih sering di panggil Dian, sahabat Ivan dari orok itu memanggilnya dari ujung koridor, berjalan lebih cepat mendatangi sahabatnya yang sedang kesusahan. Ivan baru saja selesai mengembalikan almari besi ke posisi semula ketika Dian menepuk pundaknya

"Apa lagi sekarang?" Ivan tak menjawab, wajahnya keruh. Sembarangan mengeluarkan jepit sialan itu dari dalam saku celananya, memberikannya pada Dian.

"Hah? Apaan?"Dian memandangi benda aneh di tangannya, dahinya berkerut

"Jepit,"sahut Ivan singkat dengan nafas memburu. Tangannya sibuk membersihkan toganya yang di penuhi debu. Ia mengambil topinya yang tergeletak di lantai, menepuk-nepukkan benda itu ke udara

Dian hanya diam memperhatikan jepit itu lamat-lamat, lalu tersadar. Oh! Ia celingak-celinguk sebentar, berbisik takut "Oi, Cok. Hantunya masih ada di sini?"

Ivan menggeleng beberapa kali, membuat sahabatnya menghela nafas lega lalu terdiam

"Lah, terus? Jepitnya buat apa cok?"Ivan terdiam menatap jepit di tangan sahabatnya, lalu berjalan melewati Dian yang masih terdiam menunggu jawaban sahabatnya itu

"Oi, Cok! Tungguin napa?!"Dian berlari, mengejar sahabatnya yang entah kenapa tiba tiba cuek hari ini, mengacuhkan setumpuk pertanyaan yang ada di kepalanya

"Ke lapangan basket yuk, anak anak dah pada nungguin semua, kau doang yang dari tadi ngilang"Dian merangkul bahu sahabatnya itu, berjalan beriringan ke arah lapangan basket

"Mau apa?"

"foto-foto laah, jadi kenang-kenangan buat kita, lagi pula setelah ini kita bakal pisah dari anak anak"

Hhhh… Ivan menghela nafas lelah. Ia pasrah saja di seret-seret oleh sahabatnya itu. Kalau boleh jujur, ia cuman mau pulang. Mandi, lalu tidur tanpa gangguan. Berharap tidak bertemu hantu-hantu lain dalam waktu singkat

_____

Malang, Jawa Timur; awal Mei 2020

Sore ini, suara piano mengalun merdu memenuhi setiap ruangan mension keluarga besar sebastian. Ivan, dengan lincah menarikan jemarinya di atas tuts piano di depannya. La Campanella, musik gubahan komposer hongaria itu menguar bebas di udara

Liburan kelulusan kali ini membawa Ivan dan keluarganya ke mension keluarga besarnya di Malang. Sudah menjadi kewajiban bagi keturunan Robertson (nama kakek buyut Ivan) untuk berkumpul di mension ini setidaknya sekali dalam satu tahun, untuk memper-erat persaudaraan mereka. Mengingat kalau mereka bukan keturunan asli indonesia

Mension ini tidak di wariskan, dan boleh di tempati oleh siapapun dari keluarga Robertson yang memang keturunannya hanya terdiri dari 2 kepala keluarga itu. Selama ini, hanya kakek dan nenek Ivan dan beberapa pelayan yang tinggal menetap di mension ini, sedangkan 2 anak mereka, paman dan ayah Ivan sendiri memilih untuk mandiri, bekerja di bidangnya masing-masing. Pamannya, yang sekarang menjadi CEO dari perusahan kertas terbesar di dunia, menetap di Riau. Sedangkan ayah Ivan sendiri, menetap di Surabaya. Membangun hotel berbintang yang tersebar hampir di seluruh Provinsi di Indonesia, dan bahkan di manca negara.

Ivan menguap panjang di sela permainan pianonya. Ia semalam begadang menemani kakaknya Alecia Robertson yang masih belum pulang dari NY, mendengarkan celotehan frustasi karena tugas akhir kuliah bisnisnya di Questrom School of Business , Boston University belum juga selesai.

Mengatakan seberapa rindunya dia dengan kakek neneknya setelah 3 tahun tidak pulang ke indonesia, kakaknya yang dulu kelewat posesif padanya itu hampir berakhir kuliah di indonesia dengan alasan mau menjaga Ivan kecil. Namun, kedua orang tuanya tidak setuju, tentu saja. Memaksanya untuk melanjutkan studinya di Boston yang mau tidak mau kakaknya turuti. Sebenarnya, Ivan adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, namun kakak pertamanya meninggal di saat ia belum lahir, Katanya…

Sebenarnya Ivan tak begitu yakin, kalau ia memang keturunan asli keluarga Robertson atau tidak, hal yang paling membuatnya tak percaya adalah fakta kalau namanya sangat tak cocok dengan nama marganya sendiri, 'Ivan Pramantha Robertson' terkesan di paksakan sekali, walau sebenarnya ia tak punya bukti. Bahkan wajahnya yang terkesan lebih ke-bule an itu juga menjadi alasan yag kuat kalau dia memang asli keturunan Robertson, keluarga berdarah asli Skotlandia. Entahlah…Ivan pasrah

Ia kembali menguap untuk yang kesekian kalinya, remaja yang hampir berumur 18 tahun itu menghentikan permainnya sesaat setelah seorang pelayan meletakkan se cangkir teh dan sepotong brownies coklat dengan garnish keju ke atas meja di dalam ruangannya. Memilih untuk menikmati afternoon tea di dekat jendela, menatap langit yang semakin menjingga di atas sana

"Paman Febri, apa kau tidak capek berdiri terus di situ? Duduklah, kau bisa menemaniku menikmati teh"pelayan di sebelahnya terhenyak, kaget dengan pertanyaan tuan muda di depannya barusan.

Semua orang di mension ini tau, kalau tuan muda mereka yang satu ini berbeda jauh dari semua penghuni di mension ini. Cuman dia yang selalu mengajak pelayannya untuk menikmati kudapan bersama dengannya, memperlakukan semua orang di rumah ini sama rata

Sampai pernah saat tuan mudanya masih duduk di bangku SD, ia menolong para pelayan mengumpulkan barang bekas peninggalan buyut mereka untuk di sumbangkan ke panti jompo, yang berakhir mendapat teguran oleh kakek mereka. Kakeknya menyuruh tuan muda mereka untuk tidak ikut campur melakukan pekerjaan para pelayan rumah. Namun, Ivan kecil tidak pernah membiarkan orang di sekelilingnya merubah keperibadiannya.

Walau sudah di ingatkan ayahnya berulang kali, kalau bangsawan seperti mereka di larang untuk terlalu dekat dengan para pelayan, Ivan tidak peduli. Bahkan sampai sekarang pun, ia masih sering sembunyi-sembunyi berbicara santai dengan para pelayan di mension mereka, mengingat nama semua pelayan-pelayan di rumah ini dengan sempurna, bahkan tak jarang menikmati afternoon tea di ruangan musiknya dengan beberapa pelayan alih-alih menikmatinya di ruang keluarga

Ya, tuan mereka yang satu ini memang berbeda

"Saya tidak pernah capek tuan, tuan tenang saja, saya bisa menemani tuan sambil berdiri di sini,"ucap pelayan itu tegas, bagaimanapun juga, dia tidak bisa sembarangan mengikuti kemauan tuannya yang satu ini, kalau ketauan, bisa-bisa tuannya yang satu ini kembali mendapat celotehan panjang lebar dari kepala keluarga mereka.

Bukan!! Bukan karena mereka takut akan di pecat atau yang lainnya, mereka sudah bersumpah tidak akan takut mengakui kesalahan mereka apapun itu untuk membela tuannya yang satu ini. Tuan mereka yang terlampau baik untuk di salahkan oleh siapapun.

"Aah, paman sungguh tidak asyik, bagaimana mungkin kau di sebut menemaniku kalau aku tidak bisa melihat wajahmu"Ivan meletakkan cangkir teh ketempatnya, melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menoleh ke belakang. Febrian, pelayan pribadi Ivan itu hanya bisa menatap tuannya sambil tersenyum, dia tau pernyataan tuannya barusan hanya sebuah jebakan agar ia mau duduk di kursi seberang meja tuannya itu

Febrian tersenyum, melangkah pelan lalu berdiri tepat di samping kursi kosong di depan Ivan "jangan meminta apapun lagi, karena saya tak akan menurutinya." Ivan yang melihatnya hanya bisa bengong, menghela nafas lelah lalu tertawa

"kau sangat pintar paman,"puji Ivan lebih terdengar seperti sebuah ejekan. Febrian tersenyum, puas karena berhasil membuat tuannya tertawa.

_____

"Pokoknya kau harus menjemputku di stasiun dengan semua bodyguard dan pelayan pribadimu! aku akan membawa banyak sekali barang untuk persediaan selama menginap di sana! Saat aku turun dari kereta, pelayanmu harus sudah siap membawa semua barang-barang yang ku bawa! Aku akan memakai bajuku yang paling keren nanti, agar terlihat seperti bangsawan sungguhan hahaha!!!" Terdengar dari sebrang sana, Dian yang sibuk berceloteh tentang rencana penjemputannya di stasiun kereta.

Berbicara panjang lebar tentang segala hal yang harus di persiapkan oleh Ivan saat menjemputnya nanti. Ivan yang mendengarkannya hanya terkekeh geli sambil melirik beberapa pelayan yang sedari tadi memandangnya dengan tatapan tak suka.

Mereka berfikir keras, siapa anak sialan yang di ajak tuannya bicara di telfon? Seenaknya saja menyuruh tuan mereka melakukan banyak hal hanya untuk menjemput kedatangannya di stasiun kereta. Ayolah, jika bisa, mereka bahkan tak ingin membiarkan tuan mereka berkerumun di tengah-tengah orang yang sibuk di tempat kotor seperti stasiun kereta hanya untuk menunggu satu orang yang kelewat banyak maunya itu

"Memang kau mau bayar berapa kalau aku membawa semua pelayanku ke sana? Para pelayan dan bodyguardku sudah capek melayaniku seharian dan kau masih menuntut mereka untuk membawa barang barang tak bergunamu itu."Ivan tertawa, membiarkan 2 pelayannya yang terdengar sedang berbisik di dekat pintu

"ayolaaahh….aku sudah berusaha keras untuk bisa kesana loh, kau tau sendiri keluargaku tidak jadi pulang"

"yayaya, kalau begitu aku akan memberimu uang pengganti tiket dan taxi selama perjalananmu ke sini!"

"Aiiiisshh, kau benar benar jahat Ivan." Ivan tertawa keras.

Mereka memang seperti ini, walaupun Dian selalu banyak maunya, namun cuman dia satu-satunya teman yang tetap setia menemani Ivan melewati masa-masa sulitnya, satu-satunya orang luar yang mengetahui segala detail kemampuannya, temannya membagi rahasia. Bahkan rasanya, kepercayaannya pada Dian sudah melebihi kepercayaannya pada ke dua orangtuanya sendiri. Tidak heran Ivan sering kali memanjakan sahabatnya itu melebihi sahabat-sahabatnya yang lain yang jelas-jelas hanya mengambil keuntungan darinya

"Tenang saja, kau akan ku jadikan tamu kehormatan di mension kami." Terdengar pekikan senang dari sebrang. Ivan bisa membayangkan kawannya itu sedang menahan agar tidak berteriak dengan wajah memerah.

Ivan terkekeh geli, berjalan ke arah balkon, duduk di salah satu sofa yang memang di sediakan di luar jika dia ingin bersantai di balkon kamarnya, satu pelayan wanita mendekat, bertanya apakah dia menginginkan sesuatu.

"oh! tolong bilang pada paman Febrian aku menunggunya di sini,"kata Ivan. sedangkan pelayan di depannya hanya membungkuk mengerti lalu melangkah mundur keluar dari kamarnya

"Oi, Cok! Kau kan bentar lagi ultah? Bagaimana kalau sebelum merayakan ultahmu kita kemah di pantai? Sekalian membuang jepit dari hantu itu"

"hmm…ide bagus, aku rasa kita bisa meminjam peralatan kemah nanti,"Ivan terlihat berfikir sejenak, lantas teringat dengan jepit usang penemuannya yang sudah berkarat dimakan usia itu.

Jepit peninggalan pacar hantu itu yang hilang di pesisir pantai, hanyut di bawa deburan ombak, entah apa alasannya hantu itu menyimpannya di dalam tembok sekolah saat dia masih hidup, sangat konyol

"Yess!!oh,OH! Jangan lupa untuk membawa dompetmu Ivan, tenang saja, aku akan membantumu menghabiskan semua uang tabunganmu Hahaha!"Ivan terkekeh, lantas menoleh singkat saat mendengar suara seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Udah dulu! Aku masih banyak urusan, kututup."Tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya, Ivan langsung menutup sambungan telfon secara sepihak, lalu menatap seorang wanita dengan gaun tidur tengah menatapnya dari bibir pintu kamarnya

"Aw, Ann? Masuklah?" Anetta Robertson, saudara sepupunya yang lebih muda beberapa bulan darinya itu, tersenyum manis ke arahnya

"Ann mau ngobrol sama Ivan gapapa?" Ivan tersenyum, mempersilahkan wanita itu duduk di depannya. Sebenarnya, Ivan tidak terlalu suka dengan keadaan seperti ini, sudah menjadi rahasia umum keluarga mereka kalau sepupu nya yang satu ini menyukai dirinya, sangat terlihat dari kelakuannya yang berbeda bahkan saat dia sedang bersama saudara kandungnya

"Mmm…kapan kau datang? Maaf aku tadi tidak turun menyambut keluargamu, aku sedang di ruang musik,"jelas Ivan mencoba untuk tidak canggung, wanita di hadapannya tersenyum, merona karena orang di hadapannya diam-diam peduli dengannya

"Ann tau kok, Ann dengar suara piano Ivan dari bawah, merdu seperti biasa." Ivan terkekeh, sudah menduga kalau wanita di depannya akan berkata seperti itu. Sebenarnya dia tau, kalau keluarga sepupunya itu sampai di rumah ini tadi sore sebelum suara La Campanella menguar di udara, paman Febrian yang memberi tahunya.

Namun bukannya bergerak turun ke lantai bawah, Ivan malah menghampiri pianonya, memainkan beberapa lagu sebelum akhirnya memilih La Campanella sebagai penutup permainannya

Febrian yang sudah mengetahui kebiasaan tuannya itu hanya membiarkan pemuda itu fokus bermain musik menemani kesepiannya, beralih menyibukkan diri menyiapkan beberapa hidangan untuk afternoon tea

"bagaimana dengan kak Allan? Beliau belum pulang dari-"

"lupakan jamet satu itu! Dia lebih memilih untuk berlibur di jerman bersama teman-teman bulenya ketimbang menemani adik semata wayangnya ini!" Ann merenggut kesal, mengingat kakaknya yang terus terusan menolak untuk pulang kampung setelah ujian akhir semester akhir bulan, mengatakan kalau dia sudah janjian dengan teman-temannya untuk berkunjung ke Heidelberg Old City dan menginap di sana beberapa hari

"kenapa kau tidak menyusulnya? Bukankah kau akan meneruskan kuliahmu di Aachen?" Ann terdiam sesaat, menunduk menatap lantai di bawahnya

"Mmm…bagaimana denganmu? Kau akan menerusan kuliahmu di mana?"Suara Anetta bergetar, jarinya saling bertaut satu sama lain, bergerak-gerak gelisah, berharap pemuda di depannya menjawab pertanyaannya

"Ah…paman! Aku menunggumu dari tadi!"Ann menoleh, menatap pelayan laki-laki di belakangnya dengan tatapan tidak suka, padahal tinggal sedikit lagi! Sedikit lagi untuk mengetahui dimana pujaan hatinya itu berkuliah!

"2 hari lagi sahabatku datang! Tolong siapkan kamar tamu paling besar di bawah, aku sendiri yang akan minta ijin ke kakek, nanti juga kau akan ikut aku untuk menjemputnya di stasiun, Ajak beberapa bodyguard untuk bla bla bla…" Anetta menghela nafas lelah, entah sampai kapan ia bisa tahan menunggu pujaan hatinya yang satu ini meliriknya barang sedikit saja

TBC.

avataravatar
Next chapter