1 Gadis di dekat jendela

Seorang pria yang terlihat sangat rapi dan berwibawa memakai jas hitam, sedang berdiri di dekat mobil hitam bersama temannya yang memakai jas abu-abu. Tatapan pria itu tertuju pada rumah mewah dua lantai di dekatnya, tatapannya fokus pada jendela lantai atas.

"Tempat apa ini?" tanya pria berjas hitam itu.

"Itu rumah bordil... hanya orang elit yang bisa masuk ke sana," jawab pria berjas abu-abu itu.

"Gadis-gadis di sana cantik sekali. Dan yang berdiri di dekat jendela adalah Daisy... Dia yang paling cantik di sana.. butuh $2000 untuk bisa bersamanya selama satu jam," jelasnya.

Pria yang mengenakan jas hitam melihat kembali ke jendela, menyadari bahwa ada seorang gadis cantik berdiri di sana, tampak seperti sedang melamun.

"Dan jika kamu ingin mengajaknya keluar dari rumah bordil itu dalam semalam, mucikari di sana akan meminta sepuluh ribu dolar sebagai uang tebusan," jelas laki-laki berjas abu-abu itu lagi.

Pria berjas hitam itu tetap diam, terus menatap gadis di dekat jendela sambil membayangkan betapa istimewa dan cantiknya gadis itu ketika melihatnya dari dekat, bahkan terlintas dalam benaknya untuk membeli gadis itu, karena penasaran bagaimana pelayanannya.

___

Terdiam dengan tatapan kosong ke arah jendela sambil membuka sebagian gorden abu-abu, itulah yang dilakukan Daisy Deven Joyce yanf berada di kamarnya yang bernuansa monokrom. Gadis cantik itu terlihat begitu muram, mengenakan terusan dress putih kecoklatan dengan bahu terbuka, lalu membiarkan rambutnya yang berwarna pirang bergelombang terurai begitu saja.

'Jika saat itu ibu bisa meninggalkan tuan Fernando, mungkin dia masih hidup dan aku tidak pernah lahir di dunia ini,' batinnya sedih, mengingat masa kecilnya saat masih bersama ibunya yang sudah meninggal saat dia berumur 10 tahun tepatnya.

Flashback on..

Di sebuah ruangan bernuansa klasik yang didominasi warna coklat tua, Daisy kecil duduk di kursi dekat meja rias, menatap ke cermin, menatap pantulan dirinya dan ibunya yang sedang menghias rambutnya. Gadis kecil itu begitu cantik seperti seorang putri mengenakan gaun berwarna putih keemasan dengan wajah yang dipoles menggunakan make-up tipis, selalu mengenakan bando yang terbuat dari rangkaian bunga kecil.

"Saat bertemu dengannya, kamu harus bersikap sopan dan menunjukkan bahwa kamu adalah gadis yang baik dan penurut," ujar ibunda Daisy, Deven.

"Apa dia akan membawa kita pergi dari sini?" tanya Daisy dengan suaranya yang masih sangat imut.

"Hmm...mungkin," jawab Deven santai.

"Mungkin kalau dia membawa kita pergi dari sini, kamu tidak perlu bekerja di kafe ... aku juga tidak perlu menjadi pengamen jalanan," kata Daisy sambil membayangkan hidupnya akan lebih mudah setelah bertemu dengan ayah kandungnya yang selama ini tidak pernah bertemu dengannya.

Deven menghela nafas, menatap Daisy dengan perasaan yang sangat sedih karena dia belum bisa memberikan kehidupan yang layak untuknya. Wanita yang berusia sekitar 30 tahun ini merasa gagal sebagai seorang ibu karena tidak bisa menjamin masa depan putrinya. Lagi pula, ayah putrinya memiliki istri dan anak di kota lain, sehingga dia memiliki firasat bahwa mungkin putrinya tidak akan pernah mendapat perhatian dari ayahnya, namun dia masih selalu berharap bahwa firasat itu tidak pernah terjadi.

"Kalau kamu tidak mau jadi pengamen lagi, tidak apa-apa," katanya lalu mengecup kepala putrinya. "Biarkan ibu yang bekerja ... Kamu hanya bermain di rumah menikmati masa kecilmu ... Atau ikut bibi Jane memetik bunga di taman."

"Atau haruskah aku pergi dengan ayah?"

"Jangan terlalu berharap," kata Deven dengan suara sangat rendah seolah menunjukkan bahwa tidak ada harapan. Wanita itu berjalan keluar kamar, meninggalkan putrinya sendirian di sana. Daisy menghela nafas, terdiam sedih karena dia menginginkan kehidupan yang lebih baik tetapi ibunya tidak bisa melakukan apa yang diinginkannya. Dia tidak bisa memaksa ibunya karena dia tahu bahwa ibunya cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Setelah hampir satu jam berada di kamar dan bermain dengan bonekanya, Daisy keluar dari kamar dan melihat seorang pria sedang berbicara dengan ibunya.

"Ayah," panggilnya. Deven segera bangkit dari kursi dan menghampiri Daisy yang berdiri di dekat pintu kamar, lalu membungkuk menatapi.

"Sayang, lebih baik kamu kembali ke kamarmu," katanya. "Tapi aku ingin bersama ayah," kata Daisy sambil melirik pria yang duduk di kursi yang menatapnya dengan tatapan datar. Dia jadi agak-agak takut, pastinya dia berpikir kenapa pria yang dia kira sebagai ayahnya itu seperti tidak menyukainya.

"Kamu bisa bersamanya nanti, setelah ibu selesai berbicara dengannya," seru Devan dengan tatapan tidak nyaman.

Daisy mengabaikan kata-kata ibunya. Dia segera menghampiri ayahnya yang bernama Fernando, yang langsung berdiri dan menatapnya dengan serius. Gadis kecil itu terdiam ketakutan karena tatapan ayahnya seolah mengisyaratkan bahwa dia memang tidak boleh mengganggu pembicaraan ayahnya dengan ibunya.

"Aku membaca suratmu setiap minggu," katanya pelan.

Fernando menoleh melirik Deven yang langsung menundukkan kepalanya. 'Aku bahkan belum mengirim surat selama ini,' pikirnya.

"Ibu bilang, kamu punya rumah yang bagus di kota lain. Apakah kamu akan membawaku ke sana hari ini?" tanya Daisy, tatapannya penuh harapan. Tentu saja dia seperti anak-anak lain yang berharap bahwa ayahnya bisa memberikan kehidupan yang baik untuknya, melindunginya dan menyayanginya.

Fernando kembali menatap Deven.

"Jangan memarahinya," kata Deven ketakutan. Fernando kembali menatap Daisy, lalu meletakkan tangannya di bahu kanannya. "Sayang, lebih baik kamu keluar. Tidak baik mendengar pembicaraan orang dewasa," serunya dengan tatapan ambisius.

Kecewa karena tidak mendapat jawaban tapi malah diusir, akhirnya Daisy keluar dari rumah.

Deven kembali menghampiri Fernando yang melirik ke arah Daisy hingga tidak terlihat karena sudah melewati pintu utama sederhana yang terbuat dari kayu berwarna coklat tua.

"Jika kamu tidak bisa membawanya pergi dari sini untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, lalu apa tujuanmu di sini?" tanya Deven sambil menatap Fernando yang tampak gagah mengenakan seragam biru tua bak tentara, karena ada beberapa gelar yang melekat di dada dan bahunya.

Fernando memalingkan muka sambil memasukkan tangannya di saku samping celananya. "Aku tidak berniat mengubah nasibmu ataupun dia. Jadi jangan terlalu berharap terlalu banyak."

"Apa maksudmu?" tanya Devan dengan kening berkerut.

"Aku tidak akan melakukan apa pun untukmu selain mengusirmu dari kota karena aku tidak ingin gadis kecil sialan itu mengganggu hidupku dengan keluargaku yang akan pindah ke sini," jawab Fernando dengan santai.

"Apa? kamu dan keluargamu akan pindah ke kota ini, lalu kamu ingin aku dan putri kita meninggalkan kota ini? Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu begitu tega, picik, apa kamu tidak memikirkan bagaimana nasib kami nanti?" Deven bertanya-tanya dengan kesal dan tatapan penuh kebencian pada Fernando yang terlihat begitu sombong.

Fernando langsung menatap Deven. "Kenapa aku harus memikirkan kalian? Bukankah aku sudah mengatakan dari awal bahwa hubungan kita tidak memiliki masa depan karena aku sudah punya istri dan anak? Di sini kamu yang bodoh karena kamu menjaga kehamilanmu sampai kamu melahirkan anak yang tidak pernah aku inginkan itu! sekarang atau kapan pun dia tidak akan pernah menjadi tanggung jawab ku karena aku tidak pernah menginginkannya. dan masalah masa depannya bukan urusanku!"

Plakk...

Deven langsung menampar wajah Fernando dan menatapnya dengan amarah dan nafas yang terengah engah. "Kamu merayuku, kamu memberiku janji manis lalu kamu mencampakkanku saat aku hamil... lalu sekarang kamu ingin aku pergi dari sini agar kamu hidup nyaman bersama keluargamu di sini..." Deven mendorong Fernando kesal. "Kamu egois, kamu penipu….Kamu telah menghancurkan hidupku!"

"Itu karena kamu bodoh!" Teriak Fernando, mendorong Deven hingga jatuh lantai di dekat meja. "Aku sudah menjelaskan bahwa kita tidak akan memiliki masa depan... Aku tidak akan pernah mengakuimu sebagai cintaku, aku tidak akan pernah mengakui gadis kecil sialan itu sebagai putriku karena itu bisa menghancurkan hidupku!"

Deven menangis tersedu-sedu, tak kuasa menahan rasa sedih dan sakit hatinya karena perlakuan Fernando. "Kamu takut hidupmu hancur karena aku, tapi kamu menghancurkanku lebih dulu! Di mana belas kasihmu, Fernando? Mengapa kamu begitu tega padaku?"

Fernando memalingkan wajahnya. "Karena aku tidak pernah benar-benar mencintaimu, Deven. Kamu hanya kekasihku, dan sekarang sudah berakhir. Kamu dan gadis kecil sialan itu harus segera meninggalkan kota ini karena aku tidak ingin dia mengacaukan hidupku."

"Tapi, Fernando..."

"Aku akan memberimu uang yang cukup banyak agar kamu bisa meninggalkan kota ini dan mencari tempat baru. Setelah itu jangan pernah mencariku atau mengingatku….Anggap saja kita tidak pernah bersama dan tidak ada anak di antara kita," kata Fernando sebelum Deven menyelesaikan kalimatnya. "Aku tidak mungkin melakukan itu.. Terlalu sulit. Mencari tempat baru berarti harus mencari pekerjaan baru," kata Deven sambil menangis.

"Itu bukan urusanku karena yang terpenting kalian harus meninggalkan kota ini!" seru Fernando tegas lalu menunjuk ke arah Deven. "Jika kamu menolak, tidak apa-apa! Tapi mungkin besok kamu akan melihat gadis sialan itu tidak bernapas lagi!" Mata Dean membelalak sesaat, lalu berdiri. "Apakah kamu akan membunuhnya?" Dia bertanya. Fernando memalingkan wajahnya, lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak punya pilihan lain." Deven semakin merasa hancur dan kecewa, dan langsung mendorong Fernando ke tembok dan memukulinya dengan tangan kosong. "Kamu jahat, kamu ayah yang buruk!"

Deven terus memukuli Fernando dengan tangannya sambil menangis. Fernando tidak tinggal diam, berusaha menghindari pukulan Deven hingga mendorongnya dan menamparnya berkali-kali sambil memakinya dengan suara keras. Daisy yang sedang berada di teras, tidak bisa memungkiri bahwa dia mendengar suara perkelahian di dalam rumah. Dia menangis karena mendengar suara ibunya yang menangis bahkan berteriak, dan suara pukulan juga dia dengar. Itu membuatnya merasa ingin masuk dan membantu ibunya tetapi dia sangat takut.

Flashback off

avataravatar
Next chapter