9 "Bukan tanggapan seperti ini yang kuinginkan."

"Bye, Daddy!"

"Sebentar-sebentar, kau serius akan memanggilku seperti itu?"

Mike mencekal lengan Devan yang berniat membuka pintu mobil. Rautnya mengernyit dengan memandang penuh selidik ke pria remaja yang masih melebarkan senyum seolah mengejeknya.

"Jika aku bicara, sebisa mungkin itu akan kulakukan. Heheh..."

Mike yang mendengarnya hanya bisa berdecik lidah, sejujurnya ia merasa sedikit tersingggung karena panggilan itu seolah mengoloknya berwajah tua.

"Hah! Terserah kaulah anak kecil. Oh ya... Aku akan menjemput di waktu dan tempat yang sama. Eitz! Jangan ada bantahan, jika aku bicara, sebisa mungkin akan kulakukan."

Devan yang berniat menyela pun hanya bisa menganga tanpa kata. Devan ingin sekali mengomel karena pria dewasa itu membalikkan kata-kata padanya. Mike yang melihat itu pun langsung mengatupkan mulut Devan dengan menekan kepala serta dagu bersamaan. Acakan rambut menjadi salam perpisahan dan Mike langsung mendorong pelan bahunya untuk menjauh.

"Cepat turun!"

Melangkah dengan suasana hati riang, Devan sesekali menolehkan wajah ke mobil Mike yang hendak tancap gas menjauh dari posisinya. Menahan senyum saat Mike masih bisa menampakkan lengannya dan melambai. Depan gerbang yang selalu ramai dengan para murid itupun menjadi pengingatnya untuk tak terlalu tersenyum terlalu lebar jika dalam posisi seorang diri. Ia hanya tak ingin dianggap orang gila.

Hari senin, pakaian dari seluruh siswa diwajibkan rapi dan beratribut lengkap. Topi, ikat pinggang, serta dasi yang harus ditarik kencang mencapai batas leher. Beberapa siswa yang menjabat osis pun ikut membantu menertibkan setiap siswa di gerbang masuk kedua. Antrian cukup padat untuk menanti giliran pengecekan. Suasana begitu ramai dengan banyaknya suara yang keluar. Beberapa percakapan memasuki telinganya, Devan merasa miris saat dua orang dari depan dan belakangnya nampak sibuk berbicara. Posisi Devan yang ada ditengah- tengah pria yang sedang berhadapan itu membuatnya begitu canggung. Devan begitu pendek, dan kejadian ini begitu terasa memalukan hingga membuatnya berniat menyusup untuk menjauh.

Devan melangkah pelan berniat tak ingin disadari oleh siapapun. Menjangkah ke samping berusaha menempati barisan disebelahnya hingga sebuah dorongan membuatnya limbung dan berakhir di pegangan tangan seseorang pria.

"Huh! Hampir saja aku terjatuh, terimakas- ih!"

"Minggir sana!"

Hempasan tangan membuat tumpuan berdiri Devan sedikit tak stabil. Berniat mengucapkan terimakasih dengan kepala mendongak menatap sosok yang ternyata tak asing. Devan segera menjauh dan menatap pria yang beberapa hari lalu menggertaknya di toilet. Dengan tampilan rapi serta atribut lengkap cukup membuat Devan ternganga. Sosok yang menurut rumor adalah seorang siswa berandal yang tak tau aturan.

"Ayo cepat! Rapikan barisan!"

Semua siswa yang sudah memenuhi syarat langsung beriringan memasuki lapangan dan bersiap mengikuti upacara. Devan yang secara kebetulan berada di baris sebelah siswa berandal itu pun merasa terheran-heran dengan pria di samping kanannya itu.

Devan tak yakin jika orang yang kini mengangkat tangan untuk hormat kepada inspektur upacara adalah orang yang sama dengan pria yang mengunci pergerakannya waktu itu. Wajah pria yang diketahuinya bernama Nathan itu nampak diam dengan berdiri tegak.

"Nama saya Andres Aditama. Saya adalah pemilik serta ketua yayasan dari sekolah kita tercinta ini. Perlu diketahui bahwa....."

"Ssttstt! Devan! Ssttst!"

Devan sedikit tersentak kaget. Suasana yang cukup hening dengan inspektur upacara melakukan pembicaraannya di depan, membuat Devan cukup mendengar beberapa suara memanggilnya. Menolehkan kepala dan mengedarkan pandangan hingga ia menemukan kawan-kawannya yang sedang melambaikan tangan. Mereka tersenyum lebar kearahnya yang mulai mendapat panas matahari. Devan jadi iri dengan para siswa yang menempati posisi paling belakang dengan pohon besar yang meneduhkan, sedangkan dirinya?

Colekan tangan membuat atensinya teralih. Devan yang awalnya menolehkan kepala ke belakang kini teralih ke sosok yang memanggilnya dari samping. Mata bulat Devan beberapa kali mengerjap bingung. Suasana yang terasa hening saat mendengar beberapa petuah yang awalnya terdengar cukup keras dengan speaker itu seolah sudah tak terdengar lagi di telinga Devan.

Seekor hewan kecil berwarna putih begitu dekat dengan penglihatannya. Mulut kecil yang hanya menampilkan beberapa gigi depan dan mengeluarkan satu kata, "Citt-ciitt!"

"Huaa.... Tikus... !"

Devan yang berteriak takut saat menyadari seekor tikus tepat di depan wajahnya itu membuat seluruh siswa yang mendengar ikut berjingkrak ketakutan. Ratusan siswa yang awalnya berbaris rapi kini sudah berantakan dengan berlari dan berteriak tak tentu arah.

"Semua harap tenang! Tidak ada satu pun tikus di sekolah ini."

"Harap tenang!"

"Diam! Bagi siswa yang memulai keributan harap maju kedepan dan mempertanggung jawabkan kelakuannya!"

Devan sudah bergetar ketakutan. Jelas sekali ia tak bersalah, pria berandal itu yang harus bertanggung jawab. Devan menolehkan pandangan ke tempat pria itu berada, kosong!

"Shit!"

Dan disinilah Devan berada, ruang kepala sekolah yang sudah pernah dimasukinya saat awal ia masuk kesekolah ini. Pria itu tak menyangka jika ia akan masuk lagi keruangan ini dengan rasa ketakutan yang parah. Beberapa pasang mata menatapnya berang. Devan merasa ia dalam masalah serius sekarang.

"Devandra Axelandria XI Ipa 1 yang merupakan siswa baru. Membuat keributan saat ketua yayasan sedang memberikan beberapa kata perkenalan dan petuahnya. Terbilang cukup lancang hingga saya ingin sekali memberikan kartu merah kalau saja kamu bukan salah satu anak yang direkomendasi oleh kenalan saya."

Devan sedari tadi tak bisa bernafas dengan tenang. Tangannya saling meremat dengan posisi tubuh membungkuk. Sofa yang terlihat empuk itu terasa begitu menusuk pantatnya kala tiga orang paruh baya terlihat mengintimidasinya.

"Sudahlah, gung! Kulihat dia bukan termasuk siswa badung, kau tak perlu serius dengan menskornya."

Devan sedikit berani mengangkat kepalanya. Bunyi belaan dari pria yang telah melepaskan jas hitamnya itu sedikit membuat Devan percaya diri dengan hukuman yang sedikit lebih ringan.

"Dia sudah bertingkah tak sopan dengan menyebabkan kekacauan di hari perkenalan mu, dres!"

"Jangan terlalu serius jadi orang! Lagipula aku tak mempermasalahkannya."

"Hah! Kalau itu maumu, tapi kau tak bisa menghentikanku untuk tetap menghukumnya."

Devan mengucek wajahnya dengan punggung tangan saat tetesan keringat begitu mengganggunya. Teriknya sinar matahari ditambah tubuhnya yang begitu pegal saat harus menyapu taman dengan banyaknya dedaunan kering yang rontok akibat angin yang bertiup kencang. Devan masih cukup beruntung kala pria paruh baya yang baru diketahuinya sebagai pemilik yayasan itu membelanya. Menyapu taman yang terbilang cukup luas yang terletak di samping kiri bangunan cukup membuatnya bersyukur dibandingkan jika Mike tau kejadian ini.

"Sepertinya dia memang sedang mengincarku untuk dijadikan target bullyan."

Devan begitu merasa jengkel saat mengingat wajah sok mendominasi itu. Ia tak meladeni Nathan bukan karena takut, Devan hanya tak ingin berurusan dengan orang tak penting, itu saja.

"Aduch!"

"Kalau nyapu harus yang bersih. Nih lagi!"

Devan menyesal karena sempat memikirkan makhluk astral yang kini malah hadir mengganggunya. Lemparan kulit rambutan yang berasal dari atas pohon membuatnya mendongakkan kepala.

"Aku tau kau tak suka denganku karena alasan yang aku sama sekali tak tau. Tapi bisakah kau tak mengganguku? Aku ingin sekolah dengan tenang. Kalau perlu aku akan meminta maaf secara berulang kali sampai kau tak ada lagi niat untuk mengusikku."

Devan hampir saja berteriak cemas kala Nathan langsung turun dari pohon rambutan dengan hanya melompat ringan. Hembusan angin kala pria itu meluncur kebawah membuat sapu lidi dengan ganggang panjang yang dipegangnya sampai terjatuh. Pria yang nampak menatapnya dengan menunduk itu seperti menghipnotisnya dengan mengejar- ngejar matanya untuk saling berhadapan.

"Kau tipe orang yang suka berbicara panjang lebar seperti ini, ya? Perlu kau ketahui, bukan tanggapan seperti ini yang kuinginkan darimu."

Devan berupaya meredam emosinya, bisikan dengan penuh penekanan serta tepukan di bahu seolah menyadarkannya jika pria itu memang layaknya iblis sekolah. Pandangannya bertemu tatap untuk kedua kalinya, gambar api yang seolah terpancar di mata begitu melambangkan jika pria itu memang berhawa panas.

Gangguan kedua dari iblis sekolah, Devan tak yakin akan tetap bersabar jika ada yang ketiga kalinya!

avataravatar
Next chapter