1 Prolog

Basah dan Bergairah

.

Petir menyambar.

Nirmala menjerit, diiringi gelegar guntur dari langit. Tidak berapa lama, suara tangis bayi membahana. Air mata haru jatuh berderai, disambut cahaya kilat menyambar. Sekejap, langit dan semesta menjadi terang benderang.

Dukun anak paruh baya meminta pembantunya agar lekas-lekas memandikan si bayi.

Di luar, angin menderu keras. Pohon-pohon meliuk menyebabkan beberapa dahan berpatahan. Air sungai meluap hingga dengan cepat menimbulkan banjir besar. Beberapa tanggul jebol, membuat suasana kian riuh diliputi kepanikan.

Bersamaan dengan cahaya kilat menyambar, pintu ruangan terbuka lebar. Seorang pria berpakaian pelayan masuk terburu-buru. Ia celingak-celinguk seakan-akan takut akan sesuatu. Mata kecokelatannya memandang hampa pada Nirmala yang tampak sangat lelah juga gelisah.

"Bawa ... bawa bayi itu!" Nirmala mengucap lirih. Air matanya berderai lebih deras, menyaingi lebat hujan.

Mengangguk, pria berpakaian pelayan gesit meraih bayi yang baru saja selesai dimandikan. Ia membungkus bayi merah itu dengan sehelai kain beledu tebal berwarna merah bata. Tanpa basa-basi, buru-buru melangkah ke muka pintu.

"Lendra ... terima kasih," ucap Nirmala, parau.

Spontanitas, Lendra menghentikan langkah di ambang pintu. Namun, hanya sekejap. Tanpa mengucap apa-apa, ia berlari pergi.

Hujan lebat semakin rapat. Air bah menggenang, memasuki halaman Keraton Baiduri. Para prajurit kalang kabut kian kemari, berupaya sekuat tenaga menghalau banjir. Dalam kekacauan, seorang pelayan yang membawa bayi, mengendap-endap seperti ingin melarikan diri.

Lendra bersembunyi di balik pilar. Bayi dalam pangkuannya ditutupi kain tipis berwarna hitam. Ia menyelinap di antara bunga-bunga kertas (bugenvil). Namun, saat mencoba melewati pintu gerbang, seorang prajurit menegurnya.

"Pelayan, Len. Kau mau ke mana?" Seorang prajurit berkumis lebat menatap, menyelisik.

"A-anu ... Raden Ayu Nirmala meminta saya──" Lendra tersentak. Tidak mampu lagi meneruskan kalimat karena dari arah samping kiri dan kanan halaman, muncul pasukan Wangkara; pasukan yang saat ini tengah menjajah kerajaan-kerajaan di wilayah Cataka──termasuk Kerajaan Baiduri.

"Tangkap pelayan itu!" seru salah satu prajurit Wangkara.

Menggertakkan gigi, Lendra mengeratkan boyongannya pada si bayi. Tanpa basa-basi lagi, ambil langkah seribu, berlari sekencang yang ia mampu. Bersamaan dengan kilat menyambar, guntur menggelegar, pasukan Wangkara mengejar.

Lendra berlari menerobos deras hujan dan air bah setinggi setengah betis. Kedua mata hitamnya memandang lurus ke depan. Abai pada suara nyaring kecipak kaki-kaki kuda yang mengejar di belakang. Ia harus fokus, tidak boleh menoleh. Sebab, sekali saja melongok ke belakang. Niscaya nyali yang dimiliki pasti ciut, melebur hancur.

"Panah!" titah hulubalang pasukan yang mengejar.

Belasan gandewa terpentang, belasan anak panah berlesitan.

Menabahkan hati, Lendra tetap fokus ke depan, tak menoleh ke belakang. Ia mengandalkan pendengaran agar bisa mengenali arah serangan. Gesit, melakukan gerakan jungkir-balik di udara laksana manuver akrobatik. Semua anak panah masuk ke dalam air, berhasil dielakkan.

Jarak hulubalang pasukan yang menghunuskan pedang panjang dengan Lendra hanya tinggal beberapa depa saja.

"Berhenti! Serahkan bayi itu atau tubuhmu kami cincang pelayan rendahan!" ancam si hulubalang pasukan, menggelegar.

Tak mengindahkan, Lendra terus saja menambah kecepatan. Anak panah masih terus berdatangan, berderu memburu. Meski memiliki gerakkan yang cukup gesit dan cekat, tak urung dua anak panah menancap juga. Satu di lengan kiri, satu lagi di punggung sebelah kanan. Namun, sekalipun sudah terluka sedemikian rupa, ia tak patah berupaya.

Di depan sana merupakan pedesaan yang terendam banjir. Warga sibuk kian kemari menyelamatkan diri maupun harta duniawi. Hal ini memberi sedikit keringanan bagi Lendra karena para prajurit Wangkara berhenti memanahi. Mungkin, mereka takut salah bidik atau meleset mengenai warga.

Langit kelabu semakin pekat mengelam. Hujan enggan berhenti dan malah semakin menjadi-jadi. Kaki Lendra menginjak sesuatu yang licin di bawah air. Ia terhuyung, hampir saja bayi dalam dekapannya mencelat jatuh. Beruntung, masih sempat bersangga pada serambi rumah yang terendam air banjir. Namun, siapa nyana. Hal itu justru memberi kesempatan pada si hulubalang pasukan Wangkara untuk semakin mendekat.

"Brettt!"

Pakaian belakang Lendra robek besar bersamaan dengan kulit punggung terkoyak dalam. Bilah tajam pedang si hulubalang berhasil menebas.

Menggeram, Lendra menggertakkan gigi. Mengabaikan rasa sakit tidak alang kepalang, ia menggerakkan kaki. Berlari menerobos banjir, menerjang membelah badai. Menabahkan hati memohon pertolongan Sang Ilahi.

Untuk menghindari pasukan berkuda, Lendra berlari ke arah Hutan Kinara. Di sini, pohon-pohon kiara dan mahoni tumbuh besar-besar serta rapat. Perdu dan semak belukar tumbuh subur. Sulur-sulur malang melintang laksana jerat-jerat maut bagi langkah kuda.

Ringkikkan nyaring membelah langit, disahuti gelegar guntur menggetarkan gendang telinga. Dua kuda pasukan Wangkara jatuh terjungkal akibat tersangkut sulur. Belasan lainnya masih berusaha mengejar, tetapi menemui kesukaran. Akar dan tumbuhan sulur amat sulit dihindari. Belum lagi semak belukar dan medan tanah yang terjal. Selang berapa lama, satu kuda kembali meringkik, tubuhnya dan si penunggang hilang ditelan jurang.

Hulubalang pasukan mengangkat tangan. "Cukup! Kita kembali saja dan menunggu di tepi hutan. Bagaimanapun, dia tidak mungkin hidup di hutan selamanya. Begitu nanti dia keluar, langsung kita habisi. "

Usai memuntahkan kata-katanya, si hulubalang lekas memutar kuda. Para prajurit lainnya melakukan hal serupa.

Bersambung ....

avataravatar
Next chapter