webnovel

Bab 1

Alghaisan Hafiz Thabrani

.

"Nak kenapa lama sekali?"

Suara seorang wanita ber kerudung besar memasuki kamar ku, Wanita yang begitu ku sayang dan sangat menyayangiku kapan pun dan dimanapun. ibu, itu suara ibuku

Suara yang bagiku begitu merdu itu membuatku tersadar dari lamunanku dengan mata menatap penampilanku yang telah rapi memakai jas berwarna hitam terpantul di cermin besar tepat di hadapanku

Tangan yang selalu membelaiku dengan kasih sayang itu kini kembali mendarat di bahu ku sesekali mengelusnya sayang

"Ibu tak bisa melakukan apapun yang sudah di tetapkan bapakmu nak" katanya yang membuatku mengangguk lalu tersenyum, menampilkan senyum paling terbaik dalam hidupku untuk menunjukkan pada wanita berharga di hadapanku

Bahwa aku baik baik saja, walau sebenarnya tidak

"Alghaisan! jangan membuat bapakmu ini malu" suara yang begitu tegas kini mulai memasuki kamarku dengan sikap wibawanya

"Putra dari Kiyai Basyir paling cocok untukmu"

"Arumi gadis yang cantik, baik, Sholehah, pintar memasak, bacaan Al-Qur'an yang tidak dapat di ragukan lagi. Kurang apa dia untukmu isan!"

Suara bapak yang tegas membuatku tak berdaya hanya sekedar melawannya, karna dari kecil aku dan bang Fathan di ajarkan untuk menghormati beliau

Hari ini adalah hari pertunangan ku dengan Arumi, gadis yang cantik dan polos putri dari Kiayi Basyir yang di jodohkan denganku, serta putri dari seorang pengurus pesantren dan pendiri pesantren bersama dengan bapak

Bapak yang di segani dan di hormati oleh warga pesantren membuat kesepakatan menjodohkan ku dengan putri sahabat sekaligus rekan kerja dalam membangun dan mendirikan pesantren Az-Zahra hingga sebesar ini

Bukan hanya aku, sebelumya bang Fathan, kakak laki-laki ku yang lebih dulu di jodohkan dengan kakak perempuan dari Arumi yang tak lain putri pertama Kiyai Basyir

Tapi ini berbeda denganku, abangku diikatkan dengan putri pertama Kiyai Basyir karena mereka sempat diketahui memiliki hubungan yang tak sepantasnya kaum muslim lakukan, pacaran.

Dan pacaran adalah salah satu larangan terberat di pesantren ini

"Isan, ayo berikan cincin itu pada Arumi" kata ibu yang membuatku menyodorkan kotak berudru merah pada seorang gadis dengan jilbab merah muda di hadapanku

Karena memang aku tak bisa memakaikan nya pada jari manis Arumi karena ijab Qabul belum terucap dari mulutku

Dan pasangan yang belum mengucap ijab Qabul untuk mengikat janji suci pernikahan dilarang bersentuhan karna itu haram

Begitulah yang di ajarkan bapak padaku dan kakak ku.

Arumi yang menerimanya dengan malu malu serta senyum manis di bibirnya itu membuatku bertanya pada diriku sendiri, mengapa gadis secantik Arumi tak menggoyahkan hati ku sama sekali?

"Tak bisakah pernikahan di percepat?" Kata Kiyai Basyir yang membuatku menatap bapak dengan sedikit menggelengkan kepalaku

Setelah memberikan isyarat ku itu, ku melihat bapak sedikit ber dehem lalu tersenyum pada kiyai Basyir "maaf Kiyai bukannya bagaimana, tapi isan harus kembali dan menyelesaikan pendidikan nya di turki. Karna itu salah satu cita-cita Isan dari kecil yang Alhamdulillah bisa terwujud"

Entah perasaanku atau emang nyata ku lihat. Arumi yang mendengar penolakan halus dari bapak, mulai melunturkan senyum manisnya

"Saya pastikan, setelah Isan menyelesaikan pendidikannya di turki. Mereka akan segera menikah" kata bapak lagi yang membuat mereka semua tersenyum bahagia

Namun tidak dengan ku

****

"Aga!"

"Alghaisan!" Suara yang begitu memekakkan telinga itu membuatku tersadar dari lamunanku

"Udah selesai ibadahnya?" Katanya lagi sambil meminum cola yang berada di genggamannya

"Udah" kataku sambil berdiri kembali melipat sajadahku dan meletakan nya di meja samping ranjang ku dan tak lupa melepas pecis hitam yang berada di kepalaku

"Tadi Lo baca apa? Suara Lo merdu juga" katanya yang hanya ku lirik sekilas

"Ga, seminggu lagi kan liburan semester nih gak mau balik ke rumah lo gitu?" Katanya lagi yang kali ini berhasil membuat ku menghela nafas

"Udah dua tahun tapi lo gue lihat gak pernah pulang, pernah lihat sekali sih itupun saat Lo dikabari bokap Lo sakit kan. Setelah itu gak pernah lagi tuh" katanya lagi

"Gue gak pengen pulang" kata ku datar

Jujur, sudah kesekian kalinya dalam dua tahun ini, Levin maupun Danish selalu menanyakan perihal kenapa aku tak pernah pulang dan malah pulang kerumah Danish ataupun Levin dan itu memang salah satu topik yang membuatku sensitiv

Bukan karena apa, aku merasa belum siap untuk semuanya. Belum siap bertemu kembali dengan ibu, bapak, Abang dan tentu saja bertemu seorang gadis yang di jodohkan bapak padaku setahun yang lalu

"Ga, gak giliran gitu ajak gue kerumah Lo. Masak gue Mulu yang ngajak Lo sama si Danish pulang kerumah gue" Kata Levin yang membuatku menatapnya

Dan aku yakin, kalimat itulah yang akan di ucapkan Levin maupun Danish karena mereka benar benar penasaran dengan keluarga yang tak pernah ku kunjungi selama aku mengejar cita cita di turki

Jikapun aku ingin pulang, tidak mungkin aku mengajak mereka ke lingkunganku dengan mereka yang mengenakan salib di lehernya dan itu pasti akan membuat lingkungan ku itu aneh saat menatap mereka

Dan itu rasanya tidak enak.

"Danish mana" tanya ku mencoba mengalihkan pembicaraan

"Masih di lobby apartemen nemuin pacarnya, katanya bawa saudaranya" jawab Levin yang membuat ku mengangguk

"Eh katanya saudaranya mau kuliah disini juga" tambahnya yang tak ku tanggapi dan tentu saja itu membuat Levin mendengus sebal kearahku

Hingga seorang gadis memasuki apartemen ku dengan senyum yang sangat manis yang membuat mata indahnya berubah menjadi gadis lurus dan pipi chubby nya

"Aga!" Serunya masih dengan senyum manisnya yang selalu membuat jantung ku berdebar setiap kali melihatnya

Achava Alexandra Belva, atau sering ku panggil ava. Anak tuhan yang membuat ku tak rela dan tak akan pernah menerima perjodohan itu

Gadis yang sudah dua tahun ini mengisi relung hati ku setiap kali aku melihat senyum cantiknya

Serta gadis yang selalu memakai kalung salib di leher putihnya menerima ku apa adanya denganku yang selalu menggenggam tasbih di tanganku

Walau ku tahu, terdapat benteng yang begitu tinggi menghalangi jalanku dengannya

Benteng yang selalu membedakan imanku dengan imannya serta Tuhan ku dengan Tuhan nya

"Kok tadi gak ke kampus sih?" Tanyanya begitu lucu

Demi tuhan, aku tak ingin kehilangan senyum manisnya

"Oiya tadi papa nelfon kan?" Tanyanya lagi yang membuatku mengangguk sambil mengelus rambutnya

Dan lagi, om Darma. Papa nya ava begitu dekat denganku, beliau menerimaku dengan sangat baik walau beliau mengetahui bahwa aku adalah pria muslim dan mempercayai putri kesayangannya dan satu satunya itu hanya kepadaku

"Tadi papa bilang apa?"

"Katanya putri cantiknya ini lagi marah karna papanya sibuk" kataku sambil mencubit pipi chubby ava dengan gemas yang membuat ava kembali tersenyum

"Lagian si papa sibuk terus sama perusahaannya" katanya sambil bersedekap dan mengerucutkan bibirnya

Begitu menggemaskan.

Aku hanya tersenyum lalu mengelus pipinya begitu lembut hingga deringan ponselku membuatku mengalihkan atensi ku pada benda berbentuk persegi itu

"Siapa?" Tanya nya yang ku jawab menempelkan telunjuk di bibirku seakan memberi isyarat padanya untuk diam

"Assalamualaikum ibu" kataku memberi salam saat panggilan sudah ku angkat

"Walaikumsalam Isan, bagaimana keadaanmu disana nak?" Tanya ibu ku di sebrang sana

"Baik" jawabku sekenanya

"Tak ingin pulang walau hanya sebentar? Kami merindukanmu"

"Jika ada waktu pasti Isan akan pulang"

"Jangan terlalu lama nak, calon istrimu menunggumu" kata ibu yang membuatku terdiam sambil melirik ava yang berdiri di sampingku sambil tersenyum walau dia tak mendengar perbincangan kami

"Ibu tau Isan sensitif dengan itu" kataku

"Isan jangan membuat bapakmu marah nak"

"Nanti Isan hubungi lagi bu, Assalamualaikum" kataku sambil mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban salam dari ibu

"Kenapa?" Tanya ava padaku yang hanya ku jawab gelengan sambil mengelus punggung tangan ava

"Kenapa kamu selalu begitu saat keluargamu menelfon?" Kata ava yang lagi lagi ku jawab senyuman lalu aku mulai memeluk ava dengan erat