1 Bab 1

- Dimana aku?

Gumamku saat itu. Membuka mata dan menatap sekitar. Ini jelas sama sekali bukan kamarku.

Aku terbangun di atas rerumputan hijau dengan beberapa dedaunan kering menyelimuti tubuhku. Suara kicauan burung-burung kecil memasuki telingaku seperti jam waker yang senantiasa membangunkanku. Cahaya mentari dari celah-celah antar dedaunan dari pohon yang tinggi juga menusuk mataku seraya berteriak: "bangunlah ratu lilin, ini sudah siang!".

Biasanya aku tak mempedulikan hal itu, karena kemewahan yang senantiasa memanjakanku masih ada dalam genggamanku. Tapi kali ini keadaannya berbeda....

Seharusnya aku mendengarkan mereka untuk tidak meninggalkan istana.

Bukan! Sejatinya aku takut dengan dunia luar. Ibu, ayah, para prajurit, juga pelayan senantiasa menakutiku dengan berbagai cerita-cerita mereka. Bayang-bayang, makhluk tak kasat mata, juga makhluk demihuman lainnya. Aku masih mengingat semua itu di luar kepalaku.

Jika keluarga kalian senantiasa 'berdongeng sebelum tidur' seperti ini, bukankah hanya tanda tanya dan rasa tak percaya yang keluar dari hati kalian? Sama sepertiku, bahkan seorang gadis sepertiku tidak pernah mempercayainya sama sekali.

Sayangnya semua berubah saat aku melihatnya sendiri...

"Kau sudah sadar?"

Aku mendengar suara. Rasa takut jadikanku membalikkan pandangan langsung ke arah sebuah bayangan di belakangku. Sosok bayangan hitam, ia nampak seperti sosok ksatria tangguh. namun aku tak bisa melihatnya dengan jelas, wajah maupun rupa. Ia ditutupi oleh kegelapan yang nyata. Lebih gelap dari kegelapan malam.

"Siapa kau!?"

Tiada jawaban darinya.

Ia hanya menjulurkan tangannya padaku. Ia menginginkan sesuatu dariku?

Aku ketakutan, kakiku jadi saksinya. Perlahan-lahan mundur selangkah demi selangkah dengan mata masih menatapnya. Aku bisa melihat kegelapan di sekujur tubuhnya kian bergejolak ketika ia berusaha meraihku dengan tangannya.

Aku tak bisa menjauh darinya...

Justru ia terasa semakin dekat!

"Jangan mendekat!!"

"Jangan takut, ikutlah denganku.."

"Tidak! Aku tidak mau!!"

"Tunggu!!"

Tidak perlu dipertegas, iya aku lari darinya. Seperti kata mereka, makhluk-makhluk seperti itu nampak jahat di mataku. Bayang-bayang itu juga demikian.

Aku lari ke sembarang arah, ke kanan, ke kiri, dan begitu seterusnya tanpa tahu kemana diriku pergi. Semuanya hanya untuk menjauh dari sosok bayang itu.

Sesekali diriku melihat ke belakang, "masihkah ia mengejar ku?".

Kurasa begitu.

Namun, mataku sudah tak dapat menjangkaunya. Apakah ia tidak mengejar di sana??

Aku tidak peduli!

Menarik napas dengan terengah-engah, sepertinya aku sudah cukup jauh dari bayangan itu.

Ini tidak biasanya aku terengah-engah karena berlari. Ketika aku masih berada di istana, aku senantiasa bermain kejar-kejaran bersama dengan pelayanku Mozart. Bukan. Bagiku dia nampak seperti sosok seorang kakak yang lembut, penuh kasih sayang, dan sangat mencintai adiknya.

Berbicara soal dia, inilah alasan lainnya mengapa aku tidak percaya dengan cerita-cerita seram mereka. Aku pernah menanyakan makhluk itu kepadanya. Iapun tertawa dan berkata bahwa makhluk seperti itu tidak pernah ada. Mereka menceritakan hal itu agar aku tidak pergi keluar sendirian, terlebih untuk gadis berusia 12 tahun sepertiku.

Sayangnya perkataannya salah besar.

Setelah mendapatkan kembali helaan napas ku yang teratur, sekarang aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan? Nampaknya, aku sudah terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Haruskah aku berteriak sekarang? Tidak. Bayangan itu akan menemukanku di sini.

Aku tidak tahu kemana aku harus pergi?

Sekarang keadaan bertambah buruk.

Perutku menjerit kelaparan.

Ini pasti sudah masuk waktu sarapan pagiku.

Biasanya Mozart juga senantiasa mengantarkan sarapan pagiku tanpa perintah dari siapapun. Jika ada orang pertama yang mengetuk pintu kamarku pertama kali, sudah pasti itu dia orangnya. Sebuah nampan berisikan susu dan bubur gandum dan sereal juga roti yang telah diolesi oleh mentega yang gurih. Tidak perlu membuka pintu, aku sudah bisa menebak sarapan pagiku itu hanya dengan mencium aromanya saja.

Sayangnya, ini bukan lagi istana tempatku bernaung...

Darimana aku bisa mendapatkan makanan?

Mozart, tolong beritahu aku...

Aku berkata demikian dalam hatiku, berharap pelayan itu benar-benar mendengar panggilanku. Seraya menengok kanan-kiri, aku mencari sesuatu yang bisa ditelan oleh mulut kecilku ini.

Akankah aku menemukan makanan seenak bubur gandum sereal seperti buatannya?

Tidak. Yang aku temukan hanyalah satu jenis buah yang terjatuh dari pohonnya.

Ia berwarna merah terang dan bentuknya tidaklah bulat seperti bola. Masihkah aku ingat buah itu? Pernahkah Mozart memberikanku buah ini saat di istana?

Aku bisa tahu jawabannya jika aku memakannya.

Gigit, kunyah, dan telan...

Ah... Ini rasanya sama seperti buah berwarna putih itu!

Mozart selalu memberikan buah berwarna putih itu padaku. Ketika siang hari dikala terik matahari membakar seluruh kota dengan panasnya. Seperti angin di musim dingin, buah itu juga menyejukkan tubuhku. Tentu saja, Mozart memotongnya kecil-kecil agar aku bisa memakannya.

Apa nama buah itu?

A-a-p-p-pel? Apel?

Benarkah ini buah yang sama dengan yang senantiasa ku makan?

Tetapi ukuran buah ini terlalu besar buatku. Sudah begitu, warnanya juga bukan putih tapi merah. Aku tidak tahu! Seorang putri sepertiku hanya tahu memakannya saja tanpa perlu tahu darimana dan apa makanan yang ia makan.

Lupakan saja!

Sebaiknya makanan ini harus segera ku habiskan sebelum bayangan itu datang kembali.

Atau sesuatu yang lebih buruk lagi...

Uargggh~!

Siapa yang mengaung di sana?

Buah yang aku makan jatuh ke tanah.

Berbalik perlahan-lahan, sebenarnya aku bisa menduga hewan apa yang berada jauh di belakang sana.

Saat mataku telah melihat wujudnya yang sempurna, hewan itu kembali mengaung 'uaaarrgh~!'

Sang raja rimba telah datang.

Mungkinkah ia sedang lapar?

Sang singa itu mendekat dengan langkahnya yang pelan dan santai. Ia juga memoncongkan kepalanya seraya hendak meraihku, seperti sosok bayangan itu. Aku ketakutan. Mungkinkah ia akan memakanku?

Nampak lidahnya juga bergerak, menjilat sekitar pipi kiri dan kanannya. Mungkinkah nampak diriku seperti santapan yang akan memuaskan rasa laparnya?

Melompat dengan mengaung! Ia benar ingin jadikanku santapannya.

Seraya berteriak, diriku juga melompat ke samping - menghindar dari terkamannya. Sang singa yang tak mendapatkan mangsanya menabrak pohon -yang buahnya ku makan tadi- dengan kepalanya sendiri. Buah dari pohon tersebut pun jatuh dan menghujaninya. Tidak semua buah itu berwarna merah. Ada juga yang berwarna agak pucat, juga berwarna hijau terang.

Tadinya aku berniat ingin kembali dan membawa sebanyak mungkin buah tersebut. Tapi aku sadar itu adalah ide yang sangat bodoh.

Tidak lama sang singa kembali bangkit dan ia kembali berlari mengejarku.

Aku berlari sejauh mungkin darinya tanpa memikirkan kemana aku berlari. Hingga aku tidak tahu di depanku sebuah tebing yang curam menyambutku dengan sapaan 'halo!'

Terperosot jatuh ke dalamnya, sampai di dasar dengan berguling-guling.

Tebing itu memang tidaklah terlalu tinggi, tetapi kembali ke sana bagiku adalah suatu hal yang mustahil. Terlebih...

Sang singa juga turut melompat dari sana.

Aku berusaha untuk berdiri lagi, tetapi...

"Auw!"

Sepertinya kakiku terkilir saat terperosot tadi.

Sekarang singa itu sudah hampir separuh jarak denganku. Aku bisa merasakan aumannya sekalipun ia tak membuka mulutnya sedikitpun. Aku hanya bisa merangkak mundur, berusaha menjauh sebisa mungkin.

Tidak, sepertinya aku tidak akan bisa selamat.

Sebuah tebing batu bisa ku rasakan di sekujur punggungku. Itu artinya, aku sudah berada di ujung tanduk. Melakukan hal yang sama seperti sebelumnya adalah hal yang mustahil...

Sang singa kembali menjilati pipi kiri dan kanannya, melihat santapan lezat di depan matanya. Sedangkan diriku hanya bisa duduk dan pasrah. Aku ingin menjerit sekuat-kuatnya, tapi aku tidak bisa.

Sekarang, sang singa sudah tepat di depanku. Aku sudah tidak bisa lari lagi darinya. Aku menutup mataku dan menolehkan pandanganku darinya. Tangisan kecil dan jeritan yang tak bersuara mulai bergema di hutan ini. Beriring dengan endusan napas sang singa itu bisa ku rasakan hangatnya.

Aku takut... Aku takut...

Mungkinkah ini adalah akhir dariku?

avataravatar
Next chapter