16 "Kau jangan berpikir yang tidak-tidak!"

Angin malam yang bertiup kencang seolah memberi peluang untuk dua tubuh saling berpelukan. Menjelajah gelapnya jalan dengan hiasan lampu warna-warni yang membantu penerangan.

Arus jalan yang tak terlalu ramai membuat pria dengan kaos navy panjangnya itu menancap gas dengan kecepatan tinggi. Seolah tak mengerti kode dari genggaman erat yang menarik ujung bajunya di dua sisi.

Devan yang masih dalam ketakutannya itu hanya sanggup terdiam dengan tubuh yang bergetar. Kepalanya secara tidak sengaja bersandar di punggung pria yang menyelamatkannya itu.

Tubuh kecilnya yang sedikit merasakan sakit dibeberapa bagian. Perutnya juga seperti banyak angin hingga membuatnya mual. Ini sudah sangat malam, entah berapa lama Devan terkurung di gudang itu dengan hanya duduk di lantai ubin yang terasa begitu dingin.

"Terimakasih, huek!"

"Eh! Kau baik-baik saja?"

Devan hanya mengangguk singkat. Ia berjalan lunglai dengan kepala yang tertunduk. Tas yang dipanggulnya terasa begitu berat hingga lengan Devan beberapa kali memukul-mukul bahu kakunya itu.

"Eh! Ayo ku antar!"

Langkah Devan seketika terhenti. Suara langkah kaki seseorang yang semakin mendekat ke arahnya.

"Tidak usah."

"Kau memakai jaket ku, a-aku tak ingin kau nanti memuntahinya. Jangan salah paham!"

Pria yang saat ini berada di hadapan Devan itu pun menghadang jalannya lagi. Devan menarik nafas panjang, tas yang dipanggulnya itu pun segera di lepas dan dihempaskan ke pelukan pria itu. Devan bersiap menarik ujung jaket itu keatas untuk dilepas namun sebuah rangkulan ditubuh dan dorongan untuk melanjutkan jalan tak bisa dielak oleh Devan. Ia memang butuh bantuan, kakinya terasa begitu lunglai saat ini.

"Lantai berapa?"

"24 no 301."

Berada dalam satu lingkup dengan orang itu terasa sangat canggung. Devan tak pernah menyangka sosok Nathan akan ada dalam kebutuhannya melarikan diri dari rasa takut. Reflek memeluk dan menangis di pelukan Nathan seperti menjadi bayang-bayang memalukan yang saat ini terngiang di benaknya. Pria dengan wajah sombong dan sesuka hati memberikan waktunya untuk terus bertindak jahil dan berakibat pada orang sekitar. Pria pembully yang juga menjadi penyelamatnya kali ini.

"Terimakasih kau sudah mengantarku. Oh ya, hoodienya akan ku kembalikan setelah ku cuci. Kalau kau kedinginan, aku bisa meminjamkan milikku yang bersih."

Nathan hanya menatap diam pria berwajah pucat itu. Ia masih tak menyangka pria sepertinya akan tinggal di sebuah apartement, alih-alih di sebuah rumah dengan keluarga yang menyambutnya khawatir di depan pintu.

"Boleh."

Devan membuka pintu itu dan langsung memasuki ruangan yang terlihat mewah tanpa mempersilahkannya masuk.

"Sial! Baru kali ini pria seperti ku menunggu dengan tampang bodoh di depan pintu."

Nathan menatap tas Devan yang ada di genggamannya itu. Harusnya ia tak bersikap begitu berlebihan dengan mengantar dan menyambut baik tawaran pertukaran jaket. Haruskah ia menukar kebaikannya hari ini dengan beberapa perintah yang menuntut Devan untuk menjadi budaknya?

Beberapa waktu berselang, pintu itu pun akhirnya kembali terbuka. Nathan yang bersiap memberikan beberapa kata ketus itu seketika tertahan di ujung lidah. Tampang yang terlihat lebih parah dari yang sebelumnya. Devan terlihat pucat dan begitu bersedih hingga Nathan melihat bulir air mata yang siap mengalir. Ada apa dengannya, apakah sesakit itu dirinya sampai harus berwajah sedih?

"Dev! Ini tidak seperti yang kau bayangkan, wanita itu mabuk."

Nathan yang awalnya hanya terfokus pada ekspresi Devan itu sedikit terkesiap dengan suara bariton yang mengintrupsinya. Pria dengan kaos tanpa lengan yang dipenuhi tatto itu nampak cemas dengan tampang dingin di satu waktu. Suasana nampak terasa tegang dengan Nathan yang seolah menjadi orang asing diantara pertengkaran dua kekasih. Eh! tunggu, mereka sama-sama pria!

"Apa sih, Mike! Aku tak masalah, lagipula ini rumahmu, kan?"

Devan berusaha menghindar saat Mike menarik wajahnya untuk bertatapan. Ia tak ingin pria itu sampai melihat wajah sedihnya dan menduga yang tidak-tidak.

Sedangkan Nathan, ia masih tak mengerti harus bertindak bagaimana. Tak mungkin ia pergi begitu saja atau bahkan berpamitan dan membuat dua orang berdebat itu merasa terganggu.

"Aku tidak pernah berniat melakukan seks di sini. Kau jangan berpikir yang tidak-tidak!"

Suara Mike pun mulai meninggi. Wajah Devan yang tak mau sekalipun menatapnya itu membuatnya begitu miris, ia seperti dipandang jijik untuk pertama kalinya. Mike yang masih terfokus untuk Devan itupun beralih ke sosok pria yang berhadapan dengan Devan, pria seumuran Devan.

"Aku sama sekali tidak marah! A-aku tadi hanya ingin izin untuk menginap di tempat temanku ini."

Dan Nathan pun masih belum mengerti dengan permasalahan ke dua orang itu. Pria dengan tampang dewasa itu mulai menatapnya dingin, sedangkan disisi lain Devan yang berhadapan begitu dekat dengannya itu memegang ujung bajunya dengan erat. Pria itu mendongakkan wajah untuk menatapnya, memandang nanar seolah meminta pertolongan.

"Eh? Ya kak, Devan akan menginap ditempat ku, ada tugas yang sudah tenggat waktunya."

"Kau hanya menghindariku kan, Dev!"

Dan Nathan pun bingung setengah mati, ia tak pernah ada disituasi seperti ini. Ia yang biasa jadi tokoh utama dalam setiap pertengkaran, ia tak yakin bagaimana harus bereaksi sebagai seorang tokoh cadangan.

"Tidak! Memangnya kau tidak pernah jadi anak sekolah yang sibuk tugas ya, Mike?!"

Devan pun memberanikan diri untuk membalikkan tubuh dan menatap wajah dingin Mike. Setengah mati ia menahan air mata yang sudah sangat ingin mengalir deras itu.

"Tak ada alasan ku marah untuk kejadian ini, kan? Aku harus segera pergi, kasihan temanku yang lain sudah menunggu."

"Dev!"

Devan melambaikan tangan ke arah Mike. Ia berusaha menampilkan wajah cerianya. Menarik lengan Nathan dan menyusuri langkah yang sudah dilewatinya beberapa saat lalu. Hoodie merah tua milik Mike itu pun dialihkan ke Nathan.

"Itu bersih dan ku kira akan muat di tubuhmu."

Nathan pun langsung mengenakannya. Ukuran yang pas, dan saat pandangannya beralih ke tubuh pendek di sebelahnya yang mengenakan jaketnya itu seperti begitu kebesaran.

"Pasti jaket ini milik kakakmu tadi, kan?"

Hening. Devan sama sekali tak menyahutinya. Devan masih melangkah dengan pikiran yang begitu memenuhinya. Mendapatkan kesialan bertubi-tubi, pria yang bernama Bian yang mengurungnya di gudang dan Mike yang menyakitinya tanpa bekas. Melihat tubuh dewasa yang berpelukan dengan kondisi pakaian yang begitu terbuka, Devan tak bodoh untuk menebak kejadian selanjutnya.

"Terimakasih sekali lagi."

Lengan Devan pun terulur ke Nathan. Pria dengan hoodie merahnya itu pun memandang Devan dengan dahi berkerut dalam.

"Sumpah! Aku sama sekali tak memahami keadaan tadi. Pria yang kau hindari itu kakakmu, kan? Atau jangan-jangan itu malah kekasihmu?"

"Aku tak ingin menjelaskan sesuatu yang tak perlu kau tau, kan!"

Devan pun langsung menarik tasnya yang ada di genggaman Nathan.

"Hei! Kau akan kemana? Ingat, jangan sampai kau besok bolos! Karena aku akan menagih jasaku hari ini."

Dan tanpa tujuan yang diketahui, kedua orang itu lagi-lagi berada di posisi yang sama. Menyusuri malam yang semakin larut dengan meninggalkan kefrustasian yang dialami pria dewasa itu.

"Kenapa aku begitu merasa sakit melihat penolakan Devan untukku?" batin Mike lantas mengacak rambut penuh peluhnya.

avataravatar
Next chapter