65 Bisakah Kita Berteman? (II)

"Jika ada kesempatan kedua, apa kau masih tetap akan mencintai seseorang yang mencintai sahabatmu?"

Viona tertegun dengan pertanyaan Azka barusan. Ia tak mengerti mengapa ia harus mendapatkan pertanyaan seperti ini. Apa maksud dari pertanyaan tersebut, hati Viona kacau. Apakah Alice memberitahu Azka jika dirinya jatuh cinta pada Azka?

'Oh Tuhan, ini sangat memalukan' Batin Viona.

"Apa maksud dari pertanyaan anda Tuan Azka Camerlo?" Viona berusaha tenang.

"Saya secara tidak sengaja mendengarkan percakapan anda dengan dokter Alice pagi itu. Pagi di mana Alice pulang dari Kantor anda dengan begitu banyak beban yang selama ini tidak disadarinya." Azka mulai menjelaskan maksud dari perkataannya sebelumnya. "Saya mohon maaf, mungkin ini akan menjadi tidak nyaman untuk anda nona Rahaya, tapi saya ingin menjadi teman anda. Bisakah kita berteman?"

Viona serasa ingin menutup wajahnya sekarang juga, ia tak sadar jika selama ini Azka telah mengetahui perasaannya namun lelaki itu pura-pura tidak tahu. Ia merasa malu yang teramat sangat besar hingga kini untuk menatap mata Azka pun ia tak sanggup. Wanita itu hanya tertunduk dengan tangannya sibuk mengotak-atik ponselnya tanpa sadar dengan apa perbuatannya tersebut. Ia sungguh tak tahu harus berkata apa pada pria di hadapannya kini.

"Nona Viona Rahaya, maukah anda menjadi temanku?" Azka menanyakannya sekali lagi.

Viona sontak mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk, kini di hadapannya tampak Azka tengah memajukan badannya dan menaruh tangannya di atas meja, serta tangan kanannya ia ulurkan pada sepanjang meja itu untuk menggapai tangan Viona.

Wanita itu sungguh merasakan ketidak nyamanan yang luar biasa, ia tidak menginginkan hal ini terjadi. Ia bahkan tidak ingin menjadikan Azka sebagai temannya, ia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti di masa lalu dulu, dimana ia menjadikan Tristan temannya dan mencintai temannya tersebut sepanjang perjalanan pertemanan mereka sampai akhirnya rasa iba Tristan membuat lelaki itu berusaha untuk mencintai Viona, namun lelaki itu pun harus menyerah karena pertemanannya tak bisa ia rubah menjadi cinta.

Viona enggan menyambut tangan Azka tersebut. "Saya mohon maaf Tuan Azka, saya tidak bisa menjadi teman anda!!" Ujar Viona kemudian lalu ia bersiap untuk beranjak dari bangku duduknya, namun tangan Azka yang cekatan cepat meraih pergelangan tangan Viona.

"Tolong jangan pergi dulu. Saya belum selesai berbicara." Pinta Azka memohon.

Viona melihat pergelangan tangan kirinya kini telah berada di dalam genggaman Azka, wanita itu kemudian mengalihkan pandangannya kepada Azka yang kini dalam posisi setengah berdiri. "Apa yang anda inginkan sekarang? Saya sudah mengatakan bahwa saya tidak bisa menjadi teman anda."

Azka melepaskan tangan wanita itu, lalu kembali duduk pada bagkunya, ia menarik napas panjang kemudian mulai dengan ceritanya. "Sudah 4 tahun lebih semenjak saya kehilangan orang-orang yang begitu saya cintai. Orang yang sangat berharga dalam kehidupan saya."

Lelaki itu kemudian Manarik napas dalam ada kerinduan tersendiri dari kalimat yang diucapkannya. Viona justru sebaliknya, ia begitu terkejut dengan pengakuan Azka. Mengapa kini lelaki di hadapannya itu mulai membuka diri untuk bercerita dengannya.

"Semenjak kepergian mereka, saya tak pernah semalam pun tidur dengan tenang. Saya selalu mengingat kejadian itu, kejadian yang merenggut nyawa kedua orang yang begitu saya cintai." Lanjut Azka bercerita, Viona ingin memotong ceritanya dan bertanya siapa kedua orang yang dimaksud oleh Azka, tapi ia mengurungkan niatnya, karena Azka kembali melanjutkan kalimatnya. "Sampai saat saya bertemu dokter Alice, ia bagaikan cerminan diri Celia. Seorang dokter cantik dengan rambut terurai, bola mata yang bulat, kepercayaan diri yang kuat, keras kepala dan ceroboh. Hal yang sama pada Celia, saya dapati pada dokter Alice. Itu mungkin yang membuat saya jatuh hati pada sahabat anda." Azka mengakhiri ceritanya, lalu melayangkan wajahnya yang sejak tadi tertunduk lesu untuk memandang ke arah Viona. Sebuah air bening tampak di sudut-sudut matanya. Pria itu menangis.

"Mengapa anda menceritakan hal ini kepada saya?" Tanya Viona tak mengerti, sambil menatap pria itu penuh iba.

"Saya butuh teman. Bisakah kita berteman?" Azka memberikan jawaban dan pertanyaan sekaligus kepada Viona.

Viona tak mengerti kenapa ia harus terjebak dalam situasi yang tidak mengenakan seperi ini. Ia tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Azka, disatu sisi dia tak ingin menjadikan pria itu sebagai temannya karena ia memiliki rasa yang lain untuk pria itu, sedangkan disisi lain ia juga tak mungkin menolak permintaan pria itu, karena ia merasakan suatu ketulusan ketika pria itu mengutarakan maksudnya.

"Mengapa harus aku? Kau bisa meminta orang lain untuk menjadi temanmu? Kau tahu kalau ini pertanyaan egois darimu yang aku tidak tahu harus menjawabnya bagaimana? Tidakkah kau memikirkan perasaanku ketika kau mengatakan ingin menjadi temanku? Hahhh...!!?" Ujar Viona geram, ia sama sekali tak mempedulikan bahasa yang saat ini digunakannya, sudah tidak lagi dalam keformalan, ia kemudian mendengus kesal diakhir kalimatnya.

Azka yang tadi sempat menitikan air mata, kemudian tersenyum geli melihat gaya bicara Viona yang tidak lagi seformal tadi.

"Kenapa kau tersenyum seperti itu? Sepertinya kamu hobi untuk mengejek orang lain." Kesal Viona sekali lagi.

"Maafkan aku Vio, selama ini aku tak pernah menceritakan hal menyedihkan ini pada siapapun, aku tak ingin orang menjadi iba padaku untuk itu aku berusaha tegar dan tetap menawan di hadapan siapapun. Kau tahu kan aku ini lelaki tergagah di Divisi Cyber Police, bagaimana jika image itu luntur saat orang tahu aku masih menyimpan kesedihan sampai selama ini?"

Viona tersentak dengan gaya bicara Azka.

Aku... Kamu??

Vio... Dia memanggilku dengan sebutan Vio, apa aku tidak salah dengar? Selama ini lelaki itu dengan begitu sopan menyebutnya Nona Viona atau Nona Rahaya, kenapa sekarang dia memanggil namaku dengan sesantai itu? Kita bahkan belum 'deal' untuk berteman.

Bukan hanya itu yang membuatnya kaget, lelaki itu bahkan menyombongkan dirinya dengan mengatakan dirinya 'menawan' dan 'lelaki tergagah'. Viona ingin sekali tertawa mendengar semua itu.

"Ada apa dengan anda?" Tanya Viona lirih.

"Ada apa? Aku baik-baik saja!"

"Bahasamu!" Balas Viona cepat.

"Kau yang mulainya lebih dulu. Aku hanya mengikutinya dan memang ini lebih nyaman dibanding dengan bahasa yang kita gunakan sebelumnya. Aku lebih nyaman berbicara santai seperti ini.!!" Lanjut Azka kemudian tanpa mempedulikan pandangan tak percaya Viona.

"Jadi bagaimana? Aku akan melanjutkan ceritaku, apa kau siap untuk mendengarkannya?" Tanya Azka kemudian pada Viona yang masih tak percaya dengan sikap sang lelaki yang kini tampak santai berbicara dengannya.

"Baiklah aku mengalah, tapi bukan berarti kita bisa menjadi teman hanya karena hal ini ya!!" Balas Viona ogah-ogahan, tapi ia tampak terlihat siap untuk mendengarkan cerita yang akan di sampaikan Azka.

...

Sementara itu di ruangan rawatnya, Ronald dan Alice masih tampak bersama..Ronald duduk di atas tempat tidur sedangkan Alice duduk pada bangku yang ada di rungan itu.

"Kau tidak capek duduk di bangku itu?" Tanya Ronald kepada Alice.

Alice menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menatap Ronald, "Aku disuruh berdiripun dalam ruangan ini seharian asal bisa melihatmu seperti ini, itu tak masalah untukku." Ujar Alice menggoda sang kekasih.

"Kamu ya... Sini tidur di sampingku!" Ajak Ronald seketika, sambil bergeser sedikit untuk memberikan tempat untuk Alice.

"Nggak akh, nanti kalo ada yang datang gimana? Nggak enak kalo dilihat orang." Jawab Alice kemudian.

"Hemp, baiklah dokterku sayang." Ronald kemudian mencubit pipi Alice dengan gemasnya. "Kalau begitu sekarang aku anterin kamu balik ke kamar kamu ya?" Tanya Ronald seketika sambil berusaha bergerak turun dari tempat tidurnya.

"Eh... Ee... Jangan!! Kamu nggak boleh turun dulu dari tempat tidur. Aku bisa balik sendiri ke kamarku." Cegah Alice cepat.

Bersamaan dengan itu George datang ke dalam ruangan, lelaki tanpa pakaian dinas itu juga tak kalah tampannya dari Ronald, dengan kulit hitam manis, rambut tipis yang sedikit bergelombang, serta gingsul yang dimilikinya membuat pria itu tampil seksi dan manis dalam balutan kemeja berwarna abu-abu yang kini dikenakannya.

"Syukurlah kau sudah sadar dan kondisimu lebih baik saat ini. Setidaknya, aku tak perlu berjaga semalaman lagi!" Ujar George ketika memasuki ruangan itu. Ia mengingat saat semalam ia dan komandannya harus berjaga semalaman takut kondisi Ronald sewaktu-waktu akan menjadi buruk.

"Haii dokter Alice, bagaimana keadaan anda?" Lelaki itu kemudian menyapa dokter Alice.

"Haii George, seperti yang anda lihat. Saya sudah jauh lebih baik sekarang."

Alice kemudian bergegas untuk meninggalkan ruangan itu dan kembali ke kamar rawatnya.

"George, tolong anterkan Alice ke ruangannya." Pinta Ronald seketika.

"Aku bisa sendiri, tenang saja." Jawab Alice.

"Oke... Baiklah, tak perlu sungkan dokter Alice. Saya akan mengantarkan anda." George tak mempedulikan perkataan Alice, ia malah mengambil alih tiang infus yang menyangga botol infusan Alice, kemudian ia mendorongnya pelan.

"Alice, istirahatlah. I love you..." Kata Ronald sebelum Alice benar-benar pergi dari ruangan itu.

"Kau juga, istirahat dan cepatlah pulih. Kau berhutang banyak cerita padaku." Jawab Alice padanya. "I love you too." Tak lupa kalimat itu pada akhirnya.

...

*jangan lupa follow Ig BDCP❤️ @vee_ernawaty ya... Oia kalo mau update yg tiap hari mampir ke lapak sebelah ya... hehehe 😀🤭🤗

avataravatar
Next chapter