webnovel

Battle of Heaven

“Bagaimana caranya aku melawan mereka? Mereka itu abadi!” Evan tak pernah menduga kalau dirinya berada di dunia paralel. Orang-orang masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi, pedang dan panah sebagai senjata mereka. Sekilas ia seperti tengah melihat citraan jaman pertengahan secara langsung dan nyata. Dunia tersebut terbagi menjadi tiga, dunia manusia, hutan iblis, dan surga malaikat. Ketiga dunia saling bermusuhan satu sama lain dan ras manusia sebagai ras paling lemah di antara ras lainnya. Ketiga dunia terancam perang ketika pemimpin agung yang dihormati mangkat. Evan tahu ada sesuatu yang istimewa dengan dirinya, ia datang membawa kekuatan yang setara dengan para malaikat. Ia pun diminta memimpin pasukan manusia untuk perang dengan para malaikat dan iblis untuk merebut surga yang sejati. Apakah Evan mampu melakukannya? Apakah dia bisa memberikan surga yang manusia inginkan?

Rafaiir_ · Fantasy
Not enough ratings
280 Chs

Perjamuan Kenangan

***

"Apa kau akan tetap memerangi mereka?" tanya Jophiel.

Malaikat itu turun dari angkasa hanya semata-mata hendak bertemu dengan pujaan hatinya. Keduanya tak lagi bertemu di pesisir pantai, melainkan di atas sebuah bukit berbatu sesuai dengan permintaan Jophiel.

"Iya. Satu-satunya jalan untuk menciptakan kedamaian di kerajaan manusia hanyalah dengan memerangi istana," jawab Evan, tegas.

"Aku sangat sedih, belum pernah ada pertumpahan darah yang besar terjadi di kerajaan manusia."

"Kau akan tercatat sebagai manusia pertama yang menyulut perang sesama ras di dunia ini. Apa kau sanggup menanggung sejarah itu?" sambung Jophiel, bertanya untuk meyakinkan Evan kalau pemuda tersebut sudah melakukan semuanya dengan segenap hati.

"Aku tidak keberatan, lagi pula aku bukanlah berasal dari dunia ini," timpal Evan, singkat.

Jophiel terdiam mendengar ucapan Evan. Kaki-kakinya yang berpijak di atas tanah segera melangkah menghampiri dan mendekap tubuh pemuda tersebut di dalam pelukannya. Sangat hangat dan harum, lembut; halus, itulah yang terasa di pikiran Evan ketika Jophiel memeluknya.

"Lalu bagaimana dengan Sophie dan Altair? Apa kau juga akan berperang melawan mereka?" tanya Jophiel, mendengar nama Sophie memunculkan kebimbangan dalam diri Evan.

"Entahlah. Mereka mungkin sudah lupa terhadapku atau bahkan berbalik membenciku saat ini," jawab Evan, lirih.

Jophiel melepas dekapan tubuh Evan, memandang wajah pemuda di depannya dengan seksama. Mata, hidung, dan bibir Evan selalu menjadi sebuah kerinduan yang tak tertahan bagi wanita tersebut, terlebih ketika melihat sikapnya yang teguh dan rela berkorban demi orang banyak.

"Mereka sungguh berperang untuk kejayaan Liviel. Itulah yang kulihat dari kayangan," jelas Jophiel.

Evan menghela napas seraya memejamkan kedua matanya, membayangkan bagaimana jika kedua orang itu berperang melawannya, ditambah ancaman dari Ksatria Agung yang memiliki kekuatan luar biasa. Ia benar-benar harus memikirkan strategi yang cocok untuk melawan ketiganya.

"Terima kasih atas nasihatmu. Aku akan mempersiapkan semuanya untuk melawan mereka," jelas Evan, bangkit dari duduknya dan berpamitan kepada Jophiel.

Senyuman terulas lebar di wajah Jophiel, tangan kanannya terangkat, melambai tanda perpisahan sementara dengan Evan. Ketika langkah pemuda mulai memijak jalan turun dari puncak bukit, Jophiel mulai melayang terbang dan dalam waktu singkat menghilang dengan diiringi hembusan angin.

Laurentia menyambut kedatangan Evan yang turun bukit seorang diri. Ia datang dengan menaiki kudanya seraya membawa gulungan surat yang terikatkan oleh tali pita berwarna emas dan dibubuhi cap khusus istana.

"Cap istana?" tanya Evan, Laurentia mengangguk pelan.

Kedua tangannya segera menarik tali pita tersebut; membuka gulungan kertas pesan dari Istana Liviel untuknya.

Evan membacanya dalam diam, inti dari keseluruhan pesan adalah ajakan makan malam seraya diplomasi lebih lanjut. Mulutnya sontak berdecak ketika melihat permintaan istana untuk tidak mewakilkan jamuan makan malam ini, dengan artian Evan sendiri yang harus pergi ke sana.

"Mereka mengajak kita untuk pergi makan malam di istana," jelas Evan.

"Jangan terima itu, Tuan! Bisa saja mereka menyiapkan sesuatu untuk menjebakmu." Laurentia memberi saran kepada Evan, instingnya yang kuat memang sangat diperlukan oleh Cassariel. Namun, menolak ajakan makan malam dan diplomasi dari mereka sama saja dengan Evan tidak menghargai mereka.

Evan kembali menggulung kertas tersebut dan memberikannya kepada Laurentia untuk disimpan "Kita akan pergi. Kita tidak boleh menunjukan kalau kita takut terhadap ancaman tersembunyi mereka."

Laurentia mendekati tubuh Evan dengan wajah yang sama cemasnya seperti tempo hari ketika ia kehilangan kedua orang tuanya. Ia sangat khawatir bilamana Evan jatuh ke tangan Liviel, maka bisa dipastikan rencana besar untuk menginvasi daratan akan gagal.

"Bagaimana jika kau tertangkap?" tanya Laurentia, memastikan.

"Jika aku tidak mengabarimu selama satu hari penuh. Maka kerahkan pasukan di perbatasan untuk bergerak ke pusat kerajaan."

"Pengerahan pasukan?!" tanya Laurentia, terkejut.

"Iya. Gunakan merpati pos untuk komunikasi ketiganya," saran Evan, Laurentia mengangguk paham.

Keduanya segera pergi melewati perkebunan gandum untuk sampai di gedung pemerintahan Cassariel. Evan juga merasa ada yang ganjil dengan ajakan mereka, di samping penyerangan yang gagal dilakukan oleh Liviel tiga hari lalu.

***

Hari perjamuan tiba. Ia berangkat bersama dengan Laurentia dan beberapa pengawal berpedang. Agenda ini menjadi agenda besar dan sakral, penentuan apakah penyerangan Cassariel akan dilakukan hari ini atau tidak tergantung dengan keadaan.

Iring-iringan kereta kuda mulai melintasi kota-kota yang berada di selatan kerajaan, Ilfhiem, Nafheim. Evan sempat berhenti terlebih dahulu untuk memeriksa kesiapan pasukannya untuk melancarkan serangan ke pusat istana jika Evan terjebak dan dalam situasi berbahaya.

"Selamat datang, Tuan Evan."

"Bagaimana kondisi pasukan?" tanya Evan kepada komandang pasukan di Kota Nafheim.

"Mereka siap bertempur jika sesuatu yang buruk terjadi padamu," tegas komandan pasukan dengan tubuh tegap.

"Sisakan satu kompi untuk melakukan pengamanan dalam kota. Kita tidak tahu kapan para iblis itu akan menyerang," jelas Evan, pria di depannya mengangguk dan segera memberi hormat kepada atasannya tersebut.

Setelah melakukan inspeksi, Evan segera melanjutkan perjalanan menuju pusat kerajaan. Laurentia tetap menemani pemuda tersebut melewati siang dan malam, melindungi iring-iringan Cassariel agar selamat sampai tujuan.

Perjalanan panjang mereka akhirnya terbayarkan tatkala keduanya sudah bisa melihat landscape Ibukota dari atas bukit. Itulah pertahanan terakhir mereka, tembok besar yang sulit untuk dijebol, ditambah lagi dengan penghalang sihir untuk segala bentuk energi sihir malaikat yang hadir.

Iring-iringan Evan mulai menuruni bukit dan berjalan dengan kecepatan pelan mengikuti jalan keramik yang mengantarkan mereka ke depan pintu gerbang ibukota. Kereta kuda Evan terhenti oleh seorang penjaga gerbang, mereka melakukan pemeriksaan atas surat-surat perjalanan, salah satunya surat undangan istana untuk Evan.

"Evan?" tanya penjaga gerbang, kaget.

"Apa kita bisa masuk?" tanya Evan, datar.

Penjaga gerbang yang semula melongo kaget disadarkan oleh pertanyaan Evan. Segera pria di samping kereta kuda Evan memberikan isyarat untuk mempersilakan rombongan Evan masuk ke dalam ibukota.

Tibalah tempat yang banyak menyimpan kenangan buruk bagi Evan. Ia melihat beberapa penduduk ibukota menyambut kedatangan Evan layaknya pahlawan, mereka benar-benar terpukau dengan kemampuan manajemen daerah hingga membuat Pulau Cassariel menjadi pulau penting di kerajaan.

Tak hanya mereka yang menyambut dengan suka cita, orang-orang yang membenci Cassariel pun terlihat melalui ekspresi wajah yang jelas. Evan menyoroti buah tangan yang mereka genggam di samping iring-iringan Evan.

"Laurentia, tutup kacamu."

"Tutup kaca? Memangnya—"

Lemparan telur busuk seketika terjadi, mereka yang membenci Evan jauh lebih banyak dibandingkan yang mendukung. Hal itu menyebabkan kereta kuda Evan menimbulkan bau busuk yag menyengat, Laurentia pun harus menerima lemparan mereka karena tidak segera menutup kaca sesuai yang Evan perintahkan.

"Busuk!" keluh Laurentia, membersihkan wajah dan pakaiannya dengan lap kering yang ia bawa.

Evan merasa sangat sedih. Mereka hanya melihat Evan dari sisi istana saja, tidak pernah melihat pemuda tersebut dari sisi yang berbeda.

Melihat kerusuhan yang mulai terjadi membuat kepolisian mulai mengamankan jalur bagi Evan. Setelah kepolisian datang, mereka tak lagi berani untuk melemparkan apa pun karena takut akan kurungan penjara.

Kereta kuda Evan berhenti di depan gerbang Ibukota, pemuda itu memberi pesan kalau Laurentia akan berjaga di luar sini seraya menunggu Evan selesai melakukan diplomasi. Wanita itu yang akan menjadi pemegang peran penting untuk menyampaikan pesan ke tiga kota jika sesuatu berbahaya terjadi pada Evan.

Pintu kereta terbuka, Evan turun dengan mengenakkan pakaian militer berwarna putih dengan tongkat komando yang tergenggam di tangan kanannya. Penampilannya jauh lebih menarik ditambah dengan wajahnya yang tampan dan umurnya yang masihlah muda.

Menyadari kalau tamu Raja sudah tiba, pintu gerbang istana terbuka dan terpampanglah Raja beserta jajarannya yang berdiri di belakang Alexandre. Evan segera melangkah mendekati mereka dengan tetap berdiri tegap.

Kedua manik mata Evan membelalak kaget, mulutnya tak bisa menutup dan langkahnya terhenti tatkala melihat tiga teman perjuangannya, berada di pihak musuh dengan wajah penuh kemarahan dan kebencian pada Evan.

"Sophie," gumam Evan, senang bercampur sedih.

Kerinduannya harus sirna tatkala melihat Ksatria Agung berada di samping wanita tersebut, ditambah seorang anak laki-laki berusia satu tahun yang berada digendongan Maximillian ke-7.

Laurentia memfokuskan pandangannya, ia bingung kenapa Evan terhenti di tengah perjalanan.

"Ada apa, Tuan Evan?" tanya Alexandre, berjalan menghampiri pemuda tersebut yang sontak membuyarkan lamunannya akan Sophie dan keluarga kecilnya bersama Maximillian.

Evan tersenyum seraya menghela napas, mencoba menahan rasa sedih dan kecewa yang sudah bercampur aduk menjadi satu. Mereka tidak boleh melihat raut kesedihan Evan, tidak ada yang berhak mengetahui kelemahan Evan.

"Tidak ada, Yang Mulia Alexandre."

"Bagaimana jika kita mengobrol di dalam, aku sangat terpukau dengan kepemimpinamu di Cassariel," pinta Alexandre, hangat.

Evan mengangguk dengan tetap memandang Sophie dengan tatapan sendu. Setidaknya ia harus bisa melepaskan wanita itu dengan lapang dada. Ia sadar, cinta dan perasaan seseorang tidak boleh dipaksakan.

Ketika Evan berjalan mendekati pintu istana, telingannya mendengar sesuatu dari arah sampingnya. Ia melirik dan melihat Ponrak yang ternyata berada di sana dengan tetap berekspresi yang sama, penuh kemarahan.

"Kau tidak akan bisa lolos dariku, Pengkhianat!"

Creation is hard, cheer me up!

Like it ? Add to library!

Rafaiir_creators' thoughts