1 Prolog

Luasnya padang rumput menjadi sebuah pemandangan yang indah. Di sebelah selatan nan jauh di sana terlihat gunung-gunung menjulang tinggi. Di puncaknya dikelilingi oleh awan-awan yang mengitari puncak gunung itu bagaikan cincin. Matahari menyinari hamparan padang rumput dengan terangnya. Domba, kambing, sapi, dan kerbau sedang asyik menyantap makanan kesukaan mereka yaitu rumput segar. Mereka adalah binatang ternak yang dengan sengaja di gembalakan oleh pemiliknya. Para pengembala berbondong-bondong datang ke padang rumput ini untuk mengembalakan binatang ternaknya. Karena padang rumputnya sangat luas, mereka biasanya menunggangi kuda. Supaya bisa mengejar binatang gembalaannya jika sudah waktunya pulang.

Para pengembala membawa lonceng atau biasa disebut lonceng masing-masing. Setiap lonceng mempunyai bunyi yang berbeda. Yang berarti setiap pengembala mempunyai bunyi lonceng yang tidak akan sama dengan pengembala yang lain. Mereka akan menunggangi kuda mengelilingi padang rumput sambil membunyikan lonceng. Binatang ternak akan mengikuti suara lonceng itu. Karena binatang ternak sudah hafal dengan suara lonceng majikannya. Jika didengarkan, suara lonceng dari semua pengembala akan terdengar sama. Tapi jika didengarkan dengan teliti, suaranya berbeda sedikit. Juga berbeda dari bunyi nadanya. Ada lebih dari lima puluh pengembala di padang rumput ini. Berarti ada lima puluh lebih suara dan nada yang dihasilkan oleh lonceng dari masing-masing para pengembala. Rata-rata seorang pengembala mempunyai empat puluh lebih binatang ternak. Baik itu domba, sapi, kambing, dan kerbau. Itu bisa membuktikan betapa luasnya padang rumput ini.

Sudah berabad-abad yang lalu padang rumput ini ada. Dan sudah berabad-abad pula tempat ini menjadi destinasi favorit para pengembala. Yang membuat padang rumput ini menarik selain dari pemandangannya yang indah, ialah rumputnya tidak pernah habis. Rumput di sini selalu tumbuh subur. Rumputnya juga tumbuh dengan cepat. Siapa pun yang mengembalakan binatang ternaknya di sini, maka binatang ternaknya akan gemuk dan sehat. Itu berarti dagingnya bisa dijual dengan harga mahal.

Siapa pun yang datang ke padang rumput ini, niscaya dia akan merasa tenang dan damai. Karena pemandangan di sini sangatlah indah. Anginnya yang bertiup sepoi-sepoi menambah nilai kenyamanan di padang rumput ini.

Dua orang lelaki tua sedang duduk-duduk di antara ratusan binatang ternak itu. Mereka sedang asyik mengobrol menceritakan pengalamannya masing-masing.

"Aku akan mengakhiri pengembaraanku" kata lelaki yang paling tua. Wajahnya sangat berilmu. Terlihat dia sangat kaya akan pengalaman. Tubuhnya juga sangat sehat. Tak terlihat kalau dia sudah sangat tua.

"Dan kau akan pensiun?" tanya si pengembala yang usianya mungkin berbeda empat puluh tahun.

"Aku rasa begitu. Tapi entah kenapa sesuatu yang besar akan terjadi"

"Kakek, Segeralah pulang" raut wajah sang pengembala mulai khawatir "Kau mempunyai tanggung jawab yang besar. Kau harus bisa menanggapinya dengan bijaksana"

"Aku sudah tahu itu" sahut Sang Kakek

Keheningan menghampiri mereka selama setengah jam lebih. Keduanya saling menatap ke arah gunung yang menjulang tinggi itu. Seolah mereka terhipnotis oleh keindahan gunung itu. Tiba-tiba gumpalan awan putih di langit terlihat berputar-putar bagaikan gasing di sebelah barat. Semakin cepat dan dahsyat. Bahkan menimbulkan petir.

"Apa itu?" tanya si pengembala "Apa disana akan turun hujan?"

"Entahlah. Tapi aku akan melihatnya. Setelah aku meliahatnya, aku akan ke utara menuju kampung halamanku"

"Berhati-hatilah"

Sang Kakek bangkit. Angin dari gumpalan awan putih tadi meniup rambutnya yang putih panjang dan ikal. Dia terus berjalan dan hilang di telan padang rumput. Selama empat jam dia terus berjalan tanpa henti. Berjalannya tidak seperti orang biasa lainnya. Jika dibandingkan dengan orang biasa, mungkin orang biasa akan tertinggal jauh. Kelihatannya sih memang Sang Kakek berjalan seperti biasa. Mungkin karena ilmunya sudah tinggi jadi dia terlihat berjalannya sangat cepat. Sang Kakek terus berjalan hingga beberapa jam lamanya tanpa henti. Beberapa orang yang lewat di jalan setapak tak berkomentar banyak. Mereka hanya memperhatikan Sang Kakek berjalan sangat buru-buru. Mereka juga tahu kalau Sang Kakek menuju gumpalan asap putih itu.

Hampir sampai Sang Kakek, tapi gumpalan awan putih di langit memancarkan cahaya terang dengan beberapa sambaran petir secara vertikal dari atas ke bawah. Sang Kakek memperhatikan kejadian alam yang aneh itu dengan serius. Lalu tiba-tiba ledakan terdengar saat cahaya vertikal itu ke tanah. Sang Kakek mulai berlari sangat kencang. Dia menembus hutan dan sampailah di tempat yang dituju. Tempat yang tadinya hutan belantara kini berubah seperti sebuah mangkuk raksasa yang di tengahnya ada tumpukan tanah seperti sebuah bukit. Anehnya, rerumputan malah tumbuh dengan subur. Seolah-olah tidak terjadi ledakan karena petir atau semacamnya.

Sang Kakek hanya berdiri di tepian mangkuk raksasa misterius itu. Hampir mirip lembah. Rambutnya melambai terhembus angin. Sang Kakek terus memperhatikan bukit yang ada di tengah lembah itu. Seberkas cahaya silau mengganggu tatapan Sang Kakek. Di belakang, dua orang pemuda berlari menuju Sang Kakek.

"Ada apa?" tanya pemuda yang agak pendek.

"Tanahnya" kata pemuda yang tinggi.

"Hey Kakek. Ada apa ini? Apa ini efek ledakan tadi?" tanya si pemuda yang tinggi.

"Sepertinya begitu" Sang Kakek menunjuk ke arah bukit di tengah lembah itu dan berkata "Kalian lihat cahaya di bukit yang di tengah itu?"

Kedua pemuda itu memperhatikan bukit itu. Lumayan jauh jaraknya. Mereka mengangkat tangan dan meletakannya di atas mata.

"Kau lihat sesuatu?" bisik pemuda yang tinggi dan pemuda yang pendek menggeleng.

"Kami berdua tidak melihat apa-apa. Itu seperti tumpukan tanah yang kosong"

"Masa?" Sang Kakek turun ke bawah lembah itu dan berjalan menuju bukit itu. Langkahnya terhenti. Dia merunduk dan memungut sesuatu. Lalu benda itu dilihatnya dengan seksama. Sebuah batu bulat sempurna. Berwarna hijau dan agak tembus pandang. Diameternya mungkin kira-kira sekitar sepuluh sentimeter. Tiba-tiba raut wajah Sang Kakek menjadi serius. Lalu batu itu ia masukkan ke dalam kantung jubahnya. Dia berjalan lagi menuju kedua pemuda yang tadi. Sang Kakek mendaki dengan sedikit melompat-lompat.

"Apa yang kau temukan Kek?" kata kedua pemuda itu hampir bersamaan.

"Tidak ada. Kalian pulanglah segera"

Sang Kakek berjalan melewati kedua pemuda itu tanpa melihat wajah kedua pemuda itu. Lalu sang Kakek mengepalkan tangan kanannya dan dia tempelkan ke telapak kanan sebelah kiri sejajar dengan dada. Tiba-tiba dia menghilang seperti sebuah petir.

"Seharusnya kita minta diajari Ajian itu" kata si pemuda yang pendek.

"Ayo kita pulang. Kita informasikan ke kepala desa kalau ledakan tadi mengakibatkan hutan jadi gundul"

Kedua pemuda itu kemudian berlari menuju desa mereka. Mereka berdua memang berasal dari daerah ini. Setelah sampai, mereka bergegas menuju rumah kepala desa.

"Apa?" kaget si kepala desa. Wajahnya memancarkan ketakutan yang luar biasa. "Apa Raja sudah tahu akan hal ini?"

"Belum pak" kata kedua pemuda itu.

"Kita periksa tempatnya. Aku takut ini perbuatan..." si kepala desa tidak melanjutkan kalimatnya.

"Perbuatan siapa pak?" kedua pemuda itu nampak kebingungan.

"Tidak. Tidak ada kok. Ayo kita ke sana"

Mereka bertiga ke sana. Tapi pak kepala desa terlihat cemas dan gelisah. Tak berapa lama mereka sampai di tempat tujuan. Sang kepala desa terlihat lega dan sudah stabil emosinya.

"Syukurlah" pak kepala desa memegang dadanya. "Ini sih paling-paling ulah seseorang yang mencoba ilmunya di sini" tambahnya.

"Tadi kami juga bertemu seorang kakek-kakek di sini" kata si pemuda yang pendek.

"Seorang kakek?" tanya si kepala desa serius.

Mereka berdua mengangguk.

"Bagaimana ciri-cirinya?"

"Badannya lumayan agak tinggi."

"Dia lebih tunggu satu kepala dariku." kata si pemuda yang tinggi.

"Ya betul. Lebih tinggi dari dia. Terus rambutnya panjang, ikal, dan putih. Jubahnya juga berwarna putih. Dia tadi menggunakan Ajian menghilang. Oh iya, dia sempat ke bukit di tengah itu. katanya dia melihat cahaya yang silau."

"Kalian tahu siapa dia?"

"Kami belum sempat berkenalan" kedua pemuda itu malah tertawa.

"Dia itu sang pengembara"

Tiba-tiba mereka berhenti tertawa dan saling menatap mata.

"Sang pengembara?" kata si pemuda yang pendek.

"Seorang kakek rambut panjang, putih dan ikal?" kata si pemuda yang tinggi.

"DIA SI PENGEMBARA ITU!!!" teriak mereka bersamaan.

"Kabarnya dia akan pensiun. Umurnya sudah seratus tahun"

"Pak, sejak usia berapa dia mulai mengembara" tanya pemuda yang tinggi.

"Menurut rumor yang beredar, dia sudah mulai mengembara sejak umurnya dua puluh tahun. Sejak dia lulus dari pedepokan"

"Aku rasa dia orang paling hebat" sahut si pemuda yang pendek.

"Dia sudah mengembara ke seluruh dunia. Bahkan katanya dia pernah ke Negeri Langit. Bukan hanya ke Negeri Langit. Dia juga dikabarkan pernah ke Negeri Buta, Negeri Jin, Negeri Siluman, bahkan ke Negeri Kahyangan"

"Bagaimana dia bisa sampai ke sana ya?"

"Hanya orang-orang dengan ilmu tingkat tinggi saja yang bisa ke sana. Sudah, ayo kita kembali. Hari sudah mulai gelap"

Sesampainya di rumah, Sang Kakek bergegas masuk lalu duduk dan membuka buntalan kain. Dia meletakkan batu itu dia tas meja dan memperhatikannya dengan seksama. Tiba-tiba dia terbawa halusinasi. Dia terbawa kepada bayangan masa lalu batu itu. Begitu banyak hal yang mengerikan terjadi. Tumpah darah, ketakutan, kengerian, kegelapan dan masih banyak lagi. Lalu Sang Kakek melihat tujuh orang (tiga di antaranya adalah perempuan), sedang berada di sebuah bukit yang tinggi. Sementara di bawahnya terjadi peperangan maha dahsyat. Di mana peperangan itu melibatkan beberapa kerajaan besar di seluruh dunia. Dari ke tujuh orang tadi, salah satu laki-laki, berdiri dan mengangkat tangan kanannya. Dia membuka jemarinya. Sementara keenam yang lainnya mematung mengelilingi laki-laki itu. Mereka diam tak bergerak dan kepalanya merunduk. Lalu dari tangan kanan laki-laki tadi memancarkan cahaya hijau seperti asap. Keenam yang lainnya juga memancarkan cahaya yang sama. Cahaya yang di pancarkan dari tubuh keenam yang lainnya berkumpul di tangan kanan laki-laki itu. Keenam yang lainnya membuka mata dan mata mereka bercahaya warna hijau. Kemudian cahaya yang ada di tangan kanan laki-laki itu menyebar seperti bom atom. Dan itu membuat Sang Kakek tersadar kembali.

Sang Kakek berkeringat dingin menyaksikan kejadian maha dahsyat itu. Kini dia percaya lewat batu itu, kalau sejarah tidak berbohong. Dia memperhatikan batu itu sekali lagi. Ternyata batu itu memiliki serat halus yang tak terlihat. Dia memegang batu itu dengan kedua tangannya dan mencoba menekannya. Batu itu terbelah menjadi tujuh bagian. Di mana enam bagian luar dan satu di dalam. Yang di dalam masih terlihat bulat sempurna. Sementara bagian yang luar, tak beraturan. Tapi masih bisa dirangkai kembali.

"Kini aku mengerti. Batu ini mewakili kekuatan dari ketujuh orang tadi. Aku bisa merasakannya dari yang terkuat hingga yang ter lemah. Aku bisa merasakan kalau kegelapan sedang mencari batu ini. Aku harus berbuat sesuatu" saut Sang Kakek dalam hatinya.

Tanpa pikir panjang, Sang Kakek pergi ke timur menuju air terjun. Dia mencari batu yang mirip dengan batu hijau yang ia temukan. Lalu dia bertapa selama satu minggu di bawah air terjun itu. Setelah selesai, dia mengambil sedikit kekuatan dari batu hijau itu dan memindahkannya ke batu yang ia temukan di air terjun. Memindahkan sedikit kekuatannya saja memerlukan usaha yang tidak gampang. Sang kakek beberapa kali hampir kehabisan tenaganya. Dalam hatinya ia semakin khawatir jika batu itu jatuh ditangan kegelapan.

Sang kekek kemudian bergegas menuju keramaian pasar di sebelah utara. Dia meu menemui pengrajin batu.

"Aku ingin kau membuat batu ini" Sang Kakek meletakkan batu yang ia temukan di sungai di meja kerja pengrajin batu. Lalu dia meletakkan lagi batu hijau "Seperti batu ini"

Pengrajin batu berbadan gemuk diam sejenak memperhatikan kedua batu itu.

"Tak masalah" katanya "Aku bisa mengerjakannya kurang lebih selama tiga hari. Asal harganya sesuai"

"Tidak masalah. Tapi kau jangan bilang kepada siapa pun"

"Rahasia pelanggan akan aman. Itulah komitmen yang kami pegang Kek"

"Bagus" Sang Kakek memasukkan kembali batu hijau itu ke dalam jubahnya.

"Jadi rumor itu benar. Kau sudah pensiun?" tanya si pengrajin dengan senyum hangat.

"Aku sudah mengembara ke seluruh dunia. Kini saatnya aku istirahat"

Si pengrajin menulis sesuatu di kertas "Aku rasa itu sudah cukup bagimu" lalu dia memperlihatkannya kepada Sang Kakek "Baiklah Kakek, semuanya tiga koin emas. Kau bisa bayar satu koin emas dulu. Setelah jadi, kau bisa bayar sisanya. Bagaimana?"

"Setuju" Sang Kakek mengeluarkan dua koin emas "Aku bayar dua koin emas. Satu koin lagi jika sudah selesai"

Si pengrajin menerima dua koin emas itu dan dimasukkannya ke dalam kantung bajunya.

"Terima kasih. Karena kau sudah percaya kepada kami. Kami memiliki tukang pahat yang handal" kata si pengrajin dengan ramahnya.

Sang kakek pulang. Ternyata istri dan anaknya sudah menunggu di depan rumah.

"Kang, ke mana saja kau ini? Bukannya kau sudah pulang seminggu yang lalu?" kata Sang Istri. Wajahnya cantik dan terlihat sangat muda. Walaupun umurnya sudah sangat tua.

"Dari mana kau tahu?"

"Meja yang sering kau pakai agak berantakan. Aku tahu kalau kau sudah pulang. Oh iya. Anak kita sudah dapat calon suami"

Kedua pipi sang Anak memerah.

"Iya Abah" katanya malu-malu. Rambut panjangnya yang diikat terhembus angin.

"Kapan kau menikah?" tanya Sang Kakek sambil tersenyum.

"Mungkin beberapa tahun lagi"

"Dia dari desa kita?"

"Dia dari desa sebelah. Masuk dulu Bah. Aku sudah masak. Sejak umurku dua tahun kau sudah pergi mengembara lagi"

Sang Kakek berjalan mengikuti anak gadisnya.

"Abah juga senang melihatmu. Kau sudah besar rupanya. Kini kita bisa tinggal bersama lagi"

"Kau sangat tersohor sekali. Apa benar kau tidak pernah dikalahkan oleh siapa pun?"

"Di antara yang hebat, pasti ada yang lebih hebat lagi"

Tiga hari kemudian Sang Kakek membayar dan mengambil batu yang sudah dibuat mirip dengan batu hijau yang ia temukan.

Kurang lebih dua tahun kemudian. tepat tengah malam, saat anak dan istrinya tertidur lelap. Sang kakek keluar dan menuju ke tengah ladang. Dia memegang batu hijau itu dan dibacakannya sebuah mantra. Batu itu bercahaya warna hijau dan mengapung tinggi. Semakin tinggi dan tinggi. Kemudian dia menyilangkan tangannya lalu sekuat tenaga membuka tangannya lebar-lebar seperti seekor burung yang hendak terbang. Batu hijau itu memencar menjadi tujuh bagian ke segala arah. Ke berbagai penjuru dunia.

***

Lima tahun berlalu. Selama lima tahun pula Sang Kakek pensiun. Hari-harinya dia habiskan untuk bertani di sebuah ladang depan rumahnya. Beserta sang istri, anak perempuan dan seorang mantunya. Sang istri tiga puluh tahun lebih muda. Biarpun begitu, mereka terlihat seperti umur empat puluhan. Sang kakek sedang bahagia, lantaran anak perempuannya sedang hamil. Hasil buah cintanya dengan pemuda dari desa sebelah. Dan sebentar lagi dia akan mempunyai cucu pertamanya. Anak perempuannya merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ke enam anaknya yang lain laki-laki semua. Mereka semua mati di tengah perjalanan saat mengembara. Ada yang mati karena kalah bertarung, mati tertelan ombak saat mengarungi luasnya samudra bersama Bajak Laut. Bahkan ada yang mati saat berada di Negeri Buta dan di Negeri-negeri yang lainnya. Itu semua menurut rumor dari mulut ke mulut. Dan seluruh dunia tahu akan hal itu.

Sang Kakek sedang duduk di depan rumahnya. Dia sedang menatap halaman luas yang sudah usang karena jagung yang sudah ia tanam sudah dipanen. Sang Kakek menanam berbagai macam buah-buahan dan sayuran sesuai musimnya. Dia sangat pintar mengelola tanah sehingga sangat subur. Waktu panen jagung saja, ia dapat untung banyak. Karena hasilnya sangat bagus. Jagungnya besar-besar dan bobotnya juga berat per buahnya. Dia sedang memikirkan mau menanam apa setelah panen jagung kemarin.

"Bah, kenapa Abah melamun?" sapa anaknya yang baru keluar dari dalam rumah. Rambut pnjangnya yang diikat membuatnya terlihat sangat cantik.

"Suamimu belum pulang?"

Sang Anak ikut duduk di samping Sang Kakek lalu dia bilang "Belum. Kemarin dia bilang sore ini dia pulang. Kalau tidak ada halangan"

"Berapa usia kandunganmu?"

"Hampir sembilan bulan Bah. memangnya kenapa?"

"Besok kau dan ibumu pergi ke rumah suamimu" kata Sang Kakek datar.

"Kenapa Bah?" tanya si anak kebingungan.

"Aku ingin kau melahirkan cucu pertamaku disana"

"Baiklah Bah, besok aku dan ibu kesana. Lagipula didesa sekecil inikan tidak ada Paraji . Kita sewa saja kereta kuda"

"Tapi Abah tidak bisa ikut"

"Kenapa? Apa abah tidak mau melihat cucu pertama abah?"

"Besok akan abah jelaskan. Yang jelas, besok bangunlah pagi-pagi buta. Sebelum matahari terbit kau dan ibumu harus segera pergi"

Keesokan paginya, Sang Kakek sudah bersiap didepan rumah. Angin pagi yang dingin sudah berhembus menusuk tulang. Ladang terlihat sangat gelap dan berkabut. Sang Anak dan Sang Istri sudah membawa bekal untuk perjalanan mereka. Semuanya sudah siap. Tinggal menunggu kereta kuda datang.

"Kang, kau yakin tidak ikut?" tanya Sang Istri.

"Bah, sebaiknya kau ikut" pinta Sang Anak.

Tiba-tiba Sang Kakek memeluk mereka berdua. Lalu mata Sang Kakek terpejam dan membisikkan sesuatu di telinga mereka. Sang Istri dan Sang Anak kaget bukan main. Mereka mengucurkan air mata hampir bersamaan.

Kemudian Sang Kakek melepaskan pelukannya dan berkata "Lakukan apa yang aku katakan tadi"

Sang Kakek meletakkan tangan kanannya ke perut anaknya. Dia memejamkan matanya. Sang Istri dan Sang Anak kebingungan. Mereka saling pandang satu sama lain. Lalu Sang Kakek melepaskan tangannya dari perut anaknya.

Beberapa saat mereka hanyut dalam keheningan. Keheninganpun terpecah saat suara kereta kuda datang mendekat. Cahaya lampu minyak dari Delman itu terlihat samar-samar karena kabut. Tak lama kemudian, kereta kuda Delman yang ditarik oleh dua ekor kuda sudah terparkir didepan rumah.

"Semuanya sudah siap tuan " kata sang Kusir. Pakaiannya rapi. Tutur katanya juga sopan.

"Kau tahukan jalan menuju desa Hulu Lilir?" tanya Sang Kakek.

"Saya tahu tuan. Bahkan saya sering kesana. Saya juga berteman baik dengan suami anak tuan"

"Bagus. Berapa lama kira-kira kalian sampai?"

"Jika tidak ada hambatan, sore juga akan sampai tujuan tuan.

Sang Istri dan Sang Anak naik lalu berpamitan. Pak kusir langsung mengayunkan pecutnya dan kereta kudapun berangkat. Sang Kakek hanya diam terpaku melihat kereta kuda menyusuri jalanan yang membelah ladangnya. Lampu minyak yang terpasang di kereta kuda menerangi jalan yang terselimuti oleh kabut pagi. Lalu kereta kuda berbelik ke kiri dan hilang di kegelapan.

Keesokan harinya saat pagi-pagi buta, Sang Kakek keluar dengan jubah putihnya dan berjalan menuju lapangan. Dia terus berdiri mematung dan menghadap ke arah timur. Arah di mana Anak dan Istrinya hilang di kegelapan dengan kereta kuda. Matahari pun muncul seolah-olah sedang mengintip. Angin berhembus dan menghempaskan rambut serta jubah putihnya. Tiba-tiba ada suara gemuruh kecil. Dan dengan kecepatan yang tinggi, sesuatu yang hitam melesat ke arah Sang Kakek. Dia menahannya dengan tangan kanannya. Terdengar lagi suara. Tapi bukan suara gemuruh. Melainkan suara geraman mirip hewan buas. Bintik-bintik merah terlihat di antara terbitnya mata hari. Mulai tampak sesosok makhluk mengerikan. Matanya tajam dan menyala-nyala merah. Giginya besar dan tajam. Bulunya lebat dan berkaki empat. Hampir mirip dengan serigala. Hanya saja ukuran tubuhnya lebih besar. Jumlahnya sangat banyak. Dan mereka menyerang secara bersamaan.

Sang Kakek bersiap. Dia menyiapkan kuda-kudanya. Kaki kanan ke depan, dan kaki kiri ke belakang. Tangan kiri terbuka lebar, dan tangan kanannya mengepal. Tangan kanannya yang mengepal ia tempelkan ke tangan kirinya yang terbuka. Lalu dia menarik tangan kanannya dan cahaya putih keluar. Dan, dia mengeluarkan sebuah pedang. Mirip kujang. Hanya saja dibuat sedemikian rupa supaya mirip dengan sebuah pedang yang panjang. Dia menebas makhluk yang menghampirinya terlebih dahulu. Dengan sekali tebasan, makhluk itu langsung menghilang. Gerombolan makhluk itu terus menyerang Sang Kakek. Tapi gerakan sang kakek menebas pedangnya jauh lebih cepat. Dia mengalahkan satu per satu makhluk itu hanya dengan satu kali tebasan saja. Tapi makhluk itu terus menyerang dan mengeroyok Sang Kakek. Dengan kekuatan penuh, pedang Sang Kakek mulai bercahaya. Dia menebas dengan sekuat tenaga. Dan semua makhluk hitam yang menyerangnya musnah seketika.

Tiba-tiba angin meniup dengan cepat. Sekumpulan asap hitam berkumpul bagaikan tornado. Dan muncullah seseorang berjubah hitam panjang hingga menutupi kakinya dan bertudung hitam. Wajahnya tidak kelihatan sama sekali karena tertutup oleh bayangan tudung. Dia berjalan secara perlahan.

Dengan suaranya yang parau, dia berkata "Serahkan batu itu"

"Apapun yang terjadi, aku tidak akan memberikan batu itu kepada siapapun"

"Kalau begitu aku akan ambil secara paksa darimu"

Pria berjubah hitam itu mengayunkan tangannya dan cahaya hitam keluar dari tangannya. Sang Kakek menahannya dengan pedangnya. Tiba-tiba pria berjubah hitam itu berada tepat di depan Sang Kakek. Dia meletakkan telapak tangan kanannya pada dada Sang Kakek. Sang Kakek terlempar jauh lalu terjatuh dan beberapa kali berguling-guling di tanah. Sang Kakek segera bangkit. Tapi pria berjubah hitam sudah muncul di belakang Sang Kakek. Sang Kakek sudah menyadarinya dan menahan serangan dari pria berjubah hitam itu. Pria berjubah hitam menghilang dan muncul lagi di kejauhan. Dia mengangkat kedua tangannya lalu tanah yang di sekitarnya terangkat. Kemudian dia arahkan kedua tangannya tepat ke arah Sang Kakek. Tanahnya melesat cepat menuju Sang Kakek. Tapi Sang Kakek menahan dan membelah tanah itu dengan pedangnya.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Sang Kakek serius.

"Nanti kau juga akan tahu"

Pria berjubah hitam itu melayang dan melesat menuju Sang Kakek. Dia menyerang dengan pertarungan jarak dekat. Sang Kakek menahan serangannya dan mencoba menyerang balik. Saat ada celah, Sang Kakek menebas pria berjubah hitam itu. Tapi alangkah kagetnya Sang Kakek. Pedangnya tidak bisa melukai pria berjubah hitam itu. Bagaikan menebas asap hitam pekat. Pria berjubah hitam itu menghilang dan muncul lagi beberapa meter dari Sang Kakek.

"Aku rasa aku akan kerepotan melawanmu" kata Sang Kakek.

"Levelku sama denganmu"

Pria berjubah hitam itu tertawa. Tawa yang mengerikan yang datang dari Dunia Kegelapan.

Sang Kakek mengambil nafas panjang. Dia melepas pedangnya lalu pedangnya menghilang. Matanya terpejam. Lalu asap cahaya putih muncul dari tubuhnya. Tanah di sekitarnya retak dan beberapa kerikil batu melayang. Lalu Sang Kakek menghilang dan tiba-tiba muncul di depan pria berjubah hitam. Sang Kakek terus menyerangnya dengan kecepatan yang sangat luar biasa. Pria berjubah hitam itu kewalahan. Tapi dia juga tak tinggal diam. Dia juga mengeluarkan kekuatan yang hampir sama. Hanya saja dia mengeluarkan asap cahaya gelap dari tubuhnya. Dia menahan serangan Sang Kakek dan mencoba menyerang balik. Mereka terlibat dengan baku hantam yang dahsyat. Bahkan tanah di sekitarnya ikut hancur. Beberapa lama kemudian mereka berpisah. Mereka sudah agak kelelahan.

Kemudian pria berjubah hitam itu menyerang menggunakah sihir. Dia mengeluarkan api dari tangan kanannya dan angin dari tangan kirinya. Kedua elemen sihir itu melesat menjadi satu menuju arah Sang Kakek. Tapi dengan gerakan cepat, Sang Kakek berhasil mengeluarkan pedangnya dan menahan serangan dari pria berjubah hitam itu dengan memutar pedangnya untuk menahan serangan elemen api dan angin tersebut. Pria Berjubah hitam itu terus mengeluarkan kedua elemen sihirnya tanpa henti. Sang Kakek terus menahannya dengan kekuatan penuh. Tak berapa lama kemudian, pria berjubah hitam itu berhenti. Jubah Sang Kakek sudah hilang terbakar. Tapi asap cahaya putih masih terus keluar dari tubuhnya. Badannya yang berotot dan sangat kekar membuatnya terlihat bagaikan pendekar sejati.

Sang Kakek menyerang lagi menggunakan pedangnya. Pria berjubah hitam menghindar ke kiri dan melepaskan sihir elemen api hitam. Sang Kakek menahannya. Lalu menebas lagi. Pria berjubah hitam menahan dengan tangan kirinya.

"Mustahil" kata Sang Kakek. Matanya melotot kaget "Kau tidak terluka dengan pedangku?"

Pria berjubah putih mengeluarkan sihir elemen api hitam dari tangan kanannya. Dan dia arahkan kepada Sang Kakek. Sang Kakek terpental jauh. Sang Kakek berdiri. Dengan cepat pria berjubah hitam sudah berteleportasi di balik punggung Sang Kakek untuk menyerangnya lagi dengan sihir elemen api hitam. Tapi Sang Kakek melakukan teleportasi di balik punggung pria berjubah hitam dengan lebih cepat dan menyerangnya menggunakan pedang. Pria berjubah hitam terpental jauh.

Pria berjubah hitam tergeletak tengkurap menghadap Sang Kakek. Dan punggungnya terluka dan berdarah akibat serangan dari pedang Sang Kakek.

"Ke...kenapa....bi...bisa..?" kata pria berjubah hitam itu menahan sakit.

"Aku sudah menyadarinya sejak awal. Jika aku menyerangmu dengan pedangku dengan cepat saat kau lengah, pedangku bisa mengenaimu. Dan aku dari tadi menunggu saat-saat yang tepat"

Pria berjubah hitam tertawa lalu berkata "Kau memang cerdik"

Sang Kakek berjalan perlahan-lahan menuju pria berjubah hitam itu.

"Kau seharusnya malu kepada dirimu sendiri. Memilih jalan kegelapan sebagai jalan bertarungmu. Sebenarnya apa yang kau cari?"

"Apa yang aku cari?" pria berjubah hitam tersenyum "Aku ingin mencari kebebasan. Untuk itulah aku memilih kegelapan. Karena aku lebih dihargai" tambahnya.

Sang Kakek sudah mendedekat kearah pria berjubah hitam.

"Aku akan membunuhmu. Sebentar lagi kau akan bebas"

"Bunuh saja. Silahkan"

Sang Kakek mengangkat pedangnya. Tapi dia sedikit ragu. Tiba-tiba bayangan hitam yang membentuk sudut meruncing keluar dari tanah dan menusuk punggung Sang Kakek dan tembus ke jantung hingga ke dadanya. Pedangnya jatuh ke tanah dan menghilang.

"Apa!" kata Sang Kakek. Dia mengeluarkan darah dari mulutnya "Kenapa bisa?"

"Kenapa kau tak melakukannya?"

"Apa?"

"Kenapa kau ragu untuk membunuhku?"

***

Ruangan kecil itu remang-remang diterangi oleh lampu minyak. Orang-orang didalam ruangan itu nampak cemas. Menantikan kelahiran seorang bayi. Sang anak terus berusaha melahirkan anak pertamanya sekaligus cucu pertama dari Sang Kakek. Di rumah suaminya dia terus berjuang. Menahan rasa sakit. Ibu dan suaminya terus berada di sampingnya untuk memberi dukungan.

"Terus Rani. Anak kita sebentar lagi akan lahir" kata Sang Suami.

"Uuuuurrrggghhhh...." Rani terus berusaha.

Sang Istri keluar rumah. Dia melihat kelangit dan terpaku sejenak.

"Aku harap kau baik-baik saja" lirihnya dalam hati.

***

Matahari sudah nampak agak tinggi. Kini dunia sudah terang diterangi sang mentari yang menyinari pagi. Burung-burung berkicau riang dan terbang kesana kemari. Sang Kakek terus bertahan. Darahnya terus bercucuran akibat tusukan dari bayangan hitam itu. Sang Kakek terus terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan pria berjubah hitam itu.

"Kenapa? Kenapa kau tidak menjawab? Apa kau sudah tuli?" teriak pria berjubah hitam.

Sang Kakek tetap tidak menjawab. Tangannya mengepal lalu dia melemparkan batu hijau itu ke arah pria berjubah hitam.

"Ambillah. Karena aku sudah kalah"

Angin tiba-tiba berhembus. Tudung pria berjubah hitam terlepas ke belakang kepalanya. Rambutnya lurus rapi. Tatapan matanya bersahabat. Tapi ada bekas luka dari pipi kanannya secara horizontal.

Mata Sang Kakek terbelalak. Melihat sosok wajah yang tidak asing baginya.

"Ka...ka...kau..." Sang Kakek tak sanggup lagi bicara.

Pria berjubah hitam itu bangkit dengan agak susah payah. Dia mengambil batu hijau itu lalu tersenyum.

"Sebagai ucapan terima kasih, aku akan membiarkanmu mati kesakitan"

Bayang hitam yang menusuk Sang Kakek menghilang. Sang Kakek menahan tubuhnya yang hampir jatuh dengan lututnya. Nafasnya sudah pendek dan cepat. Lalu pria berjubah hitam itu menghilang.

Sebelum menghilang seutuhnya, pria berjubah hitam itu berkata "Kau tidak pernah berubah"

Diapun menghilang tanpa jejak.

"Biarpun kekuatan batu itu hanya sedikit dari kekuatan batu yang asli, aku harap tidak terlalu besar " harap Sang Kakek dalam hatinya.

Tibuhnya jatuh. Matanya terpejam. Beberapa saat matanya mengeluarkan air mata.

"Cucu pertamaku sudah lahir"

Sang Kakek tertidur untuk selamanya.

avataravatar