15 "Aku takut, aku sangat takut!"

Devan tak bisa menyembunyikan raut bahagianya kali ini. Semenjak matanya terbuka dan melihat tanggal yang sudah berganti, ia tak habis mengulas senyum dan merasa bersyukur karena hubungannya dengan Mike yang seperti lebih erat.

Sudah hampir tiga bulan, dan Devan seperti sudah tertawan dengan segala sikap baik pria itu. Ia tak berharap rasa sukanya akan terbalas, setidaknya bisa merasakan kenyamanan dari setiap kebersamaan mereka itu saja sudah cukup.

Devan memang masih mengenal Mike di permukaannya saja. Ia hanya tau jika Mike pria bertatto yang menjalani hidupnya dengan penuh kebebasan. Sikapnya yang baik walau Devan tak mengetahui kehidupan malam Mike akan seliar apa.

Setelah kemarin Devan diculik paksa oleh Mike, pria itu seolah menguras habis isi dompetnya dengan membelanjakan segala macam kebutuhan Devan. Menyabet beberapa gantungan baju tanpa mempedulikan protesannya.

"Jangan pakai sampo dan sabun ku lagi! Aromanya tak cocok untukmu."

Aroma stoberi seketika menyeruak kala Devan membalur tubuhnya dengan cairan kental itu. Mike yang langsung membeli beberapa botol untuknya tak bisa lagi ia tolak, Devan memang begitu menyukai aroma menyegarkan dari buah itu.

Kakinya yang kemarin sempat sakit dan pegal-pegal, kini sudah lebih baik. Mike mengajaknya ke salon spa yang ada di mall. Mike benar-benar memanjakannya, kemarin.

Hari selasa pagi membawanya ke sekolah. Bertemu dengan kawan-kawan yang langsung mengintrogasinya.

"Dev! Kau tak apa kan? Kemarin tumben sekali kau bolos," tanya Reno pada Devan. Pria mungil itu langsung menyambar tempat duduk Fandy dan menepuk-nepuk bahunya seperti mengecek keadaan. Dan Devan yang mendapat perhatian dari kawan-kawannya itu tersenyum senang. Meski ia sedikit kesal, bukankah kemarin Mike akan mengizinkannya?

"Hehee... Lupa izin, kemarin soalnya a- ada kepentingan keluarga."

"Baguslah, ku pikir kau dikerjai lagi dengan Nathan. Soalnya kemarin tiba-tiba dia ke kelas kita dengan wajah yang marah gitu!" sahut Fandy yang duduk di mejanya.

"Iya! Kita khawatir denganmu, kemarin. Ingin menghubungimu pun tak bisa, kau tidak punya ponsel," ucapan Fandy di lanjut Rifky. Devan yang mendengar kabar dari mereka itu pun mengerutkan dahi, bagaimana bisa Nathan menampilkan wajah marah jika pada kenyataannya Devanlah yang selalu dijahili?

"Kita lupain soal Nathan saja! Lagipula kalau semakin ditanggapi, setan yang ada di diri Nathan jadi kegirangan, kan?!"

"Hahah.... Bisa saja kau, Dev!"

"Sial! Aku ingin terbahak, tapi bagaimana kalau tiba-tiba Nathan muncul dan-"

"Apa sih, Ren? nggak usah takut tanpa alasan, deh! Lagipula kelas dia itu ada di lantai bawah," ucap Rifky.

"Oh ya, minggu kemarin aku nggak bisa datang buat kerja kelompok, maaf ya!"

Perbincangan mereka di pagi hari itu pun terus berlanjut sampai bel masuk berbunyi. Mendengarkan penjelasan materi baru dengan keadaan kelas yang kondusif.

Detik terus berlari menyesuaikan matahari yang mulai meredupkan sedikit teriknya. Devan berjalan dengan beberapa tumpukan buku kearah perpustakaan yang ada di lantai tiga. Menyelesaikan hukuman dengan merangkum beberapa materi yang kemarin sempat tertinggal karena ketidak hadirannya.

Derap langkahnya terasa begitu sunyi saat seluruh koridor tak ada yang mengisi, maklum kegiatan belajar mengajar masih berlanjut.

"Hei!"

Devan yang merasa terpanggil itu pun menolehkan pandangannya ke asal suara. Sosok pria yang terlihat begitu manis itu pun berjalan pelan kearahnya.

Devan sedikit tak yakin jika pria itu memanggilnya, dengan pandangan yang menatapnya tajam dan terlihat tak bersahabat.

"Kau memanggilku?"

"Kau pikir? Memangnya di sepanjang jalan ini ada orang lain?!"

Devan yang mendengar nada ketus itu pun sedikit heran. Setelah ia menanggapi dengan baik, yang ada malah pria yang menghambat jalannya itu bicara kasar. Ingin sekali Devan pergi tanpa mempedulikan pria yang bersendekap itu, tapi jiwa baiknya masih saja lebih besar.

"Ehem! Ya, ada perlu apa?"

"Heh! Tidak, hanya ingin menyapa anak baru. Kau Devan, kan?"

Devan pun hanya mengangguk singkat. Pria dihadapannya ini seperti memiliki aura yang sama dengan Nathan, suka mengintimidasi.

"Ya. Kalau begitu aku pergi dulu, ada tugas yang harus ku selesaikan."

Devan yang berniat melanjutkan langkahnya itu seketika tertahan. Pria dengan kulit yang terasa begitu mulus saat memegang lengannya itu berhasil membuat Devan jengkel.

"Ada apa?"

"Ingin ke perpustakaan? Tapi arah jalanmu salah."

"Benarkah? Tapi aku sudah pernah ke sana dan aku begitu mengingat tempatnya."

"Anak baru harusnya bisa lebih mendengar tentang segala informasi yang ada di sekolahnya kan? Jangan bilang kau tak tau, jika kemarin ada pengumuman tentang pindah tempat sementara karena akan ada renovasi?"

Devan yang mendengar penjelasan itu sedikit tak percaya. Jika itu memang benar terjadi, kenapa tak ada satu pun kawannya yang memberi tau?

"Ada di tempat paling ujung sana."

Pria itu pun menunjuk arah yang berlawanan dengan tujuan awalnya. "Aku Bian, sebagai tanda perkenalan, mari ku antar!"

Dan Devan akhirnya mengikuti jalan pria di sampingnya itu. Berjalan dengan sedikit terburu-buru, karena jam pulang akan segera tiba. Devan tak ingin jika nanti Mike menunggunya terlalu lama.

"Bian! Disitu ya, tempatnya?"

Pria itu hanya menyahutinya dengan anggukan pelan. Senyum tipis pun secara suka rela ditunjukkan untuk kenalan barunya itu.

"Kalau begitu aku pergi sendiri saja. Terimakasih, ya!"

Devan pun sedikit berlari mencapai ujung bangunan sayap kiri itu. Merangkul beberapa buku kearah dekapannya. Mengatur nafas yang sedikit menderu, ia akhirnya sampai didepan tempat yang dituju.

"Ayo Devan, semangat kerjain tugas!"

Lengan Devan menjulur membuka handle pintu ganda di depannya. Melangkah dengan kaki kiri yang mendahului. Secercah cahaya yang masuk dari arah belakangnya itu menampilkan pemandangan yang jauh berbeda dari bayangannya.

Ruangan yang penuh dengan tumpukan bangku yang rusak. Aroma pengap pun sampai menyumbat penciumannya di awal ruangan itu tersapu angin. Sarang laba-laba yang memenuhi langit-langit ruangan itu. Ini jelas adalah gudang, pria itu memang berniat mengerjainya.

"Akhh...!"

Sebelum sempat Devan membalikkan badan dan melangkah pergi. Tubuhnya seketika terjerembab akibat dorongan di tubuhnya yang begitu kuat.

Clek

"Hei!"

Bunyi kunci yang diputar membuat Devan cepat-cepat berdiri. Lengannya menggedor pintu tua itu dan sesekali melirik ke sekitar dengan pandangan takut.

"Tolong! Buka pintunya!"

"Tolong! Bian...!"

Devan masih terus berteriak, tenggorokannya sampai begitu kering. Ruangan yang begitu gelap dan sempit dengan banyaknya barang-barang membuat keberanian Devan seketika menciut. Ia tak mungkin keluar lewat jalan lain kecuali pintu. Seluruh jendela yang ada, sudah ditutup dengan kayu yang terpaku menyilang.

"Tolong!"

Waktu semakin cepat berlalu, harapannya terhadap Mike yang akan datang dan mendobrak pintu terkunci itu seperti kecil kemungkinan, ini sudah terlalu lama.

"Tolong! Hiks-hiks...!"

Dan lagi-lagi Devan menangis tersedu-sedu. Ia duduk di lantai dengan kepalanya yang bersembunyi diantara kakinya yang tertekuk. Ia tak mempedulikan beberapa bukunya yang jatuh berserak, ruangan itu begitu gelap hingga Devan tak bisa melihat apa pun.

Cit cittt ciitt

"Huaa!!!"

Devan langsung berdiri dan mengibaskan tubuhnya yang sempat di sentuh oleh tikus. Ia bingung setengah mati, tak mungkin ia menginap semalaman dengan ruangan yang banyak tikusnya itu. Tubuhnya bahkan sampai lemas, jantungnya sedari tadi terus berdebar dengan cepat, keringat dingin membasahi tubuhnya.

"Tolong! Tolong! Tolong!"

Dan Devan pun berjingkrak-jingkrak ngeri saat suara hewan menjijikkan itu terdengar semakin banyak dan bersahutan. Devan tak sedikit pun menyerah, kedua lengannya masih menggedor pintu itu dengan tangis tersedu-sedu. Ia begitu takut gelap dan ditambah dengan kehadiran tikus itu seolah melengkapi penderitaannya.

"Tolong! Huaaa...!"

Devan yang merasa adanya hewan yang merayap di lengannya itu seketika memundurkan langkah dengan panik. Ia sudah mencapai ketakutan level puncak itu pun terjerembab dengan tubuh tersungkur ke belakang. Ia semakin menangis tersedu saat ketakutan dan rasa sakit di punggungnya yang membentur meja.

"Tolong!" jerit Devan sekuat mungkin.

Brak

"Kau tak apa?"

Devan yang melihat seorang pria yang membelakangi sinar lampu itu dengan pandangan terharu. Tubuhnya seketika berlari dan menjatuhkan tubuhnya ke dekapan pria yang memakai jaket hitam.

"Hiks-hiks... Aku takut, aku sangat takut!"

avataravatar
Next chapter