3 Bab 3

"Kau bisa berdiri?"

Begitulah ucap bayangan hitam itu saat ia memberikan tangannya padaku. Namun aku tak bisa menjawab. Balasanku hanya sebuah isyarat tangan mengelus-elus kaki yang terkilir.

Bayangan itu mendatangiku dan mulai menyentuh kakiku yang kecil dengan tangannya yang hanya berbalut kegelapan. Tangan kanannya memegang jari-jemariku dan tangan kirinya di bagian tumit kakiku. Apa yang akan ia lakukan?

"Rasanya akan sedikit sakit, kau bisa menahannya?"

"Umm, tapi pelan-pelan ya.."

Bayangan itu mendorong kakiku pelan-pelan. Terasa di sekitar sendi-sendi ku mulai terdengar suara menggeletak. Jelas saja, rasanya memang agak sakit atau mungkin cukup sakit bagiku.

Adududuh, sakit!

"Sabarlah sedikit, sebentar lagi sembuh kok."

Setelah ia mendorongnya, ia menarik kembali kakiku hingga terdengar kembali bunyi menggeletak. Satu-satunya yang bisa ku lakukan masih mengaduh kesakitan.

Ini membuatku yakin ketika Mozart pernah membantu seorang prajurit untuk menarik tangannya, apakah seperti ini rasa sakitnya?

Rasanya memang bukan seperti rasa sakit ketika aku jatuh hingga berdarah. Mungkin sekalipun kita mengoleskan obat merah pada lukanya kita masih bisa merasakan perihnya untuk waktu yang cukup lama. Tetapi, rasa sakit ini seperti...bagaimana aku bisa menerangkannya? Ngilu? Atau apa itu. Sebuah sensasi seperti tersetrum. Atau jika kita pernah membentur dinding dengan siku kita secara tidak sengaja, maka begitulah rasa sakitnya. Dan inilah yang ku rasakan.

Namun itu tidak berlangsung lama. Beberapa tulangku yang bergeser telah kembali seperti semula, rasa sakitnya perlahan menghilang dengan sendirinya.

Bayangan itu memberikan tangannya padaku.

"Akan ku bantu kau berdiri."

Aku coba berdiri dengan pelan-pelan, ternyata rasa sakit itu belum hilang sebelumnya. Aku masih bisa merasakan ngilu ketika mencoba berdiri tegak. Bahkan, aku merasa kakiku ini kebas dan tak dapat digerakkan. Sesuai dengan perkataan bayangan itu: "Sepertinya kau baru bisa berjalan lagi esok pagi."

Itu artinya aku terjebak di sini bersamanya...

"Tidak apa-apa. Sampai kau bisa berjalan lagi, aku akan merawatmu. Aku janji, kau akan aman bersamaku..."

Begitulah saat ia mengatakan hal yang lembut padaku. Mengapa aku jadi mengingat Mozart sang pelayan itu? Ia mengatakan hal yang sama seperti bayangan hitam ini seraya memegang pundak kananku dengan tangan lembutnya. Hampir-hampir aku ingin memanggil bayangan itu dengan namanya.

"Moz..."

Sebelum aku mengucapkan nama itu aku segera menggigit lidahku sendiri. Ingatlah ratu lilin, ini bukanlah di istanamu!

Bersyukur ia tak mendengar sama sekali dan hanya melanjutkan

"...jangan lari dariku lagi, izinkan aku bersamamu. Jika tidak, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu dalam hutan ini."

"Ah- iya."

"Terima kasih."

Sekalipun diriku tak dapat melihat wajahnya, ada keyakinan besar di dalam diriku kalau dia sedang tersenyum padaku. Terkadang... Ketika aku mengingat arti kelembutan, cinta, kehangatan, dan kasih sayang... Semuanya berasal dari pelayan setia itu. Iya, dikala kedua orang tuaku tak bisa memberiku kasih sayang yang lebih, Mozart datang dengan semua itu.

Kini aku berada di dalam hutan. Lebih dari sekedar kasih sayang mereka, aku telah kehilangan segalanya. Tidaklah dikira sosok bayangan itu yang ku pikir adalah sosok makhluk jahat, ia menyimpan sejuta kasih sayang yang lebih lembut dari yang pernah ku rasakan.

Sebuah kejahatan untukku karena tiba-tiba lari darinya.

"Apakah kau masih lapar? Kau ingin makan sesuatu?"

...bahkan setelah semua yang ku lakukan padanya, ia masih bisa menawarkan sesuatu padaku dengan nada lembutnya.

Aku malu untuk menjawab pertanyaannya itu, termasuk aku bingung bagaimana menjawabnya.

Jawabku hanya menggelengkan kepala.

"Kau yakin, kau tidak mau makan?"

"Tidak..."

Sang bayangan itu diam sejenak.

"Benar juga, di hutan ini sebenarnya cukup sulit untuk mencari bahan makanan. Terlebih aku tak bisa meninggalkanmu sendirian."

Bayangan itu kembali diam sejenak.

"Apa kau pernah memakan daging rusa?"

"Daging rusa?"

"Iya, rasanya tidak jauh beda dengan daging yang sering kau makan. Kita akan memanggangnya, kau mau membuatnya bersamaku?"

Biasanya di istana aku hanya makan daging ayam, rakun, beef, beacon, juga pork. Ini mungkin kali pertamanya aku akan mencoba memanggang dan memakannya bersama bayangan hitam itu.

Kalau tidak salah, Mozart juga sering bercerita ketika ia menelusuri hutan. Saat perbekalannya telah habis, ia dan kawan-kawannya berburu rusa untuk dimakan bersama. Mereka memasaknya dengan memanggangnya di atas api unggun dengan menggunakan peralatan yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Sebagai pelengkap, mereka juga telah mengumpulkan buah-buahan dan bersyukur mereka masih memiliki sisa sayuran dari semua perbekalan mereka.

Katanya pula, daging rusa memiliki tekstur yang tidak seempuk daging beef, namun rasa gurih dan aroma khasnya bisa langsung tercium saat memanggangnya. Tanpa menambah bumbu apapun, daging rusa sudah terasa nikmat.

Mungkin aku harus mencobanya juga...

"Iya, aku mau!" Jawabku.

Tetapi, apakah ia punya peralatannya?

Ia menaruh kedua tangannya ke belakang punggungnya, seolah-olah di sana ada sebuah tas dan ia ingin mengambil sesuatu di dalamnya. Dan ternyata dugaan ku benar, ia memiliki sebuah tas yang tidak dapat ku lihat dengan mata kecilku.

Saat ia mengambil kembali tangannya, ada kumpulan kayu bakar jatuh di hadapanku.

Itu membuatku terkejut.

"Maafkan aku, kau terkejut ya? Sekalipun semua barang-barangku ikut menjadi Spectre, setidaknya masih bisa digunakan."

-Spectre?

Diapun mengambil barang-barang lainnya dari tasnya itu. Ada pisau, potongan besi, sebuah papan kayu, dan mungkin... semacam tempat untuk memanggang daging rusa tersebut.

Tetapi aku tidak yakin, karena biasanya aku memanggang daging beef ataupun pork dengan menggunakan pemanggang yang berbeda. Bentuknya seperti sebuah wajan besar yang melengkung seperti mangkok. Di dalamnya ada arang yang dibakar untuk memanggang daging tersebut. Setelah apinya mengecil, arang tersebut mengeluarkan asap kemudian ditutup dengan sesuatu yang bulat terbuat dari besi. Sama seperti yang dikeluarkan oleh sang bayangan itu.

Tetapi, besi yang dimilikinya langsung mempunya kaki yang cukup panjang sedangkan yang ku tahu benda itu seharusnya hanya untuk menutup arang di bawahnya dan sebagai tempat dimana daging harus ditaruh. Kalau di istana, justru kakinya terpisah dan biasanya ada sebuah tempat untuk menyanggah atau menaruh wajan tersebut.

Apakah mungkin karena kami menggunakan kayu bakar sebagai pemanggangnya? Jadi besinya juga tetap memiliki fungsi yang sama untuk menaruh daging yang dipanggang?

"Sepertinya semua peralatannya sudah cukup, bisa kau membantuku menyusun kayu bakarnya?"

"Iya."

Akupun menyusun kayu bakar mengikuti arahannya. Tidak butuh waktu lama, kayu bakar itu siap digunakan. Tetapi, bagaimana cara membakarnya? Apakah ia punya pemantik api?

"Menjauhlah sedikit, ini sedikit berbahaya."

Akupun menurut, mundur ke belakang dengan berseret-seret.

Iapun menjulurkan tangannya seraya menunjuk ke arah kayu-kayu itu? Apakah ia akan membakarnya dengan semacam sihir?

[Elemen api: Peluru api!]

Bulatan kecil berwarna merah itu melesat cepat dari ujung telunjuk bayangan itu dan mendarat tepat di atas kayu bakar tersebut.

Apinya mulai menyala.

Ini pertama kalinya aku melihat seseorang menggunakan sihir.

Meskipun itu mungkin sihir yang rendah, tetap saja aku tak bisa menyembunyikan rasa takjubku padanya.

"Aku akan memotong dagingnya terlebih dahulu, aku harap kau bisa menunggu lebih lama lagi ya..."

avataravatar
Next chapter