1 Satu

Untuk mereka yang disebut: bersalah, menyalahkan, dan kesalahan.

***

Sejatinya, bukan tabiat Akash sekali untuk berbiasa bangun pagi. Namun, pengecualian untuk hari ini. Pria itu menyalakan DVD dan menyetel musik mengentak-entak sebagai teman supaya tidak jenuh bersih-bersih. Akash mengerjakannya satu per satu. Mulai dari menyapu, membenahi keadaan ruang sepetak yang berantakan dan timbul bau apak, hingga mencuci piring pun menjerang air untuk minum kopi.

Sejenak Akash meregangkan otot-ototnya sebelum mengambil langkah ke satu-satunya kamar yang tersedia di rumah. Kamar itu sumpek. Cuma dapat memuat sebatang kasur yang keras, lemari pakaian berbahan dasar kayu yang kian hari kian dijajaki rayap, serta sebuah meja penuh akan buku-buku milik bocah yang tinggal bersamanya.

"IBAY! WAKE UP, IBAY." Akash berteriak heboh di ambang pintu. "Otousan lo udah kayak emak-emak, nih!"

Tidak ada sahutan. Sigrah masih mendengkur halus, seakan tidak terusik sedikit pun atas setiap kegaduhan yang Akash timbulkan. Akash berdecak. Tiba-tiba, sebuah ide untuk membangunkan anak itu terbesit. Dengan penuh kehati-hatian, serta memangkas jarak penuh perhitungan, secepat kilat Akash mencium pipi kanan Sigrah dan sengaja melepaskan suara "muah" yang dilebih-lebihkan.

"AKASH!!!"

Pria tiga puluh empat tahun itu sigap menarik diri menjauh. Bak tidak terjadi apa-apa, Akash kembali berdiri menjulang di ambang pintu dengan kedua tangan yang bersedekap. Ia berlagak tegas dan berwibawa lewat dehaman. "Ya, Bayanaka. Sudah bangun?"

Sigrah mendengus sebal. Bersama kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, Sigrah mengubah posisi menjadi duduk sembari mengusap-usap pipinya. "Lo menggelikan, sumpah!"

Bibir Akash berkedut menahan tawa. "Apa sih, Bay? Sok najis banget. Dasar, ya, anak jaman sekarang. Giliran dikecup ama cewek kagak nolak. Sementara bokap ndiri sesekali malah disumpah serapah. Hah!"

"Udah kehabisan stok perempuan yang mau diajak begituan?" Sigrah melempar pertanyaan yang sarat akan sindiran. Sekarang, ia sudah benar-benar beranjak dari kasur dan siap melewati Akash tanpa permisi.

"Astaga, Ibay... udah lama gue vacum of power masalah nafsu dan perempuan. Jadi, tolong jangan memercikkan api perselisihan di antara anak dan Otousan." Akash melakukan sederet pembelaan terhadap diri sendiri. Ia mengekori Sigrah hingga remaja itu sekonyong-konyong berhenti dan berbalik.

Sigrah menyapu pandangan ke sekitar. Meniti sesuatu yang rasa-rasanya tabu bagi seorang Akash Gandana lakukan di rumah. "Tumben, rajin. Nggak kayak biasanya."

Akash terbahak sebelum menyungging senyum penuh kemenangan dan kembali terlihat berkarismatik. "Sesekali apresiasiin jerih payah gue bisa nggak sih, Bay?"

Sigrah terkekeh. "Kayak udah ngelakuin banyak hal yang 'wah' aja."

Akash tersedak ludahnya sendiri. Kepalanya menggeleng-geleng pelan sebagai tanda tak habis pikir. Roman sedihnya yang tertampil pun makin mendramatisir situasi. "Bayanaka, lo ngelukain perasaan gue sebagai Otousan."

"Mau kopi?"

"Kampret." Akash menggerutu. Bayanaka Sigrah memang dilahirkan untuk membuat seorang pria seperti Akash merasa dijungkir-balikkan setiap harinya. Sesaat yang lalu Sigrah berhasil menyulut kedongkolan, tapi setelahnya bisa langsung meluluhlantakkan hanya dengan tindakan-tindakan kecil yang mengesankan. "Gimana gue bisa berhenti buat ngejahilin lo, coba?" Sambung Akash masih dengan bibir yang belum henti berkomat-kamit. Akash menarik kursi plastik dan mendaratkan bokongnya di sana sembari menunggu Sigrah menyeduh kopi. "Sini, Boy. Ngopi bareng ples ngudut."

Tanpa mengiyakan lewat anggukan atau perkataan, Sigrah kemudian menyuguhkan dua cangkir plastik berisikan kopi hitam. Masing-masing dengan takaran sedikit gula. "Apa motivasi lo bangun pagi dan bersih-bersih kali ini? Mana pakai acara nyium pipi gue segala lagi."

Tawa Akash benar-benar lepas detik ini. Ekspresi kesal Sigrah selalu menjadi alasan paling murah untuk membuat ayah satu anak itu disentuh senang. "Yah... kapan lagi coba, nyenengin jagoan gue sesekali?"

***

Di mata Sigrah sekarang, Akash benar-benar aneh!

Dari menyulap rumah mereka yang lebih menyerupai gudang menjadi terlihat lebih wajar dipandangi, menjerang air, membeli satu bungkus gudeg dan ketoprak yang telah tersedia di bawah tudung saji, hingga membangunkannya dengan cara mendaratkan kecupan singkat di pipi.

Benar-benar bukan tipikal Akash sekali. Dan tidak berhenti sebatas itu, selepas Sigrah mandi, tahu-tahu saja satu setel pakaian telah tergeletak rapi. Lengkap dengan kalung tali berbandul taring putih yang biasa Sigrah pakai sedari kecil.

"Kenapa sih, A?" Walhasil, Sigrah menyuarakan keheranannya ketika ujug-ujug Akash berdiri bersebelahan dan mereka berbagi cermin untuk menyisir rambut dengan jemari. "Berasa kurang kerjaan aja."

Akash menaikkan salah satu alisnya. "Kan gue emang minim kerjaan, Bay. Seperti ejekan lo biasanya."

Sigrah mengangguk, membetuli pernyataan tersebut seraya mengenakan kembali kalung yang rutin ia lepas acap kali hendak mandi. "Iya. Biasanya juga lo memang bodo amat. Gak mikirin rumah dan seisinya. Taunya pulang malem, mabok, dan bangun kesiangan. Terus begitu lalu ulangi. Tapi sekarang, kenapa lo repot-repot bangunin gue, cipika gue, nyiapin baju gue, dan—tuh kan!" Sigrah terang-terangan protes. "Ngerangkul gue."

Akash menyeringai. "Asu. Kok, lo udah lebih tinggi dari gue sih, Bay?" Pria itu tidak terima. Dia baru sadar jika harus sedikit berjinjit untuk sekadar melingkarkan tangannya di pundak Sigrah. Setelahnya, keheranan menjelma tawa. Mereka saling memerhatikan satu sama lain melalui cermin panjang yang retak dari sudut ke sudut. "So, coba lihat kita berdua." Akash menyikut lengan anaknya sambil menyengir. "Lo jiplakan gue banget kalo soal tampang."

Sigrah sempat mendengus sebelum melakukan apa yang diinginkan pria itu. Mereka sama-sama memakai kaus hitam yang melekat di badan dengan celana berwarna senada. Bedanya, Sigrah memakai model jins sobek-sobek di bagian lutut. Minus arloji yang Akash kenakan di pergelangan tangan kiri.

Akash mendecak kagum. "Kurang baik apa coba, gue sama lo, Bay. Sembilan puluh sembilan persen ketampanan gue, gue turunin secara cuma-cuma ke elo."

Sigrah refleks tergelak. Sebuah gelakak yang menyisip ejekan. "Gini nih, kalo punya babe rasa abege."

"Sialan lu." Akash menyentil telinga Sigrah tanpa anak itu sigap menghindar. Bahkan ia tidak peduli bila sekarang Sigrah mengaduh pelan. Rasa-rasanya, Akash ingin berlama-lama memandangi tampilan mereka seperti ini. Pun menangkap sekaligus menyimpan ingatan Ibay kecilnya yang beranjak remaja.

Sigrah mendapati alis tebal dan bulu mata panjangnya dari Akash. Sementara hidung yang sedikit mancung serta bibir penuh nan merah alami tanpa pernah terselip sigaret itu dari sosok puan yang belum pernah Sigrah temui hingga di usianya sekarang. Walau tumbuh bersama Akash, Sigrah tidak serta merta mengambil sifat Akash yang hidup serampangan. Mereka cukup berkebalikan dalam tindakan. Dan kata-kata milik Sigrah kadang kala jauh lebih sarkas dan blak-blakan.

"Tapi anehnya, meskipun lo tampan bahkan menyeleding ketampanan gue, kok nggak pernah ya, gue lihat satuuu aja cewek nyantol ke elo." Akash berekspresi seakan ada sejuta keingintahuan di balik kernyitam samar pada dahinya. "Bay, lo tetep doyan kaum hawa kan? Nggak bakal tertarik sesama yang punya batang kan?"

"Kalaupun gue suka cewek, gue nggak mau repot-repot bawa ke rumah dan nunjukin kayak apa yang sering lo lakuin. Elo ngakunya tampan, tapi nggak berkelas. Masa dipake buat gonta-ganti perempuan."

Akash melengos. Sigrah dengan satirenya memang apik. Perempuan itu... betulan memberi sumbangsih besar terhadap kecerdasan yang dimiliki seorang Bayanaka Sigrah. Hingga kepiawaian Sigrah dalam memilah kata yang tersisip sindiran bisa disampaikan dengan bentuk yang berbeda-beda setiap kalinya.

"Serah dah." Akash pura-pura lelah untuk melanjutkan pembicaraan. Selepas gerasak-gerusuk akan sesuatu, Akash berteriak dengan kepala sedikit menyembul di pintu. "Ibay, skuy siap-siap."

"Siap-siap ke mana?" Kebingungan Sigrah sedikit terjawab ketika ia menemukan sebuah carrier miliknya yang terlihat padat sudah berada di beranda. Sigrah masuk ke kamar kembali dan menggeledah isi lemarinya. Hampir kosong nyaris tak bersisa.

"A, kenapa lo mengemas pakaian gue?" Sigrah berteriak agak keras supaya Akash mendengar. "Lo udah angkat tangan, ya, tinggal bareng gue?"

"Iya, nih." Akash menyeringai. "Untuk ukuran anak cowok, lo cerewet banget. Suka ngatur dan ngerepotin abis. Apa lagi, ya? Ah, banyak dah pokoknya. Gak bisa gue sebutin satu-satu."

Sigrah menangkap segala perkataan itu dan mencernanya pelan-pelan. Kelihatannya sudah jelas, bahwa Akash sungguh-sungguh dengan segala alasan dan tindak tanduknya. Enggan makin memperunyam isi kepala dengan menerka-nerka jawaban dari pelbagai pertanyaan sendiri, anak laki-laki itu memilih untuk tidak berkata-kata lagi.

Tidak ada pembicaraan. Keduanya dililit kebisuan yang mengesalkan. Mereka sama-sama tidak memiliki kemauan untuk saling mengumpan pertanyaan dan pernyataan.

"Sekiranya mau buat jejak baik di penghujung kebersamaan, nggak perlu aneh dan berlebihan juga kali. Nggak ngaruh banyak. Dan gak bakal bikin gue terkesan. Justru bikin gue makin tertarik buat ngetawain lo beserta sisi baik yang coba lo perlihatkan habis-habisan."

"Oh ya?" Akash tertawa menanggapi hal itu. "Bagus, dong! Seperti nama kontak gue di ponsel lo. P(ayah). Gue memang payah banget, kan?"

Dan Sigrah bahkan tidak sungkan untuk merespons dengan anggukan.

Akash tersenyum jenaka meski sorot matanya berkebalikan. "Selamat ulang tahun, Ibay!" Dengan tak disangka-sangka, Akash menepuk-nepuk puncak kepala Sigrah dan mengacak rambutnya pelan. Akash meraih tangan Sigrah untuk mengajaknya bersalaman ala laki-laki walau Sigrah tak merespons dengan cukup baik. "Semoga, ini hadiah pertama dan terakhir yang paling berkesan selama enam belas tahun gue jadi bokap lo."

Sigrah tersenyum. Tanpa sadar ia meremas sebuah kertas di genggaman tangannya. "Kash, lo jahat. Jahat banget. Serius gue nggak bohong."

"Udahlah, Bay... lama-lama ngabisin hidup bareng gue nggak bikin lo seneng. Memang udah jatahnya lo ngerasain gimana enaknya tinggal bareng nyokap."

"Masalahnya, gue nggak pernah tau bagian mana dari enaknya tinggal bareng nyokap. Gue taunya lo doang. Akash, Akash, dan Akash."

Akash tersenyum. "Nggak lama lagi. Lo taunya Panya, Panya, dan Panya doang."

Sigrah mendecih. Ia berdiri dan menggenggam erat tali tas carrier-nya. Sebelum benar-benar meninggalkan Akash beserta segala memori di rumah berperabotan serba reyot itu, Sigrah kembali menengok ke belakang dan bersirobok dengan sepasang mata Akash yang masih memandanginya dalam diam.

"Tetep hidup. Gue masih pengen denger ucapan 'selamat ulang tahun' lagi dari lo di pergantian angka usia gue yang berikutnya."

^^^

Regards,

Ichamfs14

avataravatar