webnovel

Sumber Energi

Avery berdiri dengan canggung menghadap ke arah kedua orangtua Dom. Setelah ayah Dom menjemput mereka menggunakan kereta kuda, Avery pikir ia akan memasuki area yang menyerupai pedesaan terpencil, tradisional, atau semacamnya seperti di cerita-cerita dongeng. Tetapi ternyata dugaannya salah.

Avery tak berhenti bergumam dan berdecak kagum ketika memasuki wilayah pack kekuasaan Dom. Kawasan kaum beast ternyata sangat, sangat ... terlihat modern! Yap! Seperti yang dikatakan Dom, itu hampir terlihat seperti layaknya area perkotaan kecil kuno dengan desain bangunan klasik maupun semi modern yang saling membaur di sana-sini. Oke, memang jelas bukan area gua atau hutan-hutan seperti yang Dom katakan tadi.

"Selamat datang di wilayah kami, Nak," sambut Dorothy dengan wajah sumringah yang tampak sangat bahagia. Ia berhambur memeluk Avery yang masih canggung karena telah memasuki rumah besar yang mirip mansion klasik tapi tetap berkesan mewah itu. Hampir tak ada bedanya dengan mansion Dom, hanya saja yang ini jauh lebih besar.

Dan, jika ingin digambarkan, Dorothy sosok ibu Dom adalah wanita menarik dengan lekuk tubuh yang matang. Gaun panjang berbulu yang ia kenakan memberinya kesan sangat glamor dan elegan. Ia berambut hitam gelombang panjang. Wajahnya yang cantik dan dewasa mirip dengan Dom. Jika saja Avery tak mengetahui bahwa wanita itu adalah ibu Dom, mungkin ia akan mengira jika ia adalah kakak perempuan atau bibi muda Dom. Ya, Dorothy masi tampak jauh lebih muda untuk ukuran seorang ibu bagi pria dewasa seperti Dom.

"Apa kau heran? Tak usah terkejut ... dan itu sangat jelas bukan, Sayang? Putranya memiliki perusahaan fashion, apa yang kau harapkan dari ibunya? Memang beginilah penampilan ibuku yang gemar bersolek. Percayalah, ia juga tak semuda itu," bisik Dom karena dapat membaca isi hati Avery.

Avery spontan membulatkan kedua bola matanya. "Aku tak mengatakan itu!" protesnya terkejut sambil menatap Dom.

"Apa ini? Kalian dapat saling membaca pikiran? Secara dua arah?" tanya Dorothy kemudian dengan tatapan menyelidik pada Dom dan Avery.

"Yah ... seperti itulah, Mom," ucap Dom.

"Oh, demi Moon Goddess, bukankah itu menakjubkan!? Lucius?!" Dorothy menghampiri Lucius dan menariknya untuk lebih mendekat ke arah Avery. "Kau Luna yang memiliki kemampuan spesial, bukankah begitu, Sayang?" ucapnya sambil merujuk ke arah Avery.

"Luna adalah sebutan untuk pengantin Alpha, Sayang," jelas Dom pada Avery lagi karena ia menangkap sedikit raut bingung dari wajahnya.

"Baiklah ... katakan, mengapa kau tak menandainya?" tanya Lucius tiba-tiba. Pria kekar bermantel kulit dan bulu itu menatap Dom dengan serius.

"Jangan menatapku seperti itu, Dad. Aku memiliki alasanku sendiri. Dan, apa ini? Mengapa kau berpenampilan serapi ini jika kau hanya menjemput kami dengan kereta kuda biasa? Bahkan mantel dan celanamu tidak cocok!" protes Dom.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Nak!" tegas Lucius. Ia kemudian berdehem. "Dan ini ... adalah pakaian ternyaman yang kusukai. Kau tak perlu mendebatnya."

"Ya, dan itu adalah koleksi Anima dua tahun yang lalu. Apa kau tak mengikuti model design terakhir yang kuproduksi? Sudah berapa kali kubilang jangan berlebihan dengan penampilanmu dan cocokkan bahan beserta modelnya dengan tepat!"

"Aah, hentikan! Jangan berani-beraninya mencoba untuk membuat ayahmu bingung!" sela Dorothy. "Sekarang katakan saja, mengapa kau tak menandai Luna-mu? Setelah pernikahan kalian dan segala macam itu, aku juga tak mendapati tanda di tengkuknya."

Dom akhirnya mengembuskan napasnya perlahan. "Sebenarnya, ada sesuatu yang harus kalian ketahui dahulu tentang Avery sebelum aku benar-benar resmi menandainya dan menunggunya siap, Dad, Mom," ucapnya serius. Ia menggenggam erat remasan jemari Avery.

"Apakah ini ada sangkut pautnya dengan kunjungan terakhirmu kemarin?" tanya Dorothy mulai was-was.

"Ya, bisa dibilang begitu," balas Dom.

"Oke, jangan membuat kami bingung! Katakan saja secepatnya karena kau tahu aku tak suka menunggu terlalu lama, bukan?" ucap Dorothy.

Dom mengangguk dengan raut serius. Dalam hati ia telah mengumpulkan tekadnya dan menyiapkan kalimat-kalimat praktis yang akan ia gunakan untuk menjelaskan Avery kepada kedua orangtuanya.

"Jadi begini ... Dad, Mom," ucapnya memulai penjelasannya.

****

Sementara itu ....

"Energi Serenity lagi!! Elenaa?!" teriak Weasley dari dalam kamarnya. Kali ini ia sedang terbaring di atas ranjangnya karena seharian ini keadaan tubuhnya memburuk.

Elena berlari sedikit tergesa-gesa dan menghampiri suaminya itu. Ia memeluk Weasley dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Aku merasakan sumber energi Serenity lagi," bisiknya dengan setengah bergetar.

"Aku tahu, Sayang ... Tanaman Jiwa Abadi juga menangkap itu. Kau tenanglah ... aku sudah kembali mengutus seseorang untuk memeriksa daerah selatan karena sepertinya sumber energi itu berasal dari sana."

"Wilayah Pack Selatan? Maksudmu daerah kaum beast dengan Aiken pimpinan mereka?!"

Elena menangguk sabar. "Kita hanya berusaha untuk mencari tahu saja bukan? Kita akan datang secara baik-baik dan ...."

"Dan jika terbukti mereka ada sangkut pautnya dengan energi itu, maka aku tak akan segan untuk menghabisi mereka!!" ucapnya geram.

"Weasley! Tolong! Redakan amarahmu untuk sesuatu hal yang belum terbukti. Kita harus singkirkan dan menekam emosi kita agar dapat menemukan petunjuk tentang Serenity. Sekecil apapun itu, tolong ... bekerjasamalah," pinta Elena.

Di sisi lain ....

Dari kejauhan di sebuah rumah, dapat terlihat dengan jelas tampak beberapa penyihir berjubah hijau tua mulai berangkat dari kediaman Weasley dengan mengendarai kuda mereka.

Maltus sedang menghadap jendela besarnya saat ia melihat beberapa titik kecil pengendara kuda yang mulai menjauh sedang menembus salju, keluar dari istal kuda mereka. Ia kemudian memberi isyarat pada putranya dengan wajah yang serius.

"Kirim anak buahmu untuk mengikuti pergerakan mereka. Cukup pantau dari kejauhan saja agar jangan menimbulkan masalah. Dan Maveric, pergilah secara rahasia dan diam-diam," perintahnya.

"Aku akan ikut serta dan turun tangan sendiri bersama mereka, Ayah!" ucap Maveric.

"Apa kau yakin? Tampaknya mungkin Elena ingin mencari tahu hal tersebut secara diam-diam. Ia bahkan tak ingin repot-repot untuk memberitahu kita tentang itu atau memerintahkan kita bergerak." Maltus menatap tajam pada kediaman Weasley yang jaraknya sedikit jauh dari kediamannya sendiri, tetapi masih dapat terlihat jelas dari jendela ruang bacanya di lantai dua itu.

"Aku akan berhati-hati, Ayah. Aku akan berangkat sekarang agar tak kehilangan jejak mereka," jawab Maveric.

"Baik, pergilah ... dan laporkan apapun yang terjadi di sana. Jika ada yang harus kau bereskan, maka bereskanlah ... dan jika ada sesuatu yang harus kau bawa pulang, maka segeralah kau bawa pulang, Nak. Langsung menghadap kepadaku." Ucapan Maltus dan raut wajah tegasnya yang penuh arti itu tampak seolah sedang menyiratkan sesuatu.

Maveric sedikit mengerutkan alisnya karena tampak tidak begitu mengerti. Tetapi kemudian, ia hanya mengangguk dan Segera undur diri dari hadapan ayahnya. Ia tahu ayahnya pasti sedang memikirkan suatu rencana yang belum ingin ia bagi dengannya. Entah apapun itu ....

____****____

Next chapter