webnovel

Deep Talk

Jika kemarin pujian kata manis Evan membuatku seolah melayang, kini kepalaku malah pusing mengartikannya. Pasalnya aku mengingat hari di mana Evan memberiku kue, karena lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak suka makanan manis.

"Ini sedikit ambigu," gumamku setelah merapikan rambutku, lalu segera keluar dari kamar.

Aku menuju meja makan di mana sudah ada Kanaya yang makan dengan terburu-buru. "Pelan-pelan saja."

Kanaya langsung mendongak dan menatapku tajam. Ia kemudian segera menghabiskan susunya. "Kuliah nanti, baru tahu rasa," balasnya ketus lalu bangkit dari kursi makan menuju pintu depan dengan menyampirkan ransel yang dipakainya.

"Oh ya Bu, Ayah mana? Kok tidak sarapan," tanyaku mulai memakan sarapanku.

"Ayahmu sudah tadi. Kelamaan tunggu kau selesai pakaian. Sekarang lagi ngobrol sama Evan di teras sambil minum kopi," balas ibu membuat mataku seketika terbelalak.

Tanpa berbicara lagi, aku segera menghabiskan sarapanku dengan terburu-buru. Mengunyah makanan lebih cepat dari biasanya dan melirik jam tanganku lebih sering.

"Tadi suruh Kanaya pelan-pelan, tapi kau malah makan kayak gitu," ujar ibuku memperingati.

Aku hanya tersenyum cengengesan menatapnya. "Soalnya ada hal yang harus aku lakukan."

Setelah makanan di atas piringku habis. Aku segera meneguk susu, lalu menghampiri ibuku dan menyalaminya. "Aku berangkat ke sekolah ya Bu," pamitku lalu berjalan cepat.

"Hati-hati, jangan lari Kiran!"

Suara peringatan ibu masih bisa kudengar, hingga aku kini berada di luar tamu. Kakiku otomatis berhenti bergerak, begitu mendengar ayah berbicara dan dibalas oleh suara berat Evan.

"Tidak ke kantor hari ini?"

"Tidak Om, kebetulan kerjaannya bisa via virtual saja."

"Nak Evan kelihatannya lelah. Banyak pekerjaan di kantor ya?" Pertanyaan ayah membuat kakiku melangkah hati-hati semakin mendekati pintu.

Evan tertawa pelan sejenak. "Iya, aku juga mengerjakan sebuah desain bangunan di rumah kalau pulang dari kantor."

"Makanya Nak Evan kalau akhir pekan kelihatan jarang keluar. Kirain bakal keluar jalan sama pacar."

Sekali lagi aku mendengar suara tawa Evan. "Enggak kok Om. Kalau akhir pekan, paling istirahat di rumah. Kecuali ada janji, kayak kemarin keluar bareng Kiran."

Napasku seolah tercekat mendengar bagaimana Evan masih mengingat dengan jelas pertemuan kami kemarin. Senyuman lebar langsung tersungging di wajahku.

"Kiran, belum berangkat?" 

Suara ibu dari belakang membuatku berbalik badan, lalu segera membuka pintu. Kini aku bisa melihat Evan duduk bersebelahan dengan ayah. Lelaki itu memakai kaus oblong putih dengan celana pendek army. Rambutnya sedikit acak-acakan, tetapi tidak mengurangi ketampanan lelaki itu.

"Eh ada Kak Evan," ujarku seolah tidak tahu keberadaan lelaki itu.

"Selamat pagi Kiran," sapa Evan mengulas senyum tipis.

Melihat Evan seperti sekarang membuatku seolah enggan berangkat ke sekolah.

"Baiklah Nak Evan. Om berangkat dulu, sekalian antar Kiran." Ayah mulai beranjak dari kursi diikuti Evan yang ikut bangkit berdiri.

"Oh iya Om," balas Evan menjabat tangan ayah sebentar. Dia lalu beralih memandangku. "Belajar yang baik ya Kiran."

Aku mengangguk spontan. Kulihat Evan mulai berjalan untuk kembali ke rumahnya, sedangkan aku berjalan menuju mobil di mana ayah telah berada di dalam. Namun ketika tubuhku dan tubuh Evan bergerak dalam posisi bersilang, aku bisa merasakan dia mengelus kepalaku sebentar lalu berlalu pergi.

Jika saja ayah tidak sedang melihatku saat ini, maka sudah kupastikan bahwa diriku akan melompat kegirangan sambil tersenyum tidak jelas saking bahagianya.

Efek dari sentuhan lembut Evan kemudian membuat hari senin yang biasanya tampak berat oleh upacara dan mata pelajarannya, kini terasa nyaman menjalaninya.

"Kenapa senyum-senyum tidak jelas? Dikasih uang jajan lebih ya?" Ruri menyenggol lenganku ketika jam istirahat telah dimulai beberapa menit yang lalu.

Aku menoleh dengan wajah masih dipenuhi senyuman. "Kelihatan banget ya bahagianya?"

Ruri mengangguk dengan cepat. "Aneh tahu, tadi saat upacara kau sukarela berdiri paling depan. Biasanya juga ogah, karena panas."

"Oh ya Ruri, kalau misalnya kasih sesuatu ke orang lebih dewasa itu bagusnya apa?" tanyaku memiliki pikiran untuk memberikan sesuatu Evan setelah mengajakku makan ramen kemarin.

"Orang lebih dewasa?" Aku melihat Ruri menatapku bingung dengan dahi berkerut.

"Itu … salah satu rekan kerja Ayahku mau ulang tahun gitu … terus, usianya sekitar dua puluh delapan tahun," balasku menjelaskan dengan sedikit dusta.

"Dulu waktu adik Ibuku yang laki-laki ulang tahun, aku dan sepupuku lainnya patungan beliin jam tangan," cerita Ruri berdasarkan pengalamannya.

"Jam tangan ya?"

Ruri mengangguk pelan. "Kalau usianya lebih muda, mungkin nintendo switch lebih cocok."

Aku mengerang pelan dalam hati. Bahkan untuk nintendo switch mini yang sedang digemari oleh murid laki-laki di kelasku cukup mahal harganya.

♡♡♡

Aku benar-benar bingung, mau memberi apa kepada Evan. Bahkan hingga pulang sekolah, pikiranku hanya tertuju pada hal tersebut. Lamunanku sedikit terbuyarkan begitu mendengar suara klakson mobil.

Begitu aku berbalik badan, aku menemukan mobil Deril berjalan pelan di sebelahku. Dia kemudian benar-benar menghentikan laju mobilnya, lalu menurunkan kaca.

"Mau aku antar pulang?"

Aku melirik sekitar di mana sedang ramai oleh para murid yang juga mulai berjalan pulang. Apalagi aku berada di dekat parkiran saat ini. Namun mengingat tentang hal yang ingin kuberikan kepada Evan membuatku mengabaikan tatapan murid lainnya, yang bisa aku tebak besok akan mulai menebar gosip tentangku dan Deril.

Aku langsung membuka pintu mobil yang kebetulan tidak terkunci. "Anak-anak pasti mulai bergunjing," gumamku melihat keluar melalui kaca spion.

Kudengar Deril terkekeh pelan. "Biarkan saja. Kau langsung masuk."

Mataku membulat lalu menoleh. "Jangan tawaranmu tadi cuma sekadar basa-basi saja?"

Deril tertawa keras sambil mengangkat tangannya. "Enggak kok. Cuma aku lihat jalanmu pelan sekali, lagi melamun ya? Mikir apa memangnya?" tanyanya lalu mulai menjalankan mobilnya.

Aku melirik sesuatu yang melingkar pada pergelangan tangan Deril. "Harga jam tanganmu berapa?"

Kulihat Deril menoleh sekilas dengan alis terangkat. "Memang kenapa?" 

"Jawab saja Deril."

Seketika Deril menyungging senyum tipis. Dia tidak menjawab dengan kata-kata yang menyebutkan nominalnya, tetapi mengangkat empat jarinya.

Aku melongo mengerti angka empat yang pasti bagian belakangnya terdapat enam angka yang mengikutinya. Jika jam tangan untuk seukuran Deril saja sudah menyentuh angka seperti itu, maka bagi Evan tentu lebih besar. Dompetku meringis memikirkannya.

"Kenapa sih Kiran? Mau kasih Kak Evan jam tangan? Memang dia mau ulang tahun?" 

Pertanyaan Deril yang bertubi-tubi, membuatku mengalihkan perhatianku. "Bukan begitu, hanya saja Kak Evan kemarin membawaku makan ramen ke salah satu restoran Jepang milik temannya yang baru buka," balasku dengan wajah sedikit memanas apabila membayangkan lontaran pujian Evan yang mengatakan bahwa aku manis.

Kulirik Deril menyunggingkan senyum tipis. "Sepertinya pendekatanmu berhasil," balasnya kemudian menghentikan mobil, karena sudah sampai di depan rumahku.

Aku memanyunkan bibir. "Tidak juga. Tapi ya … lebih baik dari sebelumnya," ucapku beralih tersenyum. Mencoba berpikir positif bahwa perjuanganku untuk dekat dengan Evan akan berbuah manis.

"Gini ya Kiran, jika cuma sebatas balas budi, maka ucapan terima kasih juga sudah cukup. Tapi kalau memang kau memberinya sesuatu kembali, kenapa tidak ke hal paling dasar? Misalnya makanan favoritnya juga," balas Deril memberi saran.

"Cowok memang pemikirannya sesederhana itu?" balasku membuat Deril tertawa.

Namun lelaki itu mengangguk pelan. "Iya, kurasa Kak Evan juga tidak mengharap balasan darimu."

"Hm gitu ya. Tapi apa ya makanan favorit Kak Evan?" ujarku mulai memikirkan apa yang dikatakan oleh Deril, bahwa memberi makanan juga bagus.

"Kalau aku memberitahumu, apakah kau akan memberiku nomor Kak Kanaya?"

Ucapan Deril seketika membuat mataku membulat. Aku menatapnya yang kini sibuk memandang ke depan dan bisa kulihat bahwa lelaki itu sedang melihat Kanaya yang baru saja diantar sama teman kuliahnya dengan motor skuter.

"Jangan bilang kau suka sama Kak Kanaya. Dia sudah punya pacar," balasku menatap horror ke arah Deril.

Deril seketika tertawa. "Tidak, Kak Kanaya kuliah di Universitas J bukan? Aku ingin bertanya beberapa hal tentang kampus itu."

Aku masih tetap menatap curiga bahwa sebenarnya bisa saja Deril menyukai Kanaya. Bukankah lelaki itu pertama kali bertemu dengan Kanaya ketika berkunjung ke rumah Evan?

"Ayolah Kiran, aku hanya ingin tahu tentang beberapa jurusan yang ada di sana. Informasi lewat website kampus biasanya terbatas," balas Deril tetap berkilah.

"Baiklah." Aku merasa bahwa bukan urusanku juga jika Deril menyukai Kanaya, selama lelaki itu bisa membantuku dekat sama Evan. Sehera aku mengeluarkan ponselku untuk memberi nomor ponsel Kanaya.

Entah apa yang akan Kanaya katakan padaku jika Deril menghasil menghubungi perempuan itu dan menyebut bahwa akulah yang memberi Deril nomornya.

Dan di sinilah sekarang aku berdiri, di depan pintu rumah Kak Evan sambil membawa satu box besar pizza dengan ditunjang beberapa makanan camilan lainnya. Aku menarik napas, lalu pelan-pelan mengulurkan tangan untuk memencet bel rumah.

Sebelum pergi membeli pizza yang menurut Deril kesukaan Evan, aku memastikan pria itu telah kembali ke rumahnya setelah pulang dari kantor. Begitu mobilnya memasuki garasi, segera aku memesan taksi daring menuju salah satu franchise yang menjual menu utama berupa pizza. Aku juga memprakirakan jam makan makam lelaki itu.

"Kiran?"

Evan yang membuka pintu, langsung menyebut namaku. 

"Ini buat Kak Evan, sebagai ucapan terima kasih Kiran buat yang kemarin," ujarku menyodorkan kotak berisi pizza tersebut.

Kulihat mata Evan mengerjap sekali dengan dahi mengernyit. "Kenapa harus repot-repot segala? Ini harga pizza kelihatannya bisa buat jajanmu beberapa hari dan … seharga buku," balas lelaki itu dengan pemikiran yang sama sekali berbeda denganku.

Aku tercengang untuk beberapa saat, merasa bahwa langkahku kali ini mungkin salah lagi. Namun ketika Evan mengambil kotak berisi pizza tersebut, aku menjadi bingung.

"Tapi aku akan menerimanya, karena kau sudah repot-repot pergi membelinya tadi," ujar Evan menjadikan mataku melotot.

"Bagaimana Kak Evan tahu bahwa aku pergi membelinya?" Aku bertanya, karena zaman sekarang apa-apa bisa dipesan via aplikasi daring.

"Aku melihatmu pergi dengan taksi beberapa menit yang lalu, lalu pulang dengan kotak ini. Kukira mungkin disuruh Kanaya atau membelinya, karena permintaan Ayah dan Ibumu."

Aku hanya tersenyum kikuk. "Oh gitu ya, kalau begitu Kiran pulang dulu, silakan Kak Evan menikmatinya."

Baru saja aku akan berbalik badan, tetapi tanganku terasa ditahan, sehingga aku kembali menghadap Evan yang kini memegang pergelangan tanganku.

"Ayo kita makan bersama. Lagipula aku tidak akan bisa menghabiskannya sendirian," ujar lelaki itu langsung menarik tanganku masuk tanpa aku berucap setuju terlebih dahulu.

Akhirnya kami menikmati pizza beserta camilannya di teras lantai dua rumah Evan. Aku tidak bisa menggambarkan perasaan bahagiaku saat ini. Rembulan yang bersinar seolah tersenyum kepadaku yang tidak bisa terlalu menikmati pizza di mulutku, karena sibuk mencuri pandangan ke arah Evan.

"Oh ya Kiran, nanti lulus SMA mau kuliah jurusan apa?" tanya Evan membicarakan tentang masalah akademik kembali. Dia menoleh setelah menyelesaikan satu potong pizza di tangannya.

"Belum tahu sebenarnya," balasku jujur.

"Aku harap kau akan memilih jurusan yang benar-benar kau minati, bukan karena jurusan itu terlihat keren atau keinginan orang lain," saran Evan membuatku berpikir bahwa jurusan apa yang sebenarnya kuinginkan.

"Kak Evan sendiri kenapa memilih arsitektur?" tanyaku mulai mencoba mencari tahu lebih dalam tentang lelaki itu.

Evan menarik napas singkat. "Sebenarnya aku ingin menjadi seorang jaksa, tetapi Kak Andre menyarankanku masuk Teknik Arsitektur. Walaupun pada akhirnya aku mencintai seni mendesain bangunan," ungkapnya membuatku terkesiap.

"Jadi pada akhirnya Kak Evan mencintai sesuatu yang berawal pada hal yang dipaksakan?" tanyaku berfokus pada kata mencintai.

Tawa Evan seketika menggelegar. "Bukan dipaksakan Kiran. Kak Andre cuma menyarankan, jadi pilihan tetap ada di tanganku dan aku memilih Teknik Arsitektur dibanding Hukum," ujarnya menjelaskan.

"Dan perjuangan itu tidak sia-sia," tambahnya membuatku tersenyum.

"Berarti aku hanya perlu mengikuti kata hatiku," balasku dengan pandangan tertunduk, menerawang tentang berbagai hal. 

"Benar, jadi jangan menyerah."

Ucapan semangat Evan membuatku kembali menoleh menatap lelaki itu sambil tersenyum dan dia membalas dengan senyuman lebar. Manis sekali.

♡♡♡

Next chapter