1 1.Kabut Masa Lalu

Ridwan tertegun. Untuk kesekian kalinya cerita Bi Marsinah alias Bi Mar menggantung. wanita paruh baya itu segera mengatupkan mulutnya, terdiam, beku saat melihat sesosok tinggi besar berdiri di depan pintu ruang makan yang terpisah teras belakang dengan dapur kotor, tempat mereka mengobrol sambil sarapan pagi.

Pemuda tampan berusia 20 tahun itu berpaling, menangkap ekspresi tak sedap dari wajah tua ayahnya, Ardiansyah Burhan, pengusaha property dan fashion sukses berskala Asia.

Ridwan menatap wajah pucat Pak Jajang, supir keluarganya dan Bi Mar sama-sama pucat. Kedua pegawai setia yang sudah mengikuti keluarganya sebelum ia lahir itu terlihat kikuk. Bu Mar buru-buru bangkit, menghampiri wastafel, berpura-pura sibuk mencuci piring. Sementara Pak Jajang berlalu, mau mencuci mobil katanya. Padahal seingatnya tadi pria paruh baya itu juga sudah melakukannya. Mencuci mobil ayahnya adalah pekerjaan rutin yang selalu ia lakukan selepas salat subuh.

Ridwan mengernyit bingung. Kenapa dengan mereka berdua? Kenapa hanya cerita tentang mantan majikan mereka dulu yang selalu dipanggil ibu itu selalu menggantung tak jelas setiap kali ayah atau ibunya muncul, meskipun hanya terlihat dari jarak jauh.

"Aku beruntun ya, Bi ..." pancing Ridwan suatu hari, penasaran.

"Aduh, sinetronnya udah mulai, nanti aja ya, Den ..." Bu Mar buru-buru ngibrit ke dapur bersih yang bersebelahan dengan ruang makan.

Pemuda berpostur tinggi atletis itu mengernyit. Tapi kali ini ia tak mau kalah. Diikutinya langkah pengasuhnya sejak lahir itu ke bagian dalam rumah bergaya tropis.

"Wah, udah mulai," Bi Mar bersorak, tapi sorot matanya redup, membuat putra semata wayang pengusaha sukses itu kecewa.

"Bu, lanjutin dong ceritanya," pintanya memohon

"Cerita apa?" Yashinta muncul di ruang makan dengan senyum mengembang, menaruh piring di meja makan.

"eh, ini, Bu ..."

"Anu, Bu ... tentang temen saya," potong Bi Mar cepat, "temen lama hehe..."

Raut muka Bi Mar yang panik tampak jelas. Bukan hanya Ridwan yang menaruh curiga. Senyum Yashinta menyiratkan bahwa ia menangkap sesuatu yang tak beres dibalik semua itu. Kalau tidak, kenapa Bi Mar harus berkelit dan tampak ketakutan seperti itu.

"Bi, tolong belanja bahan makanan buat siang, ya, di kulkas sudah habis, tuh!"

"Baik, Bu," Bi Mar terlihat gembira, seolah baru keluar dari lubang jarum yang menghimpitnya .

Ridwan mondar-mandir di depan televisi besar di ruang tengah, ruang keluarga. Wajahnya tampak serius. Sesaat ia bergerak menuju jendela besar yang menghadap taman. Sebentar kemudian berbalik menuju rak di samping rak TV. Pria ber-IQ diatas rata-rata itu terus melakukannya hingga beberapa kali. Seolah tak menyadari ada 3 pasang mata mengikuti gerakannya hingga kepala mereka bergerak ke kanan-kiri berkali-kali.

"Kakak kaya cetlikaan?" Celoteh Rusli cadel, bocah tampan berusia 3 tahun itu protes.

"Ada apa sih, Nak, kok gelisah gitu?" Yashinta tersenyum geli melihat tingkah kedua putranya.

"Skripsimu udah beres?" Aldiansyah sengaja mengalihkan pembicaraan, ia tak mau putranya memikirkan cerita Bi Mar lagi.

"Sedikit lagi," Ridwan berlalu.

Alfiansyah hampir mati kutu berhadapan dengan putra sulungnya itu. Belakangan anak itu sudah mulai membangkang. Padahal ia ingin anak itu segera terlibat dalam urusan bisnisnya. Membantunya di kantor. Tapi yang dilakukan Ridwan malah membuatnya hampir kehilangan harapan. Bahkan skripsi dengan tema yang membuatnya terpukau itu belum tuntas juga hingga kini. Pria yang rambutnya mulai beruban itu punya banyak harapan jika skripsi putra sulungnya itu kelak akan jadi terobosan baru di perusahaannya.

"Maaf, Pak," Bu Mar menunduk

"Saya ga mau lagi denger Bibi sama Pak Jajang mengungkit atau cerita lagi tentang itu! Sudah tutup buku saja!" Suara Alfiansyah rendah tapi tajam menusuk, "Kalo kejadian lagi, ga tau apa yang bisa saya lakukan sama kalian!"

"Iya, Pak," Suara Bi Mar dan Pak Jajang kompak, serak, gemetar.

Ridwan berdiri di samping tembok dapur kotor, menatap punggung sang ayah hingga menghilang di balik tembok ruang dalam rumah besar itu. Ia berpaling mengintip ke dalam dapur. Tampak kedua suami istri karyawan keluarganya yang setia itu terduduk di kursi dengan gugup.

"Jadi apa yang Bibi sama Pak Jajang sembunyiin sebenernya? cerita tentang siapa yang aku ga boleh tau? Ibu itu siapa sebenernya? Kenapa aku ga boleh tau?" tembaknya langsung menerobos masuk dapur.

Kedua orang tua itu terkesiap, langsung berdiri tegak di tempatnya masing-masing dengan wajah pucat. Saling pandang penuh arti.

"Bapak mau bersihin halaman depan dulu, tadi disuruh Ibu" Pak Jajang kabur, meninggalkannya begitu saja.

"Udah Den bagus 'ndak usah tanya-tanya lagi, itu mah cerita temen Bibi aja, ga penting," Bi Mar berlalu menuju area servis, menyalakan mesin cuci, memasukan air ke dalamnya melalui selang. Ridwan semakin penasaran, tapi tak bisa berbuat apa-apa, apalagi memaksa mereka mengatakan yang sebenarnya.

avataravatar
Next chapter