1 Aku adalah Bulan 1

Seorang wanita berambut pendek berjalan dengan langkah tergesa-gesa menyusuri koridor panjang, ia memegang dua buku tebal di tangan kanan dan sebelah tangannya lagi memegang lembaran kertas yang menggulung sambil menyandang tas selempang.

Wanita itu beberapa kali berpapasan dengan orang lain, ia mengulas senyuman tipis di wajahnya tapi tidak ada satu pun yang membalas, bahkan hanya sekadar meliriknya saja pun tidak.

Ia seperti dianggap udara, ada tapi tidak terlihat.

Tapi wanita itu tidak terlalu peduli, mungkin ia telah terbiasa, langkahnya cepat, seakan kalau ia melambat sedikit saja, ia akan kehilangan sesuatu yang berharga. Beberapa wanita dengan jas putih melintas di depannya, mereka berdiskusi seru tentang masalah praktikum, tapi begitu wanita berambut pendek itu mendekat, mereka langsung diam.

Seakan ada tombol jeda di mulut mereka.

"Yah, hai." Wanita berambut pendek itu, Ellen Petunia tersenyum tanpa rasa canggung. "Karena hari ini adalah hari pengumpulan laporan, aku akan menyerahkan ini."

Ellen menyerahkan lembaran kertas yang dijilid rapi ke arah wanita berjas, mengabaikan tatapan yang tidak menyenangkan di wajahnya.

"Terima kasih."

Ellen tidak menunggu jawaban, karena ia memang tidak pernah akan mendapatkan jawaban dari mereka semua.

Ellen berlalu dengan santai, melintasi koridor panjang lagi dan menuju sebuah ruangan yang terletak di sudut, perpustakaan.

Begitu ia masuk ia langsung disambut wajah malas penjaga perpustakaan, seorang laki-laki kurus paruh baya yang kacamatanya setengah melorot, laki-laki itu menguap dan melambaikan tangannya.

"Serius, apa kau tidak punya kegiatan selain mengunjungiku setiap hari?" Laki-laki itu mencatat nama Ellen untuk yang kesekian kalinya di komputer, ia sudah menjaga ruangan penuh buku ini selama bertahun-tahun di kampus kedokteran, meski setiap hari selalu ramai, ia bisa tahu hanya dengan melihat wajah mahasiswa yang datang untuk benar-benar mencari ilmu atau hanya ingin tidur seperti Ellen.

"Aku tidak tahu kemana aku harus pergi."

Ellen tersenyum tanpa beban, ia melengos masuk ke ruang favoritnya, tempat yang ada di paling ujung yang terpencil dan ia bisa berbaring.

Penjaga perpustakaan itu menggelengkan kepalanya, merasa heran, tapi orang yang berbicara dengannya itu adalah Ellen, wanita yang selalu meraih nilai sempurna meski ia memiliki segudang masalah di sekitarnya.

Satu hal yang layak untuk dikatakan pada Ellen, kasihan.

Tapi itu adalah hidup, siapa yang tahu begitu ia lulus dengan nilai terbaik, ia bisa kerja di tempat bagus dan mengubah pandangan orang lain tentangnya?

Yah, siapa yang tahu.

Ellen tidak ambil pusing dengan apa yang dipikirkan orang lain, ia menjatuhkan semua barang bawaannya ke atas karpet dan menghela napas.

Sulit dikatakan kalau ia tidak merasa tertekan dalam suasana seperti ini. Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi.

"Bertahanlah, masih ada waktu satu atau dua tahun." Wanita itu mengusak rambutnya dan mengambil ponsel, begitu layar menyala tampak foto candid seorang laki-laki berpakaian hitam.

Pipi Ellen langsung bersemu, ia tersenyum lebar.

Laki-laki itu adalah calon suaminya, Liu Yaoshan.

Kenapa tidak pacar? Tidak, Ellen tidak perlu pacar, ia hanya perlu suami yang bisa ia andalkan menghadapi orang-orang jahat.

Liu adalah orang yang cocok, ia tampan, pintar dan juga ….

Mulutnya sedikit kasar.

"Tidak apa-apa, aku tetap cinta padamu."

Ellen menghela napas, mengusap layar dan mencari kotak obrolan, mengirim pesan pada Liu secara beruntun, Liu jarang membalasnya cepat, laki-laki itu pasti sibuk mengurus pasien di klinik herbal miliknya.

Ellen tahu, cintanya tidak akan terbalas dengan cepat. tapi ia benar-benar ingin laki-laki itu menjadi miliknya. Bagi Ellen, tidak apa-apa jika ia ditolak lagi dan lagi, masih ada hari esok dan ia akan terus menyatakan cintanya sampai Liu luluh.

Perjalanan cinta tidak ada yang mulus, itu adalah keyakinan yang selalu Ellen pegang teguh.

"Apa kau melihat hasil tes praktikum tadi? Bagaimana bisa dia mendapatkan nilai sempurna lagi?"

Terdengar suara bisikan di sebelah rak buku, senyuman yang menghias wajah Ellen langsung luntur dan ia menyimpan ponselnya.

Suasana hatinya menjadi buruk hanya karena mendengar hal seperti ini.

"Dia pintar, apa yang salah?" Seseorang yang lain bergumam, tapi jelas ada nada kecemburuan dari nadanya. "Mungkin ia curang? Ia cukup dekat dengan asisten Elmer."

"Ah, bisa saja." Yang lain menimpali. "Tidak heran kalau tidak ada yang menyukainya, apalagi semenjak …."

"Duh, jangan bicarakan hal itu. Kalau pihak kampus yang mendengarnya kita bisa masuk komite kedisiplinan."

Ellen yang mau tak mau mendengarkan obrolan itu meremas roknya, ia memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam.

"Padahal aku tidak pernah melakukan apa-apa," gumamnya dengan kesal, ia menarik napas lagi dan berusaha tenang.

TING!

Ponsel Ellen berdering pelan, wanita itu langsung memeriksa dan matanya langsung membulat, itu adalah balasan dari Liu. Laki-laki itu berkata, ia sudah ada di depan gerbang kampusnya.

Seketika itu juga Ellen melupakan kekesalan di hatinya, ia langsung membereskan semua barang dan melesat keluar tanpa permisi, berlari menuju gerbang dengan penuh semangat.

Dari kejauhan, di seberang gerbang kampus yang berdiri kokoh, Ellen bisa melihat Liu duduk di kursi jalanan, laki-laki itu memiliki mata hitam yang gelap, ia menatap Ellen yang melambai dengan penuh semangat di seberang.

Liu balas melambai, hanya sekali. Lalu kembali acuh.

"Tunggu, aku akan menyeberang sebentar lagi!" Wanita itu berteriak, tidak sabar untuk menunggu mobil yang lewat sedikit lenggang, beberapa orang menatapnya dengan aneh.

Begitu Ellen menyeberang, ia langsung mengulurkan tangannya, ingin memeluk, tapi Liu terlalu hapal dengan gerakannya dan menghindar ke samping.

"Tidak bisakah kau lebih sopan? Jangan sembarangan memeluk orang."

"Kenapa? Kau dan aku, kita akan menjadi pasangan di masa depan. Tidak perlu malu-malu!"

Ellen berlari di samping Liu yang mulai berjalan di trotoar, wajahnya bersemu merah dan matanya berbinar-binar.

Jelas, bersama Liu adalah hal yang paling ia impikan dalam hidupnya.

"Kapan aku setuju kita jadi pasangan di masa depan? Jangan menatapku terus menerus, kau membuatku tidak nyaman." Liu mengangkat tangannya yang ingin dipegang Ellen.

Ellen tidak habis akal, ia pura-pura tersandung dan secara refleks memegang bahu Liu. "Tidak masalah, kau akan terbiasa nanti."

Wanita itu tidak menunggu persetujuan Liu, ia menggandeng lengan laki-laki itu dan tertawa. "Apa siang ini kau sudah mencintaku?"

"Tidak."

"Bagaimana kalau nanti sore?"

Liu menghentikan langkah, ia menatap Ellen yang menggandengnya. Wanita ini … Liu tidak tahu apakah ia terlalu keras kepala atau ia menolak untuk mengerti setiap penolakannya.

"Tidak."

Bukannya sedih, Ellen justru tertawa.

"Kalau begitu, besok kau akan mencintaiku, jika tidak besok, maka besoknya."

Mata Ellen bersinar, ia menyeringai. "Tunggu saja, kau pasti akan jadi suamiku di masa depan."

avataravatar
Next chapter