3 Perompak Tengkorak Merah

Basah dan Bergairah

.

Suara tawa bergelak terbahak-bahak, Dursila melompat ke geladak. Ia bertolak pinggang, memandang garang penuh kebengisan. Gigi-giginya yang runcing tajam berwarna hitam, mirip gerigi gergaji, membuat siapa pun yang melihat hati menjadi jeri.

Kapten Perompak Tengkorak Merah itu terus saja terkekeh-kekeh panjang, bertolak pinggang. Kedua matanya yang merah menyala berkeling, berkeliling. Saat menyeringai, wajah jeleknya menjadi bertambah tengik.

Para awak Perompak Tengkorak Merah satu-satu melompat ke geladak kapal sasaran. Dalam kemerahan sinar rembulan, tampak mereka semua memiliki kuku-kuku panjang hitam. Namun, yang paling mengerikan sekaligus menjijikkan. Air liur tak henti-henti mengucur keluar dari mulut, membasahi leher.

Salah satu awak Perompak Tengkorak Merah memiliki tubuh sangat tinggi, hampir dua kali lipat orang biasa. Ia bernama Jangak Julung. Rambutnya gimbal lecek, menjuntai sampai ke bahu. Mata cekung belo, berewokan, jenggot dan kumis lebat berjebai.

"Kalian semua, mulailah berpesta pora!" pekik Dursila sambil terus mengkekeh.

Rampung kata diucap, para awak Perompak Tengkorak Merah langsung melaung. Mereka berteriak, melolong tinggi menatap sang rembulan berwarna kemerah-merahan. Lolongan tinggi yang memberdirikan bulu roma dan membawa serangkum kengerian menjerikan. Air liur menjijikkan menetes bercucuran, membawa aroma tidak sedap dan menyesakkan paru-paru.

Para awak Perompak Tengkorak Merah menyebar ke seluruh penjuru kapal. Kebanyakan dari mereka tidak berdiri tegak, melainkan sedikit bungkuk seperti tak memiliki tulang punggung. Gerakan agak cenderung lamban. Namun, tak bisa dihentikan.

Dari sebelah kiri geladak kapal, tiba-tiba terdengar seorang penumpang paruh baya meraung keras, perutnya robek besar kena dicakar. Di sisi dekat anjungan, seorang wanita dewasa menjerit histeris. Pakaian koyak wanita itu terbang diembus angin.

Tak ayal, jerit tangis menggema membahana. Ratap rintih membuhul, menjulang sampai ke awang-awang. Suasana diliputi kengerian pekat dan tebal bergelintin. Desah pilu mengalun menyayat kalbu. Jerit putus asa mengangkasa di jumantara. Teriakan menjelang kematian bergulung bersama angin. Semua bercampur berbaur, menjadi satu kesatuan menggidikkan bulu roma.

Seorang wanita berpinggang langsing berbaju kuning, menangis histeris. Bibirnya robek, mengucurkan darah segara hingga ke leher. Ia mundur perlahan seraya menggeleng-geleng pelan. Rambut panjangnya awut-awutan, berkibar-kibar diterpa angin malam. Salah satu awak Perompak Tengkorak Merah tiba-tiba saja melompat, menerkam wanita itu. Terdengar jeritan melengking tinggi, kemudian teredam, menyisakan rintihan samar.

Di bagian buritan kapal, seorang pemuda belia dengan berani menantang. "Kemarilah kalian, biar kutebas."

Usai mengucap, si pemuda bernyali tinggi berbaju nila melompat membacokkan golok dengan sebat. Namun, ia begitu terkejut mendapati awak Perompak Tengkorak Merah tidak berusaha menghindar sama sekali.

Crash!

Bilah tajam golok memapas leher, darah bermuncratan. Namun, sungguh di luar nalar. Awak Perompak Tengkorak Merah sama sekali tidak memberikan reaksi, seakan-akan tidak merasakan sakit barang sedikit.

Di tengah rasa keterkejutan, si pemuda belia berbaju nila menjadi lengah. Tahu-tahu si awak Perompak Tengkorak Merah balas melayangkan cakaran. Malang menyambang tak dapat dielakkan. Si pemuda menjerit nyaring melengking, pakaian serta dagingnya terkoyak. Belum mampu ia mengendalikan diri. Dua awak lain tiba-tiba melompat dari belakang, mencakar pinggang dan tengkuk, menahan tubuhnya. Si pemuda mengerang kesakitan, meronta-ronta. Perutnya dicakar dari depan, usus-ususnya berbusaian keluar. Dalam penderitaan memilukan, pemuda itu pun meregang nyawa.

<>

Di geladak, Jangak Julung melompat ke hadapan Sanjaya. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang runcing tajam berwarna hitam. Air liur menetes dari celah bibirnya yang dower. Sangat menjijikkan.

Sanjaya cepat-cepat mencabut pedang yang tersisip di punggung. Ia memasang kuda-kuda kokoh, siap menyongsong datangnya serangan. Di dalam hati, giat berdoa pada Yang Maha Kuasa agar senantiasa diberkahi perlindungan.

Mengeratkan genggaman pada gagang pedang, Sanjaya sangat menyesal. Ia tidak bisa melindungi wanita menarik hati yang baru beberapa waktu lalu dikenal. Di saat sekarang, jangankan melindungi orang lain, mempertahankan diri sendiri pun belum tentu mampu. Kala ini, Linara pun sudah sibuk berjibaku mempertahankan diri, beberapa depa dari tempat Sanjaya berdiri.

"Mati ... mati ... mati ...." Jangak Julung memandangi Sanjaya, sedetik kemudian melompat menerjang. Kuku-kukunya yang panjang terpentang, mengincar area jantung lawan. Angin dari serangan bersiuran.

Sanjaya tidak tinggal diam, bilah pedang di sabetkan memapas ke lengan. Namun, apa yang terjadi sungguh sukar dimengerti akal sehat. Suara berdenting nyaring menggema. Mata pedang yang menebas tulang ibarat bertemu sebatang besi.

Belum habis rasa terkejut Sanjaya, cakaran tangan kiri Jangak Julung datang secepat embusan angin. Hawa dingin angin cakaran menerpa wajah. Pemuda itu lekas-lekas melompat mundur ke belakang. Namun, terlambat.

Brett!

Pakaian Sanjaya robek, kulitnya mengelupas dan darah mencuat keluar membasahi baju. Meringis, ia cepat-cepat mengalirkan tenaga dalam pada luka di dadanya. Menekan hawa dingin aneh yang menjalar dari bekas cakaran.

Darah juga mengalir dari lengan Jangak Julung. Namun, pria berwajah tengik ini sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Sebaliknya, ia malah menyeringai lebar. Membuat tampang buruknya menjadi tambah angker menyeramkan.

Darah awak Perompak Tengkorak Merah bukanlah berwarna merah, melainkan hitam. Menurut rumor di kalangan pelaut maupun para nelayan. Konon, Dursila telah bekerja sama dengan siluman hitam. Jadi, ia dan para awaknya tidak dapat mati atau dibunuh. Mereka memiliki tulang sekuat besi serta proses penyembuhan luka luar biasa cepat. Dalam waktu sekejapan mata saja, luka-luka menganga dapat kembali rapat seperti sedia kala.

Selama ini, Sanjaya selalu menganggap bahwa mitos tersebut adalah cerita kosong karangan para pujangga. Namun, sekarang ia saksikan sendiri kebenaran. Tak ayal, hatinya menjadi kecut. Keringat dingin membasahi punggung. Meski kemampuan bela diri yang ia miliki tidak dapat dibilang rendah, tetap saja berat menghadapi makhluk berkekuatan aneh misterius seperti para awak Perompak Tengkorak Merah.

"Mati ... mati ... mati ...." Kembali Jangak Julung berkata. Sejurus kemudian, ia menerjang ganas. Kuku-kuku hitam dan panjang merentang. Kali ini, mengincar leher.

Tentu saja, Sanjaya pun tak tinggal diam. Namun, kali ini ia tidak berusaha menebas lengan lawan, melainkan berkelit menghindari serangan. Ia merunduk lantas mengirimkan tendangan keras ke pinggang.

Kena!

Tubuh Jangak Julung terhuyung-huyung.

Kesempatan ini dimanfaatkan Sanjaya untuk melarikan diri. Namun, tidak mudah lari dari awak Perompak Tengkorak Merah. Baru juga hendak berlari, tahu-tahu Jangak Julung berjumpalitan di udara dan menjegal jalan. Tidak seperti awak lain, gerakan Jangak Julung gesit, tidak lamban.

Mau tidak mau, suka tidak suka. Sanjaya pun harus kembali melayani si muka tengik Jangak Julung untuk mempertahankan nyawa.

<>

Di sisi lain, Linara memungut tombak yang entah milik siapa. Menggunakan tombak itu, ia memukul awak-awak Perompak Tengkorak Merah. Kemampuan yang dimiliki gadis ini memang tidak rendah. Beberapa kali ia berhasil melempar para awak pengabdi setan itu hingga membentur langkan kapal. Namun, tetap saja mereka kembali, seakan tidak bisa merasakan sakit.

Lama-lama, tenaga Linara mulai terkikis juga. Peluh bercucuran, napas engap-engapan. Akan tetapi, para awak siluman terus saja berdatangan. Mereka benar-benar tidak dapat dilukai. Tidak ada jalan melarikan diri. Melompat ke laut akan dimakan ikan ganas. Namun, melawan pun tiada guna. Ini sungguh-sungguh mengerikan, membuat putus asa.

Harus bagaimana?

Linara melangkah mundur pelan-pelan, menghunus tombak. Justru di saat itu, Dursila malah melompat ke hadapannya. Hampir saja gadis ini memekik saking merasa kaget. Ia bergidik ngeri ketika memandang makhluk buruk rupa bermimik cabul di depannya.

Rambut awut-awutan Dursila berkibar-kibar ditiup angin. Ketika menyeringai, wajahnya yang buruk menjadi bertambah jelek memuakkan. Ia memandang nista pada Linara, kemudian tertawa bergelak terbahak-bahak.

"Duh, aduh. Nyai, kau hebat juga mampu bertahan begini lama. Rupa-rupanya kau punya sedikit kemampuan, hingga mampu melempar anak-anak buahku. Namun, tak apa. Biar aku sendiri yang menjamah tubuhmu itu," kata Dursila, memandang mesum.

"Cabul!" Linara memandang sengit. Mengeratkan genggaman pada gagang tombak. Namun, jauh di ceruk hati, tak bisa dipungkiri, ia merasa ngeri.

"Hahahaha." Tawa berkakakan Dursila semakin keras menggema di seluruh segara. "Memang aku cabul! Dan kau harus mau menjadi korban kecabulanku itu! Hahaha ... mari ayo kemari, buka bajumu, Nyai."

Usai habis mengucap, Dursila langsung memelesat. Cepat seperti embusan angin. Tangan kiri yang merupakan sambungan alumunium berusaha mengait cadar Linara. Namun, gadis itu cepat menunduk.

Linara maklum, luka sayatan atau sabetan sama sekali tidak memberikan efek. Jadi, ia lebih menekankan pada hantaman atau pukulan. Ujung tombak tidak digunakan untuk menebas, melainkan menggebuk atau menempeleng. Namun, tidak seperti para awaknya. Ternyata kehebatan Dursila memang sangat luar biasa. Begitu tombak kena menggebuk sisi kepalanya, malah senjata itu yang patah dua.

Kaget tidak kepalang, Linara mundur beberapa langkah. Rasa takut mulai menjalari hati sanubari. Dari arah depan, Dursila kembali menerjang, kuku-kuku panjang di tangan kanan merentang ingin menyambar kain cadar.

Linara merunduk, tetapi tangan kiri Dursila bergerak pula ke bagian dada. Terpaksa ia jatuhkan diri. Namun, si pria buruk rupa tak tinggal diam, cepat memburu. Pemimpin Perompak Tengkorak Merah itu berhasil menginjak ujung jubah, lantas menariknya hingga lepas.

Kini, kelihatanlah rambut panjang Linara sampai ke pinggul. Gadis ini coba mengatur napas yang tersengal-sengal. Akan tetapi, lawan tak mau memberi kesempatan. Napas masih megap-megap, serangan sudah menyergap. Ia coba berkelit ketika kuku panjang masih penasaran ingin menarik selarik cadar. Namun, kemampuan Linara dan si lelaki buruk rupa terlampau jauh, ibarat semangkuk air berbanding samudra luas. Tak berapa lama, selarik kain itu pun berhasil ditarik juga. Tidak hanya itu, Dursila juga berhasil mengait pakaian si gadis hingga robek besar di bagian dada sebelah kanan.

Linara memekik terkejut, raut wajahnya menjadi bertambah panik.

"Hahaha ... Nyai, kau cantik juga. Sini, sini, biar aku dekap tubuh mulusmu itu." Dursila mengelap air liurnya yang menetes. Ia berjalan pelan-pelan mendekati sang dara.

Sanjaya yang mendengar pekikkan Linara menoleh. Ia ingin menghampiri dan menolong. Namun, Jangak Julung tidak mau melepaskannya. Meski sangat ingin membantu, ia tidak berdaya. Hanya mampu berdoa pada Yang Maha Kuasa agar melindungi gadis kenalan yang menarik hatinya.

Jarak Dursila dan Linara hanya tinggal tiga empat langkah saja.

"Gadis manis, ayo, kemari." Dursila mengulurkan tangan.

Lantaran sudah tidak memiliki senjata, terpaksa Linara menepis tangan Dursila dengan tangannya. Namun, rasa sakit berdenyut langsung menjalar, akibat benturan tersebut. Ia tak pedulikan. Kaki kanannya bergerak menendang perut si buruk rupa.

Dursila sama sekali tak menghindar, ia biarkan tendangan mendarat di perutnya. Bukannya merasa sakit, ia malah tertawa berkakakan. Cepat tangan kanannya menangkap kaki mungil tersebut sebelum ditarik kembali. Menggunakan kail di tangan kiri, ia merobek kain di bagian betis si gadis. Bukan hanya kain, tetapi kulit Linara juga ikut tersayat, darah segar pun mengucur.

Meringis, Linara berusaha menarik-narik kakinya. Namun, tidak bisa. Dursila terlalu kuat mencengkeram. Bukannya lepas, tubuhnya malah terpelanting dibanting. Linara merintih tertahan, bahu kirinya serasa berpatahan. Susah payah ia bangkit berdiri dan betapa terkejut saat mendapati Dursila telah menanggalkan semua pakaian. Benar-benar memualkan, ia sangat ingin muntah.

"Nah, Manis. Ayo buru kemari." Dursila berjalan perlahan.

Linara menatap ke bawah, ikan-ikan ganas pemangsa manusia berseliweran ke sana kemari. Ia menelan ludah. Sungguh tidak menyangka sama sekali, perjalanan pertamanya langsung menemui kesulitan luar biasa. Baru juga selangkah, tetapi harus sudah menghadapi kejadian hidup dan mati. Sungguh menyayat hati.

Menggertakkan gigi, Linara memekik nyaring lantas melompat; sepersekian detik sebelum Dursila berhasil merengkuh, memeluk tubuhnya.

Byur!

Tubuh Linara jatuh ke laut.

Sejenak, Dursila hanya mematung cengo. Sungguh tidak menyangka gadis itu akan memilih nekat. Hatinya jadi terasa mangkel. Sungguh sayang, si jelita hilang begitu saja. Ia terlalu diburu nafsu hingga lupa memperkirakan kenekatan yang mungkin menjadi pilihan.

Kini, hilang sudah.

Di antara para awak Perompak Tengkorak Merah, ada satu yang tampak sangat mencolok. Jika yang lain berkulit hitam, yang ini justru berkulit sangat putih seperti kapas. Ia memiliki dua baris bibir tipis berwarna hitam. Bagian mata yang seharusnya putih (sklera), berwarna hitam, sedang kedua bola matanya berwarna kuning menyala mirip mata serigala. Ia memiliki dua taring atas mencuat keluar, sedangkan gigi lainnya juga runcing berwarna putih.

Pemuda bertampang aneh sudah dari tadi sebenarnya memperhatikan Linara dan ayahnya. Janu. Pemuda ini merupakan putra kandung Dursila dan siluman serigala putih, Ayudiyah. Diam-diam ia mencebur ke laut tanpa menimbulkan suara sama sekali.

Janu menepukkan tangan, sehingga tercipta gelombang lembut. Ikan-ikan yang sepersekian detik lagi akan memangsa tubuh dara yang jatuh mendadak menjauh. Cepat-cepat ia berenang menghampiri si gadis dan merengkuhnya.

Antara sadar dan tidak, Linara merasa seseorang membawanya ke tepian. Namun, terasa sangat mustahil. Jadi, ia menganggap itu hanya mimpi. Harapan yang terlalu tinggi untuk bisa meloloskan diri dari pati.

<>

Mendapati gadis yang baru dikenal, tetapi mampu menarik hati, mencebur ke air, Sanjaya sangat menyesalkan. Hatinya mencelus pada hampa. Mendadak tenaga yang memang sudah mulai habis semakin terkikis drastis.

Melempar pedang, Sanjaya tiba-tiba saja berbalik dan lari, memelesat menuju ke dalam kapal. Jangak Julung yang sempat teralihkan oleh lemparan pedang mengejar. Namun, si pemuda terus berkelit-kelit lincah. Mayat-mayat, baik laki-laki maupun perempuan bergelimpangan. Pemuda penyair itu enggan peduli, persetan pamali menginjak jenazah.

Jangak Julung agak kesulitan mengejar karena terhalang, baik oleh rekannya atau para penumpang lain yang kalang-kabut. Namun, ia tetap bersikeras tidak mau melepaskan mangsanya.

Sampai di kabin, Sanjaya cepat-cepat mengeluarkan sebuah peles kecil berisi cat berwarna merah. Menggunakan keterampilannya, ia melukis diri sendiri seolah mendapat luka-luka parah. Lalu, cat merah itu dibalurkan pula ke pakaian, seakan-akan dirinya mandi darah. Kesemuanya itu berhasil diselesaikan dalam waktu singkat. Ini merupakan upaya terakhir. Bila gagal, Sanjaya pasrahkan nyawa pada Yang Kuasa.

Jangak Julung memasuki kabin, ia mendapati Sanjaya telah tergolek dengan luka parah dan pakaian bersimbah darah. Pria berbibir dower itu berjongkok memeriksa. Jari-jari berkuku panjangnya menuju ke leher.

___

Bersambung ....

___

avataravatar