webnovel

Anak yang Sama Persis

Translator: Wave Literature Editor: Wave Literature

"Valerie Sunyoto!"

Jenny yang tadinya menundukkan kepala dan bermain game di ponselnya menunjuk papan nama yang dipegang oleh Steven. Dia membaca nama yang tertulis di atasnya dengan lembut dan bertanya kepada ibunya dengan penuh semangat, "Apakah aku membacanya dengan benar?"

Selama ini, Jenny tumbuh besar di luar negeri dan dia memiliki kemampuan membaca dengan sangat baik. Valerie menggosok-gosok kepala Jenny, lalu menjawab dengan suara jernih, "Benar."

Steven terpesona dengan senyuman yang terlukis di bibir Jenny. Dalam hatinya, dia berkata dengan terheran-heran, Sejak kapan Valerie telah menjadi seorang wanita cantik seperti ini? Bahkan dia lebih cantik daripada bintang-bintang di langit!

Valerie tidak menghiraukan tatapan mata Steven yang berapi-api. Sebaliknya, Jenny mengedipkan matanya dan bertanya dengan polos, "Paman, apakah Paman datang untuk menjemput…"

Sebelum Jenny sempat menyelesaikan kalimatnya, Steven buru-buru melemparkan papan nama yang dipegangnya dan memotong kalimat Jenny, "Tentu saja tidak! Adik kecil, aku sama sekali tak memiliki hubungan dengan si gemuk ini!"

Sepasang mata Jenny yang besar dan bulat memperlihatkan tatapan jijik, lalu berkata kepada Steven, "Paman, betapa menyedihkannya dirimu. Paman masih muda, tapi sudah buta! Cih!"

Mana mungkin ibunya gemuk?!

Steven tercengang mendengar kata-kata gadis kecil ini. Sambil mengambil keuntungan dari kesempatan ini, Valerie melangkah maju dan beranjak meninggalkan tempat itu dengan sikap yang dingin.

Tepat pada saat Steven ingin mengejar Valerie, asistennya yang berada di dekatnya menghentikan aksinya, "Tuan Muda, jangan lupa apa yang diperintahkan Tuan Besar."

Sambil memandang punggung Valerie yang berjalan meninggalkannya, perut Steven terasa mual hingga ingin muntah saat dia menanggapi ucapan asistennya, "Katamu dia buruk rupa! Jika dia cantik seperti kakak-beradik ini, bukankah itu lebih baik? Saat itu aku akan menahannya dan tidak akan membatalkan pernikahan!"

....

Lantai pertama di hotel milik Grup Hartono.

Valerie menatap ponselnya ketika Jenny sudah berbaring dan tertidur di dalam kamar direktur. Dia melihat pemberitahuan di ponselnya dan ada tujuh atau delapan panggilan tak terjawab yang semuanya berasal dari keluarga Sunyoto.

Saat Valerie pulang, Harry tak henti-hentinya menggerutu kepadanya, "Valerie, apa yang kau lakukan? Mengapa kau tidak menjawab teleponnya? Bukankah kau pulang untuk meributkan hal tentang pembatalan pernikahan? Karena itu, cepatlah pulang! Jangan menunda urusan adikmu dan Tuan Muda Gunawan!"

Harry tak mungkin melepaskan kesempatan baik ini. Inilah yang juga menjadi alasan mengapa Harry bersikeras tidak menyetujui pembatalan pernikahan ini. Sekarang keluarga Gunawan akhirnya melepaskan Valerie dan setuju untuk menikahi saudara tiri Valerie. Harry sama sekali tidak rugi dan akhirnya kedua keluarga itu mencapai kata sepakat.

Valerie hanya berkata dengan santai, "Sekarang kita pulang."

Valerie menyerahkan Jenny kepada pengasuhnya, Bibi Lina, yang ikut pulang dengannya. Kemudian, Valerie pergi keluar.

Saat sedang menunggu lift, Valerie mendadak mendengar suara langkah kaki yang samar. Dia menoleh dan melihat putrinya sedang mengenakan piyama sutra berwarna abu-abu. Rambut pendeknya berantakan dan matanya terlihat mengantuk. Anak itu berdiri di depan lift.

Jenny, anak perempuan Valerie, mempunyai rambut pendek dengan kulit yang halus dan cantik. Namun, jika dilihat sekilas dari penampilannya, susah untuk bisa membedakan apakah dia seorang anak laki-laki atau perempuan.

Saat masih berada di luar negeri, Jenny selalu memeluk Valerie setiap kali ibunya itu akan pergi. Jadi, Valerie tidak terlalu banyak berpikir lagi. Dia sudah terbiasa berjongkok dan memeluk putrinya itu, lalu mencium keningnya.

Suara Valerie terdengar pelan dan rendah, tapi lembut saat berkata, "Sayangku, Ibu akan membelikanmu kue mousse malam ini. Sekarang, segeralah kembali ke kamar."

Mata Jenny yang biasanya ceria menjadi tercengang dan terlihat konyol. Kemudian, dia mengangguk dan berjalan kembali ke kamarnya.

Lantai ini adalah presidential suite yang termewah dan hanya terdapat dua kamar. Selain kamar yang sedang mereka tempati, kamar yang satu lagi adalah kamar yang biasa ditempati oleh keluarga Hartono dan sama sekali tidak disewakan untuk orang lain. Seharusnya saat ini tidak ada orang yang menempati kamar itu.

Ting!

Terdengar suara yang menandakan lift telah tiba. Valerie langsung masuk ke dalam lift. Dia sama sekali tidak melihat bahwa kamar presidential suite yang satu lagi sedang terbuka saat itu. 

Sosok pria yang tinggi dan atletis berjalan keluar dari dalam kamar itu dan memunggungi pintu masuk lift. Suaranya terdengar rendah dengan aura yang sulit dijelaskan. Pria itu sedang memerintahkan anaknya, "Anthony, kembalilah ke kamar."

Anthony, anak yang berusia lima tahun itu, menatap ke arah lift. Pelukan lembut Valerie dan ciuman di kening Jenny membuat wajahnya memerah dan tersipu sebagai Tuan Muda dari keluarga Hartono.

Anthony Hartono mengencangkan wajahnya. Sejak dia masih kecil, dia telah menerima pendidikan yang begitu ketat. Bahkan, setiap kali dia akan makan, dia harus menghitung nutrisi di dalam makanannya dengan cermat.

Anak itu menahan diri dan mendadak terpikirkan sebuah ide yang cukup cemerlang. "Aku ingin makan kue mousse."

"..." Suasana menjadi hening sejenak. Edward melirik anak itu sekilas. Dengan satu tangan, dia memegang anak itu dan membawanya ke kamar.

Edward mengembuskan napas dingin, lalu berjalan ke arah komputer dan melanjutkan konferensi video. Orang yang sedang berbicara dengannya di konferensi video itu memberikan laporan, "Direktur, kami telah mengkonfirmasi bahwa Anti telah kembali. Kami baru saja membeli fotonya dari seseorang dengan harga tinggi. Saya akan segera mengirimkannya kepada Anda."

Bibir tipis Edward terbuka dan dia langsung bereaksi cepat, "Cari dia!"

....

Vila keluarga Sunyoto dihiasi dengan berbagai lampu, membuat suasana vila itu terang benderang. Di depan pintu gerbang, Valerie mendengar perintah otomatis sistem yang mengatakan bahwa dia salah memasukkan kode sandi. Seulas senyuman sinis terukir dari sudut bibirnya.

Rupanya kode sandi sudah diubah dan aku sebagai putrinya ini malah tidak tahu sama sekali ada perubahan yang terjadi, pikir Valerie.

Valerie menurunkan pandangan matanya. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dan mengetukkan ponselnya secara acak di mesin pemindai. Setelah beberapa detik kemudian, pintu gerbang terbuka.

Suara riuh rendah yang memancarkan rasa kegembiraan dan keramaian di ruang tamu membuat Valerie sadar bahwa hari ini adalah hari ulang tahun adiknya, Natalie Sunyoto.

Saat melihat bahwa tak ada seorang pun yang menyadari kedatangannya, Valerie duduk di sebuah sofa di sudut ruangan. Dia ingin tidur sebentar dan beristirahat. Tak ada seorang pun yang menyadari situasi di teras karena sama sekali tidak dijaga.

Beberapa anak muda sedang mengelilingi seorang gadis dan melakukan kekerasan. Natalie mengenakan gaun berwarna biru. Tangannya memegang segelas anggur merah dan dengan sinis memandang seorang gadis yang didorong hingga jatuh terjerembab ke lantai. Gadis ini adalah Sheila Rahmat, putri bibinya, yang punya hubungan pertemanan yang baik dengan Valerie.

Plak!

Seseorang baru saja menampar pipi Sheila dengan keras dan membentaknya, "Kau baru saja mengatakan bahwa si gendut itu wajahnya cukup cantik?" 

"Ssshh…"

Wanita itu menyiram mata Sheila dengan air cabai dan memakinya lagi, "Si jelek itu bahkan memiliki kepala dan wajah seperti seekor babi! Bahkan dia tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seujung kukuku! Sheila, mengapa menurutmu dia cantik?"

Rasa sakit dan juga panas membuat Sheila ingin berteriak sekuat tenaga. Tetapi, seseorang sedang membekap mulutnya dan dia hanya bisa tersedak sambil menahan rasa sakit.

Natalie langsung berjongkok. Dia mengambil selembar foto Valerie saat dia masih tambun dan memainkannya dengan tangannya. "Aduh, kalian terlalu kasar."

Saat yang lain sedang mendengar kata-kata Natalie, mereka tersenyum dan melepaskan Sheila. Dalam situasi tersudut, Sheila menutupi matanya yang merah dan bengkak sambil berseru memelas, "Kumohon, lepaskanlah aku…"

Natalie hanya tersenyum dingin sambil berkata, "Mari kita lakukan sesuatu dan kita akan pasang taruhan."

Suara Sheila terdengar serak saat menyahut, "Taruhan apa?"

Jari Natalie menunjuk ke arah foto lama Valerie, lalu berkata lagi, "Jika kau bisa membuktikan bahwa dia benar-benar cantik setelah berhasil menurunkan berat badan, aku akan memakan foto ini. Bagaimana? Ini cukup adil, bukan?"

Kalimat Natalie itu diakhiri dengan ledakan tawa dari orang-orang di sekelilingnya.

Sheila dengan perasaan yang penuh keraguan berkata, "Tapi, jika si gemuk itu tak bisa menurunkan berat badannya, lalu bagaimana?"

"Demi taruhan, apakah perlu sedot lemak dan memverifikasi bahwa dia jelek dan gemuk? Hahaha…" ujar Natalie menanggapi Sheila.

"Sheila, kau tak bisa membuktikan bahwa dia cantik dan langsing, jadi…"

"Makan fotonya! Makan fotonya!" Semua orang bertepuk tangan dan seketika mencemooh Sheila yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Natalie menyerahkan foto itu secara langsung kepada Sheila dan berkata dengan nada menantang, "Apakah kau yang akan memakannya sendiri, atau kau butuh bantuan dari kami agar kau memakannya?"

Next chapter