"Kiran!"
Seruan melengking seseorang ketika aku baru saja berjalan melewati gedung perpustakaan membuat langkahku terhenti. Aku menarik napas sejenak mengetahui siapa itu tanpa harus berbalik badan.
"Aduh Kiran, aku panggil kenapa gak nyahut sih," ujar Ruri kini berdiri di hadapanku.
Aku berkacak pinggang menatapnya. "Apa Ruri sayang?"
Ruri mendengus pelan. "Pasti kau belum cek instagram kan hari ini?" tanyanya dengan mata menyipit.
Aku menggelengkan kepala. "Kuotaku habis pagi ini. Ada apa?" Mataku sedikit melebar membayangkan sesuatu hal. "Ada berita dating dari anggota BTS?"
Sekali lagi Ruri mendengus. "Aduh bukan itu, tapi Soraya dan Fahmi baru saja posting foto yang sama."
Aku mengangkat sebelah alis. "Terus?"
Entah melihatku kesal atau apa, tiba-tiba Ruri maju selangkah dan memukul kecil lenganku. "Artinya mereka pacaran! Mantanmu Fahmi yang baru putus bulan lalu," ujarnya menegaskan setiap kata dalam ucapannya.
"Aku tahu, kau tidak perlu heboh seperti itu," ujarku melanjutkan kakiku untuk berjalan.
Bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang kabar kencan antara Soraya yang merupakan anak ekstrakulikuler tari yang terkenal dengan Fahmi yang anak basket sekaligus mantan pacarku.
Fahmi tiga hari lalu mengajakku untuk balikan dengannya, namun kutolak mentah-mentah. Alasan kami putus pun, karena aku mendapatinya berbohong, di mana dia berkata sedang nongkrong bersama temannya. Namun ternyata jalan bersama Soraya.
"Kiran, hampir seluruh teman angkatan dan junior satu tingkat di bawah kita membicarakan ini. Katanya kau telah dicampakkan," kata Ruri mengikutiku berjalan di sampingku.
"Biarkanlah, mati satu tumbuh seribu."
Akhirnya kami sampai di depan kelas, Ilmu Alam tiga. Begitu aku melangkah masuk, bisa kulihat pandangan teman sekelasku, terutama para murid perempuan dan sekarang aku mengerti maksud Ruri.
"Apakan yang kubilang," bisik Ruri kemudian berjalan duluan menuju bangku kami.
Aku hanya memutar bola mataku tidak peduli, lalu ikut di sebelahnya. Masih ada waktu sebelum waktu istirahat berakhir. Lalu ketika aku mulai membenahi rambutku melalui kamera depan ponselku, suara berbisik teman satu kelasku menggema.
"Ini buku catatan fisikanya."
Jreng! Tiba-tiba sebuah buku tulis di mana bagian depannya terdapat nama Deril di sana. Aku mendongak mendapati pemilik buku tersebut menatapku datar.
Siapa yang tidak mengenal Deril. Anak Ilmu Alam satu yang pintarnya tiada dua dalam sekolah kami, SMA Nusantara Semesta. Juara lomba sains, matematika hingga debat bahasa Inggris. Belum lagi kenyataan bahwa dia anak orang kaya.
"Oh oke, makasih," balasku mengambil buku tersebut dan memasukkannya ke dalam tasku. Sedangkan Deril hanya membalas dengan anggukkan kepala, lalu keluar dari kelasku.
Seketika murid perempuan heboh mengobrol satu sama lain. Termasuk Ruri kini mulai mendekatkan dirinya padaku.
"Ki, apa itu tadi?" tanya Ruri sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"See? Mati satu tumbuh seribu," jawabku dengan nada sombong sambil mengendikkan bahu acuh tak acuh.
Padahal kedatangan Deril adalah sesuatu yang sangat terencana. Hal itu bermula ketika aku masuk ke ruang guru untuk mengumpulkan LKS Biologi, lalu tanpa sengaja melihat Deril salah mengumpulkan buku tugas. Ketika lelaki keluar dari ruang guru, dia menjatuhkan kunci mobilnya dan beruntung aku yang menemukannya. Kamu pun membuat kesepakatan, bahwa aku akan mengembalikan kunci mobilnya sepulang sekolah nanti apabila Deril datang membawakanku buku catatan yang salah itu. Dan aku berkata akan mengembalikannya besok.
Tujuan kulakukan hal itu adalah untuk meredam gosip tentang bagaimana diriku yang dicampakkan oleh Fahmi. Padahal para murid tidak tahu yang sebenarnya. Entah Deril terlalu tidak peka atau bermasa bodoh, sehingga menuruti permintaanku itu.
Bel terakhir berbunyi, setelah dua jam aku harus menonton film dokumenter sebagai pengganti kelas mata pelajaran sejarah. Aku meraih tas ransel pada sandaran bangku, namun langkahku tertahan oleh tangan Ruri yang terlentang lebar di depanku.
"Ada apa lagi?" tanyaku dengan nada memelas. Aku yang sudah lelah hari ini, ditambah cuaca yang begitu terasa panas. Membuatku ingin segera masuk ke dalam menyalakan AC sambil berbaring.
"Kau belum jelasin tentang bagaimana Deril dengan gagahnya masuk dan menghampirimu serta memberikan buku catatannya itu."
"Bagaimana mungkin kami tidak saling kenal? Aku dan dia satu kelas sewaktu kelas satu, kemudian … kami satu angkatan dan jurusan juga," balasku memberi penjelasan yang masuk akal.
Ruri berdecak lidah. "Tapi kita bicara tentang Deril, lelaki yang selama ini lebih suka sendiri ke mana-mana dan menyendiri di perpustakaan. Bahkan teman laki-lakinya pun hanya dihitung jari, dan … seorang Kiran murid perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantin sekolah kenal dengan jenius SMA ini?"
Entah mengapa ucapan Ruri sedikit membuatku tersinggung. Aku mengakui, dibandingkan nilai dan prestasiku daripada Deril, tentu kami jauh berbeda. Deril bukanlah jenis murid cupu yang menghabiskan waktunya di perpustakaan, karena tidak punya teman, tetapi memang lelaki itu saja begitu adanya. Namun bukan mustahil juga bagiku dengan Deril untuk kenal satu sama lain bukan?
"Sudah, sudah. Aku capek, kau perlu menunggu Reni bukan?" ujarku membahas tentang adik perempuan Ruri yang juga bersekolah di sini. Reni sendiri masih kelas satu SMA.
Ruri mendesah. "Ah benar, padahal aku ingin segera pulang melihat serial teenwolf yang baru rilis season terbarunya."
"Baiklah, aku duluan ya," balasku menepuk bahu Ruri sebelum berjalan menuju gerbang sekolah.
Namun langkahku kembali tertahan begitu sebuah tangan memegang tanganku dari arah belakang. Aku berbalik badan dan terkejut menyadari bahwa itu adalah Deril. Yang lebih mengejutkan lagi, karena sedang jam pulang sekolah, sehingga banyak murid yang melihat kami. Oh tidak, ini terlalu menarik perhatian.
"Mana kunci mobilku?"
Aku menatap tajam lelaki itu. "Kenapa harus di sini?" Aku sedikit menggeram.
"Kau bukannya mau pulang bukan? Jika lupa, aku yang tidak bisa pulang," balasnya santai.
Aku baru menyadari tanganku masih dipegangnya ketika akan merogoh tasku untuk mengambil kunci mobilnya.
Deril reflek melepas tanganku yang mungkin baru menyadarinya juga. Setelah memberikan kunci mobilnya, lelaki itu mulai berjalan pergi. Namun baru beberapa langkah dia kembali ke arahku.
"Gak sekalian aku antar?" tanyanya membuat mataku membulat.
Aku tersenyum kikuk. "Gak deh, aku pakai taksi daring saja."
Kulihat Deril tampak berpikir sambil menatapku. "Yakin? Nantikan rumor bahwa kau dicampakkan kedua kalinya akan kembali terdengar."
Aku melongo tidak percaya mendengar ucapan Deril. Lelaki itu bahkan tersenyum tipis setelah mengatakannya.
"Ayo," ajaknya berjalan duluan.
Aku memerhatikan sekitarku di mana masih banyak teman angkatanku yang melihat ke arahku dan Defil. Namun ketika mataku menangkap sosok Fahri yang berjalan bergandengan dengan Soraya, membuatku pada akhirnya mengikuti Deril menuju parkiran.
"Makasih tumpangannya," ujarku menoleh menatap Deril.
Lelaki itu hanya mengangguk singkat. "Jadi bukuku mau kau kembalikan besok atau sekarang?"
"Oh iya ya, aku berkata untuk besok karena kupikir tidak akan bertemu denganmu lagi tadi," balasku kemudian mengeluarkan buku catatan miliki lelaki itu.
"Ternyata rumahmu dekat dengan rumahku," ujar Deril setelah melempar bukunya ke kursi belakang.
Aku mendengus pelan, lalu tersenyum. "Kenapa? Mau jemput besok?" tanyaku bercanda.
"Mau?"
Aku yang sudah memegang pegangan pintu mobil kembali berbalik menatap kaget Deril atas balasan ucapanku. Kulihat dia malah tertawa pelan, membuatku ikut tertawa. Tidak kusangka lelaki itu bisa bercanda juga, padahal selama ini terlihat dingin.
Rumah sepi hanya menyisakan aku seorang diri. Renata--ibuku sedang pergi arisan, ayah belum pulang bekerja dan Kanaya sudah pasti sibuk dengan organisasi kampusnya. Berbagai hal kulakukan untuk mengisi kekosongan, mulai menonton drama, membuat dalgona coffee yang sedang tren atau membaca thread di twitter yang sedang heboh.
Matahari mulai terbenam ketika tanpa sengaja kudengar suara mobil. Sepertinya ayahku baru saja pulang dari bekerja, aku segera menuju pintu depan. Biasanya ayah akan pulang sambil membawa makanan atau camilan yang dibeli di pinggir jalan.
Namun langkahku terhenti tepat di depan pintu, bagaimana tidak, ayah tidak sedang sendiri. Dia berjalan dari mobil dengan seorang lelaki. Bukan, seorang pria yang kelihatan sudah dewasa dan pria tersebut sangatlah tampan.
Rasanya aku ingin berteriak melihat ketampanan pria tersebut. Tatapan mata tajam, hidung mancung, alis tebal dan rahang yang tercetak tajam membuat dadaku seketika berdebar
"Oh Kiran," seru ayah membuat kesadaranku kembali.
"Ayah, siapa dia?" tanyaku pada pria yang kini berdiri di hadapanku.
Ayah tertawa sekilas. "Dia anak sahabat ayah, namanya Evan. Ternyata akan pindah ke depan rumah selama setahun untuk urusan pekerjaan."
Pria bernama Evan itu mengulum senyum tipis ke arahku sambil mengulurkan tangannya. "Evan Davaro Saga. Panggil saja Evan."
Aku tersenyum membalas. "Kiran Naomi Tanaka. Kak Evan bisa panggil Kiran," balasku bisa merasakan sentuhan pertama kami.
Ketika Evan akan menarik tangannya, mata kami bertemu untuk beberapa saat. Tepat pada saat itu seolah aku bisa melihat masa depanku dengannya. Apakah mungkin Evan adalah jodohku?
Satu tahun? Kurasa cukup untuk menjawab setiap tanya atas debaran dada yang kini kurasakan.
♡♡♡
Gimana chapter 1-nya, tertarik membaca selanjutnya?
Oh ya, ini bukan teenlit ya jadi mungkin hanya cocok untuk 18+
Berikan ulasan, komentar dan power stone-nya ya ♡♡♡