42 "Acara apa ini?"

"Acara apa ini?" tanya seseorang yang memandang sekitarnya dengan takjub. Langkahnya sampai harus meragu karena rasa kurang percaya diri atas kekalahan telak dari anggapannya sendiri terhadap tubuh-tubuh jenjang dengan lenggok yakinnya. Kain yang membalut tubuh merah, putih, hitam, ungu, biru, banyak warna berseliweran di pandang sang remaja. Namun dibalik semua itu, warna merah menyala dengan pandangan yang redup begitu mendominasi semua.

Dekor ruangan besar yang begitu nampak elegan dan mewah secara bersamaan. Deretan meja bundar yang tersebar di beberapa sudut dengan dilengkapi hidangan serta minuman digelas tinggi. Bunga yang dirangkai dengan begitu rapi diletakkan di vas besar yang menambah detail cantik tempat itu. Sekali lagi, pandangan remaja pria itu meliar hingga ia terpaku pada panggung yang cukup besar dengan karpet hitam yang menutupi. Berderet-deret kursi pun mengelilinginya mulai dari sisi kanan, kiri, maupun yang berhadapan langsung. Bukankah ini seperti tatanan untuk peragaan busana? Tapi menurut Devan, panggung itu terlihat kebesaran, di drama yang pernah ia tonton tak seperti itu!

"Hei, maid! Jangan norak!" peringat Nathan yang secara reflek menarik lengan Devan, remaja mungil itu hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa banyak minuman, bisa gawat kalau Nathan tak lekas mencegat. Ratusan pasang mata pasti akan menghujat mereka dengan tatapan nyalangnya.

Lengan kuat Nathan pun mencengkram milik Devan dengan tak kira-kira. Mata yang secara singkat berpandang, hingga si pemilik raut ketus itu menghempas kasar cekalannya dengan mata melirik tajam. Dan Devan yang diperlakukan seperti itu pun menjadi kesal bukan main, banyak sekali tatapan sekitar yang menatap Devan kasihan. "Sial! Rencana apa yang sedang disusun Nathan dengan hadir di pesta seperti ini? Kalau saja ia tak tergiur tawaran lepas sementara!" batin Devan baru merasa sesal.

Ya, itu adalah Devan. Remaja itu menuruti perintah Nathan yang menawarkan suatu pertukaran. Bermula dari Devan yang bosan seorang diri di rumah hingga memutuskan untuk menggoreng telur mata sapi sebagai camilan. Melahapnya pelan dengan baluran kecap cukup untuk menemaninya melihat layar drama percintaan yang digemari. Mike yang pergi sejak beberapa menit lalu, cukup membuatnya kesepian.

Hingga pukul sembilan tepat saat ia memasuki kamar, ponsel Nathan yang ada padanya bergetar dan membuat Devan buru-buru mengangkatnya, dua puluh panggilan masuk yang gagal. "Sial! Nathan pasti akan mengomelinya habis-habisan!" batin Devan yang seketika nelangsa.

"Kau kemana saja, kalau punya ponsel itu sesekali dilihat! Kalau suka lupa atau pun teledor, kalungkan saja ponsel itu di lehermu!" sederet ucapan bernada ketus itu adalah kalimat pertama kali di perdengarkan bahkan sebelum Devan sempat menyapa. Suara yang tertahan diujung lidah membuat Devan hanya bisa menghela nafas panjang, Nathan tak beradab!

"Ya, maaf... Ada apa Nath?" jawab Devan berusaha berucap sebaik mungkin. Devan tau jika Nathan tak suka dibantah, oleh karena itu Devan hanya mengiyakan dari pada berakhir debat panjang.

"Mau cuti dari kejahilanku?" ucapan Nathan membuat Devan mengernyitkan dahi. Pria dengan pakaian santainya itu pun sampai harus menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal, itu kebiasaannya sewaktu kebingungan. Ini benar Nathan, kan?

"Apa syaratnya?" balas Devan setelah beberapa saat terdiam. Ia ingin sedikit mempercayai ucapan Nathan meski itu sedikit meragukan.

"Ikut aku!"

"Kemana?" tanya Devan sedikit ragu. Mike memang tak ada di rumah, tapi apakah dengan itu bisa membuatnya keluar-masuk rumah tanpa izin? Meski ia cukup tau diri dengan hubungan yang masih asing, tapi Devan juga tak bisa mengesampingkan kesempatan untuk hidup tenang tanpa gangguan Nathan walau itu sejenak.

"Jadi kau setuju?"

"Kalau ini bisa membuatmu menjauh dari ku walau hanya beberapa saat, aku bersedia!" timpal Devan dengan yakin. Ya, soal Mike... mungkin Devan akan memberitahu saat mereka bertemu nanti? Izin belakangan?

"Kalau begitu, buka pintu untukku!"

"Kau ada disini?"

"Cepat! Kakiku sudah pegal berdiri," ucap Nathan lantas membuat Devan berlari cepat dengan menghempaskan ponsel ke ranjang.

Membuka pintu dengan terburu-buru hingga pandangannya dibuat terbelalak karena tampilan Nathan di depannya. Napas remaja itu masih memburu dengan mulut terbuka membantu mengumpulkan oksigen, Devan memang lemah fisik apalagi jika diperbandingkan dengan remaja lain.

Nathan yang berdandan begitu rapi berbalut setelan jas mahal berwarna hitam dengan detail kecil warna merah maroon. Rambut tersisir rapi dengan kilapan gel rambut beraroma maskulin. Ia sungguh berbeda, sejenak efek remaja badung seperti hilang dari penglihatan Devan.

"Kenapa diam?" sentak Nathan dengan menjentik-jentikkan jari tepat di depan wajah Devan yang terdiam.

"Eh? Ehmm... Tidak, aku hanya heran saja melihatmu," pekik Devan merasa kikuk. Bagaimana bisa ia terdiam melamun dan menatap perbedaan Nathan dengan begitu intens?

"Kau sungguh tak jelas," olok Nathan lantas menggelengkan kepala. "Nih, pakai!" tambah Nathan. Pria itu kemudian melemparkan bungkusan paper bag yang langsung ditangkap Devan dengan memeluknya erat di dada.

"Apa ini?"

"Jas formal, supaya tampilanmu tak kumal," jelas Nathan dengan raut yang menjengkelkan. Devan yang menatapnya pun menjadi gemas, gemas untuk meraup wajah itu dengan cakaran tajamnya! Ya, seperti biasa, itu hanya bisa ada di dalam angan Devan tanpa terealisasi.

Devan pun membalik badan setelah sebelumnya membuka pintu selebar mungkin untuk Nathan masuk. Sebenarnya mempersilahkan tamu untuk memasuki lingkup yang jelas bukan miliknya membuat Devan tak enak hati. Tapi Devan bisa apa, kalau sudah melihat dan mendengar kode keras Nathan yang seolah berteriak keras, "Hei! Mata mu buta atau bagaimana? Aku adalah seorang tamu, cepat persilahkan masuk!"

"Kenapa kau bisa tau ukuran ku?" tanya Devan setelah mengganti pakaian yang diperintah Nathan dengan secepat kilat.

Jas yang sekilas nampak bercorak sangat mirip dengan milik Nathan itu pun dirapikan Devan dengan sangat hati-hati. Ia menarik setiap ujung pakaian supaya sedikit pun tak kusut. Rambutnya yang sedikit berantakan juga sudah disisir rapi, hanya saja tak seklimis milik Nathan, Devan tak punya gel rambut.

"Tidak usah banyak bertanya, mana kakakmu, kau tak izin?" balas Nathan setelah terdiam beberapa saat. Pandangannya yang masih menyusuri tampilan Devan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Nathan tak bermaksud apa-apa... Ia hanya memastikan kelayakan remaja itu untuk setidaknya dikatakan pantas menginjakkan kaki di pesta mewah.

"Dia pergi."

"Ya sudah, ayo!" ajak Nathan sembari bangkit dari tempat duduknya. Langkahnya dituntun untuk mendekat kearah Devan yang masih sibuk membenahi jas yang sudah sangat rapi dikenakan.

"Sudah, kalau tanganmu masih saja terus membuat gerakan tak penting, aku yakin kalau acara akan segera berakhir," tambah Nathan lantas menarik lengan kanan Devan.

Melangkahkan kaki dengan terburu-buru mengimbangi Nathan yang memimpin di depan. Sebuah mobil mewah yang sudah mencegat keduanya di depan lobi apartement, kemudian meluncur dengan kecepatan tak kira-kira membelah jalanan yang masih begitu ramai.

Sepenggal peristiwa yang membawa tubuh remaja mungil dengan tampang polos yang menatap penuh tanya kearah Nathan. Ya, sampai beberapa puluh menit berlalu, Devan masih belum mengetahui acara apa yang tengah dihadirinya itu.

"Hai Nath senang kau datang," sebuah suara memecah keheningan antara Devan dan Nathan. Langkah remaja pria yang melenggang dengan penuh percaya diri seketika menyerang mental Devan, Bian terlihat sangat cantik dan mengagumkan.

Kemeja kebesaran yang begitu tipis hingga membias tubuh kecil nan ramping milik Bian. Rambut yang mencuat berantakan malah semakin mempermanis keseluruhan remaja itu. "Tapi kenapa ada Bian?" pikir Devan.

"Kalau aku tak datang pasti kau akan memarahiku, kan?" balas Nathan. Ya, Devan sudah menjelma menjadi makhluk tak kasat mata di dekat keduanya.

"Jelas aku akan marah padamu, tapi kenapa kau bawa dia?"

Devan yang sedang berusaha memundurkan langkah dengan pelan-pelan seketika tersentak. Pandangannya terangkat hingga bertemu dengan tatapan nyalang dari seorang Bian. Seketika Devan bergetar, berhadapan dengan Bian memang jauh lebih menakutkan ketimbang dengan Nathan.

"Hanya sebagai pelengkap agar aku tak terlihat dungu dengan menatap sekeliling seorang diri," jawaban Nathan membuat Devan mengertakkan gigi, merasa kesal untuk yang kesekian kalinya. "Oh ya, mereka tak akan mendandani mu macam-macam, kan?" tambah Nathan lantas menggerakkan lengannya mengusap bahu ringkih milik Bian.

"Ehmm... Aku juga tak tau. Kalau begitu aku pergi dulu, mereka pasti sedang mencariku," balas Bian dengan wajah yang jelas terlihat merah merona. Devan pun dibuat mengernyitkan dahi karena remaja yang kini sudah berjalan menjauh dengan lambaian tangannya kearah Nathan.

"Heh, dasar!"

Devan yang hanya menjadi pengamat dari percakapan dua sahabat itu pun merasakan keganjalan. Netranya menggiring untuk beralih ke objek lain, Nathan yang sedang tersenyum tipis. Radar dari gay nya seketika menyala, Apakah Bian sama sepertinya?

avataravatar
Next chapter