17 "Ayo Dev, ingat-ingat kebaikan Mike!"

Untuk pertama kali dalam kehidupannya, Devan mulai berpikir keras soal cinta. Menyambut atau menolak mentah-mentah adalah hak dari setiap hati yang dihinggapi serangan yang begitu membius hati itu. Devan memang dalam kebimbangannya sekarang, logika dan kehendak seperti punya keinginan dan menggiringnya pada dua pilihan yang sangat bertolak belakang.

Ia sadar jika semuanya tak seperti bayangan indahnya dalam meracik ilusi indah. Kenyataan memang terlihat begitu tak masuk akal untuk cinta sepertinya. Jika dulu Devan akan tersipu malu dengan kata-kata kulikan dari pria masa lalunya itu, maka sekarang ia membodohkan diri sendiri jika mengingatnya. Cinta sepertinya tak semudah puisi bertema roman dengan bayangan penyair yang mengarahkan pada cinta lawan jenis, cinta sepertinya jelas berbeda.

Jatuh hati dengan perasaan tepat dan akan berbalas dengan singkat, tidak... cinta tak sesepele itu. Layaknya tafsiran cinta dari remaja bau kencur, saat cinta begitu mudah dipermainkan. Dekat dan akan berjarak sangat jauh jika sudah bosan, remaja labil seperti itu selalu bersiklus yang sama. Dan Devan meyakinkan diri jika ia bukan orang yang akan dengan mudah mengumpan perhatian hingga berbuah perasaan. Meski disudut kecil logikanya sempat mengumpat, ia diposisi itu sekarang. Ia dalam posisi yang sama dengan remaja kebanyakan yang begitu cepat mendatangkan cinta.

Memang cinta bisa datang dengan cepat dan sempurna? Hanya rasa tertarik atau bahkan lebih parah, karena hati yang sedang sepi, mungkin! Lantas, rasa apa yang dimiliki untuk Mike?!

Rembulan malam yang saat ini membulat dengan sinar yang begitu terang, ingatan Devan pun secara tiba-tiba membawanya ke rasa yang di milikinya di masa lalu. Jelas itu memang cinta, ia masih begitu merasakan sakit saat pengkhianatan jelas didepannya. Waktu itu memang mereka sempat mendeklarasikan saling cinta dan menciptakan beberapa momen romantis yang dibuat secara nyata.

Sedangkan rasanya saat ini seperti melihat dua sisi ruangan dengan sisi gelap dan terang, saat tirai menjadi pemisah diantaranya dan akan hanya menciptakan bayangan dari sudut pandang lain. Seperti menatap gumpalan hitam tanpa tampak yang sebenarnya, hanya seperti menerka-nerka. Rasa yang hadir untuk Mike seperti masih semu, meski Devan tak bisa mengesampingkan rasa cemburu saat melihat kejadian beberapa saat lalu.

" Jangan buat hariku berat dengan hadirnya perasaan tak jelas untuk malaikat penyelamatku itu, Tuhan!" jerit hati Devan memohon dengan sangat. Ia memang seperti menjadi tak tau diri dengan menyambut uluran tangan baik Mike dengan perasaannya yang mulai terbawa.

"Woi!"

"Woi!"

Berdecih kesal, Nathan akhirnya pun menggoyang-goyangkan setirnya hingga menyentak tubuh diam dibelakangnya itu. Reflek cekalan lengan Devan dikedua sisi pinggangnya itu sedikit membuatnya merasakan sengatan aliran listrik ringan, sedikit mengejutkannya juga.

"Nath! Menyetir dengan hati-hati!"

"Angin malam yang membuat pendengaran mu terganggu atau memang telingamu itu sudah berkurang fungsi? Berapa kali panggilan ku lakukan, kau masih saja menampakkan wajah diam."

"Ya, maaf! Memang kenapa?"

Devan pun sedikit memajukan wajahnya karena ingin jelas mendengar Nathan. Ia tak ingin terkena omelan dari pria yang saat ini ia mintai bantuan. Sedangkan Nathan yang merasakan hembusan nafas yang begitu terasa menyapu telinganya itu langsung memajukan kepalanya menjauh, telinga adalah area sensitifnya.

"Jangan dekatkan wajahmu ke arahku!"

"Maaf."

Devan berucap lirih. Prasangka buruk itu membuatnya malu setengah mati, apakah mulutnya bau?

Meniup udara ke telapak tangan, Devan pun langsung mengerutkan hidung saat mencoba mengendusnya. Ini memang bau, penyebab mulutnya yang begitu kering karena telatnya asupan makanan menjadi penyebab.

"Awalnya aku ingin berbaik hati dengan membawamu mampir ke warung makan langganan ku. Tapi ku lihat kau sepertinya asik dengan lamunanmu sendiri, jadi ku batalkan saja niat baikku itu."

Devan yang mendengar itu pun hanya bisa mengelus dada. Perutnya yang mengidamkan sesuatu untuk bisa mengganjalnya itu seketika hilang harapan.

Berkendara selama hampir tiga puluh menit, akhirnya motor gede Nathan berbelok ke pagar besi hitam besar itu.

Devan sempat ternganga dengan pagar yang langsung terbuka otomatis saat motor Nathan semakin dekat.

Dan masih belum sampai disitu keterkejutannya, halaman yang begitu luas dengan banyaknya tanaman hijau yang menghiasi. Air mancur yang cukup tinggi hingga penampakan rumah tingkat tiga yang nampak seperti istana dengan cat dominan putih.

Devan memang dari keluarga yang juga cukup berada, tapi jika dibandingkan dengan kekayaan dari pemilik rumah megah ini seperti tidak ada apa-apanya.

"Kau bisa tidur disitu. Sebenarnya ada banyak kamar tamu... tapi sayang, kau kan bukan tamu."

Dan Devan pun hanya mengangguk-angguk ceria. Itu jauh lebih baik dari pada harus satu lingkup dengan Mike yang dalam mode liar dengan wanitanya.

"Cukup Devan, cukup! Ayo pejamkan matamu, jangan berkhayal yang tidak-tidak tentang kegiatan dewasa Mike! Ayo lupakan, bukankah kau tak banyak berharap padanya?!"

Pikiran Devan berusaha mensugesti tubuhnya untuk tidur. Sofa besar untuk tubuh kecilnya itu cukup nyaman ditempati. Apalagi dengan bantal empuk dan selimut tebal yang dengan ketus dilemparkan Nathan padanya tadi.

"Ayo Dev, ingat-ingat kebaikan Mike! Kau tak mungkin membalasnya dengan rasa konyol, kan?"

Pergulatan pikirannya itu membuat Devan berbaring tak nyaman. Ia terus mencari posisi terbaik, terlentang, tengkurap, hadap kanan, hadap kiri itu seperti tak membantunya. Pikirannya terus saja mengingatkannya tentang tindakan bodoh yang dilakukannya tadi. Bersikap menghindar dengan tampang sedih, bukankah itu jelas terlihat? Bagaimana jika Mike menyadarinya?

"Kau bisa diam tidak sih?!"

Kruyuk

"Maaf."

Nathan yang begitu mendengar jelas bunyi kelaparan itu pun segera bangkit dari pembaringannya. Pria dengan kaos putih dan celana training panjang itu kini mendekat kearahnya. Devan sontak mendudukkan diri.

"Jika lapar kau bisa ke dapur, cepat!"

Saat langkah Nathan beralih pergi menuju pintu, maka cepat-cepat Devan menyadarkan diri dan berlari mengikuti pria di depannya itu. Rasa gengsi seolah terkubur saat perutnya terasa begitu melilit.

"Hei! Mau kemana, kau? Disini!"

Dan Devan pun sempat memerah malu saat kakinya malah menggiringnya kearah tangga. Devan sedikit tak berkonsentrasi dan malah mengikuti anggapannya jika dapur pasti ada di lantai dasar dan terletak di paling belakang.

Setelah berjalan lurus dari arah pintu kamar Nathan dan melewati letak tangga, Nathan pun menggiringnya ke sebuah sudut berlawanan dengan adanya meja yang begitu besar di tengah ruangan. Lampu yang dinyalakan dengan terang semakin membuat Devan terkagum-kagum dengan keseluruhan tatanannya. Ini seperti area terbuka dengan banyak fungsi. Meja billiard dan tempat bermain game dengan sofa multifungsi, dan yang begitu membuat Devan terkagum-kagum adalah adanya beberapa peralatan memasak dan kulkas di sisi sebelahnya. Ini seperti lantai tiga pribadi milik Nathan.

"Buat makananmu dengan porsi lebih, aku juga lapar."

Devan tersenyum singkat kearah Nathan yang membelakanginya. Pria yang terfokus ke layar datar seolah tak mempedulikannya.

Membuat dua porsi spaghetti dengan beberapa tambahan bahan yang ditemukannya di kulkas. Dan menyantapnya pelan setelahnya, tempat yang begitu indah serta begitu senyap sepi membuat Devan sedikit meredakan perasaan cemburunya untuk Mike, meski ia sendiri sedikit bimbang dengan kadar rasa sukanya untuk pria bertatto itu.

avataravatar
Next chapter