6 Pertemuan II

Jember, Jawa Timur; pertengahan Mei 2020

Setelah menghabiskan makan siang dengan sangat canggung, Ivan langsung mengundurkan diri ke lantai atas. Abisatya sempat mengatakan kalau kakeknya, Howard, sudah menjelaskan lewat telpon kalau hal seperti ini mungkin saja terjadi.

"Kakek tua itu!! sebenarnya apa yang dia rencanakan?!" ucap Ivan hendak membuka pintu kamarnya, namun tertahan saat menyadari sesuatu. Dia menoleh.

"Mau apa kau ikut kemari" tanya Ivan pada orang di belakangnya.

"Hehehe…takut" Dian, sahabatnya itu terus mengekor di belakangnya sejak selesai makan tadi dengan wajah pucat. Ivan lupa, kalau sahabatnya yang satu ini penakut luar biasa.

"Haiissh… berhenti bertingkah seperti gadis perawan dan cepat masuk ke kamarmu sendiri! aku mau nelfon kakek"

"Eh eh eh! Van!"

"Tsk! Apa lagi sih?!" sekali lagi Ivan berbalik, menatap sahabat penakut seperjuangannya itu malas.

"Ee, anu…hantunya masih di sini?" Ivan langsung terdiam. Merasakan hawa dingin yang menusuk menerpa wajahnya. Tepat di belakang Dian, wanita bergaun putih itu sedang berdiri memeluk sebuah boneka panda sambil menatap sahabatnya. Ivan menggelengkan kepalanya cepat, mencoba meyakinkan sahabatnya kalau tak ada siapapun di sini selain mereka berdua.

"Sana masuk! Aku mau istirahat sebentar."

"Kau berbohong!"

"Apa lagi sih! Aku serius!"

Dian menggeleng.

"Kebiasaanmu kalau sedang berbohong, kau tak akan menatap mataku saat berbicara"

"Ayolah.. aku tak mungkin selalu menatap matamu saat sedang berbicara kan? Lagi pula kenapa kau harus setakut ini sih?! Yang bisa melihatnya kan hanya aku"

Dian menatap Ivan tak percaya.

"Kau lihat rumah ini cok," kata Dian sambil merentangkan kedua tangannya.

"Lorong-lorong panjang di rumah ini, kamar kita dengan segala benda-benda kuno di dalamnya, tangga-tangga berhiaskan foto jadul itu, semuanya. Kita seperti sedang terjebak di rumah hantu!" pekiknya gusar.

"Oh ayolah Dian, bukannya kau tadi memuji rumah ini seperti istana? 'God damn, Ivan! Ini bukan villa, Ini mension' " kata Ivan sambil menirukan nada bicara Dian.

"Yaa, itu kan tadi, Cok, sebelum…sebelum kau melihat---"

"Heh! Sshuutt!! Dengarkan aku. Yang bisa melihatnya hanya aku, oke? Kau tak perlu ku ingatkan berkali-kali kan?" Ucap Ivan cepat sebelum Dian sempat menyelesaikan perkataannya.

"Lagi pula kau tau sendiri kan, kalau hantu itu tak bisa menyentuh apapun."

Tepat setelah Ivan menyelesaikan kata-katanya, lukisan yang tergantung di dinding bergerak miring.

"Cooookkkk!!!" Dian meloncat, bergelayut di lengan sahabatnya sambil tolah-toleh ke segala arah.

"Biarkan aku masuk ke kamarmu, ya? Ya ya ya? Cookk. Please, aku tak akan mengganggumu kok, aku janji" lanjutnya lagi dengan wajah memelas.

Ivan mengusap wajahnya gusar, berakhir memijit dahinya pening. Sekarang gantian punggungnya yang terasa membeku. Ia sungguh ingin berkata jujur pada sahabatnya itu, tapi dia tak ingin membuatnya bertambah takut.

"Dian my friend, listen," ucap Ivan sambil memegang bahu sahabatnya itu.

"Biasanya apa yang akan di lakukan hantu-hantu itu jika mereka tau aku bisa melihat mereka?"

Dian tampak berfikir.

"Meminta bantuan mu? Atau hanya sekedar mengganggumu?" jawabnya ragu.

"Nah, apa yang terjadi kalau keinginannya belum terkabul?" tanya Ivan lagi.

"Hah? Mana aku tau? Kenapa kau jadi nanya-nanya gini sih?"

Ivan bertambah pening.

"Jawab saja Dian, apa yang biasanya terjadi padaku."

"Biasanya? Hmm…" lagi-lagi dian tampak sedang berfikir, sedangkan Ivan hanya memutar bola matanya malas.

"Entahlah. Hantu itu terus-terusan mengikutimu mungkin?" lanjutnya sambil menatap Ivan bingung.

"Nah ituu… hantunya akan mengikutiku ke mana-mana. Jadi, kalau kau ikut aku ke dalam kamarku, kau juga akan di temani oleh---"

"sampai jumpa lagi, cok!" belum sempat Ivan menyelesaikan kata katanya, Dian sudah buru-buru ngancir, masuk ke kamarnya sendiri. Ivan yang melihat tingkah sahabatnya itu hanya bisa geleng-geleng kepala.

***

Ivan menutup pintu kamarnya perlahan, tak lupa menguncinya. Ia lalu berbalik badan, berlari dan melompat ke tempat tidur, buru-buru menyembunyikan badannya di balik selimut, menyisakan wajahnya dengan bibir sedikit membiru.

"Uuuhhh, sssh…demi tuhan, kau ini dingin sekali," Ivan mengeluh, melirik sosok bayangan wanita yang dengan santainya melayang-layang di pinggir tempat tidurnya.

Ivan beringsut ke tengah ranjang, masih dengan balutan selimut tebal melindungi tubuhnya. Hantu itu ikut bergerak menghampiri.

"Eeh! no no no, stop di situ!" Ivan mengulurkan tangan kanannya, memberi jarak.

"Kau, pindah ke sebelah sana," pinta Ivan lagi, menunjuk ke tengah ruangan. Hantu itu terdiam sejenak, kemudian mengangguk melayang menjauh.

"Mundur lagi," perintah Ivan. Hantu di seberangnya bergerak menjauh, mundur ke belakang.

"Lagi… mundur lagi."

Hantu Itu menekuk wajahnya, cemberut. Tapi, ia tetap saja menurut.

Seiring melebarnya jarak di antara mereka, Ivan mulai merasakan hawa dingin di sekitarnya menghilang.

"Nah, oke."

Ivan mulai melonggarkan selimut yang membalut tubuhnya.

"Peraturan pertama, jangan pernah melayang terlalu dekat denganku, baik dari depan atau belakang, okay? kau membuat punggungku hampir membeku!"

Hantu di depannya memberenggut lagi.

"Jangan pasang wajah begitu, kau benar-benar dingin, tahu. Aku takkan melarangmu mengikutiku ke mana saja, asal jangan terlalu dekat, okay?"

Hantu itu mengangguk terpaksa.

"nah, gitu dong," kata Ivan, tersenyum ke arah hantu di depannya.

"Jadi, kau ini tak hanya bisa menembus benda, tapi juga bisa menyentuhnya?" hantu itu menganggukkan kepalanya sekali.

"Menarik, aku belum pernah bertemu dengan hantu sepertimu. Tapi… peratuan kedua, jangan pernah melakukan hal-hal seperti itu lagi saat ada orang di sekitarku, menggeser potret, menjatuhkan sesuatu, apapun. Pokonya tidak ada hal menakutkan seperti itu lagi kalau ada orang, terutama saat aku sedang bersama sahabatku, okay?"

Kali ini, hantu di depannya mengangguk-angguk lucu. Ivan puas melihatnya.

"Ngomong-ngomong kita belum berkenalan. Namaku Ivan," ucap Ivan sambil menunjuk dirinya sendiri.

Hantu itu terdiam, lalu memiringkan kepalanya. Kebingungan tercetak jelas di wajahnya.

"Ivan, kau dengar?" sahut Ivan lagi, mengulang dengan sabar.

Hantu itu terpaku, matanya tiba-tiba menyendu. Ia menggelengkan kepalanya.

"I-Van," kata Ivan mengeja.

"namaku Ivan, oke? Kau ini mengerti tidak, sih?"

Hantu itu menggelengkan kepalanya lagi, kali ini lebih tegas dari sebelumnya. Ivan menatap tidak paham.

"Aishh… terserah kau saja lah. Pokoknya panggil aku Ivan. Bukan Raden, bukan Tuan atau yang lainnya. Nah, siapa namamu?"

Hantu di depannya itu masih saja terpaku, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggeleng lemah.

Ivan terhenyak. Sosok di hadapannya ini seperti sedang bersusah payah menahan tangis, ia bergeser ke tepi ranjang, tiba-tiba merasa tak enak.

"Hei… apa ada yang salah? Kau kenapa? Apa kau tak bisa bicara?"

Ivan mencoba mendekat, tapi ia berhenti begitu merasakan dingin menyentuh kulitnya.

Sosok itu lagi-lagi menggeleng.

"Tunggu, tunggu… itu maksudnya 'kau tidak bisa bicara' atau ' tidak, kau bisa bicara'?" Ivan bertanya lagi, menunggu jawaban dengan sabar.

Tapi, hantu wanita di depannya justru menatap nanar. Air mata mengalir di pipinya, ia menangis dalam sunyi.

Ivan terperangah. Ia lekas-lekas turun dari ranjang. Berjalan mendekat menembus dingin, sambil bertanya-tanya dalam hati di bagian mana dari kata-katanya yang tak sengaja menyakiti hantu di depannya.

"Hei.."Ivan berhenti saat jarak di antara mereka tinggal beberapa senti. ia terdiam, tidak tau caranya menenangkan orang yang sudah mati. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.

Hantu di depannya hanya diam dengan air mata yang tak berhenti keluar, menatapnya nanar penuh luka. Ia memeluk bonekanya erat di dada.

Ivan bisa mendengar sejumput isak yang lolos dari bibirnya, kemudian sosok wanita itu menghilang begitu saja.

Udara hangat menyergap, mengisi seluruh penjuru kamar.

Hah?

Ivan melongo.

Apa hantu yang ia jumpai sekarang ini hanya ingin mengganggunya saja?

Tadinya ia berfikir kalau kali ini akan sama seperti saat Tio masih menempel padanya. Hantu wanita itu mungkin masih seumuran anak SMP, dangan gaun tidur yang cantik. Tidak ada yang mengerikan darinya kecuali kulitnya yang pucat. Ia bahkan merasa tak keberatan sama sekali kalau hantu wanita itu mengikutinya terus kesana kemari. Karena, kalau boleh jujur. Hantu wanita itu terlihat sangat menggemaskan.

Tapi, ternyata tidak. Sama sekali tak sama seperti apa yang ia bayangkan. Selain suhunya yang dingin setengah mati, ia juga tidak mau bicara. Ivan merasa telah mengacaukan segalanya, bahkan sebelum mereka resmi berkenalan.

"argghh… terserah!" umpat Ivan kasar. Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur. Melupakan rencana awalnya untuk menelepon sang kakek di rumah. Memilih menyerahkan diri pada kantuk.

TBC.

avataravatar