5 CHAPTER 4 - Ingatan Yoshihiro Akina

Inginku adalah untuk melihatmu dalam bayangku, menatap dirimu yang dulu pernah singgah pada lubuk hatiku.

Meski kutahu bahwa dunia tak seindah apa yang kubayangkan, dan pelangi tak secantik apa yang kuimpikan. Namun aku percaya bahwa di balik mendung masih tersimpan sepercik cahaya harapan pada seorang gadis yang malang, yang menantikan datangnya belaian kasih sayang, yang menantikan suatu bentuk harapan pada semua mimpi yang telah hilang dalam bentuk kenangan.

Hanya hadiah tak kasat mata yang kusebut sebagai kenangan indah, yang pernah kita jalani berdua pada dunia yang fanna. Kini aku sadar bahwa, sekuat apapun diriku yang memeluknya, seseorang yang tidak di takdirkan bersamaku akan pergi pada saatnya.

BARBIE GIRL

My Girlfriend Is Doll

Di suatu ruangan, terlihatlah sesosok pria berparas tampan dengan kulit putih yang nampak terlihat gagah dengan balutan kemeja putih, dengan syal berwarnakan merah yang melilit lehernya. Kacamata putih nan bening warnanya, seakan mendominasi kesayuan pada setiap sudut pandangnya kala ia melihat ke luar jendela berlapis kaca.

Lelaki itu tampak terlihat gelisa, setelah mengetahui bahwa diriku telah tiada. Entah mengapa, namun seperti ada suatu ikatan antara kami berdua, sehingga membuatnya sedih hingga sempat menjatuhkan air mata. Lelaki itu, aku tak pernah tahu siapa namanya, dan apa tujuan saat diriku menatapku pada pesona pandangan pertama.

Dirinya berdiri dari sebuah kursi yang berada tak jauh dari jendela. Berjalan mendekati ranjang, hanya untuk melihat sesosok boneka cantik yang tengah terbaring di atasnya.

"Aku tahu, bahwa diriku bukanlah manusia pertama yang merindukan datangnya kasih sayang," seutas senyum menghiasi raut wajahnya, kala sepasang mata menatap wajah cantik boneka barbie yang seukuran manusia pada biasanya, "Gadis itu, mengapa wajahnya selalu terngiang di dalam benakku."

Ia menghelahkan nafasnya, berbalik arah dan berjalan mendekati jendela berlapis kaca. Pandangan matanya kian terpaku menatap indahnya sinar rembulan yang berpadu dengan gemerlap cahaya bintang. "Mengapa Tuhan mempertemukan kita, jika pada akhirnya dirimu harus tiada untuk selamanya," perlahan ia menundukan kepala, mengepalkan seluruh jemari tangannya, "Insiden kecelakaan itu..."

~Flashback~

Nafasku kian memburu dengan butiran keringat yang mulai bercucuran membasahi dahiku. Tiada istilah pasrah bagi diriku untuk berlari dan mencari sesosok gadis bersurai hitam dengan gaun biru yang masih ia kenakan. Pandangan mataku kian menyebar kesepenjuruh arah bagian, melihat gemerlap cahaya lampu pada gedung dan beberapa orang yang tengah berlalu lalang di bahu jalan.

Segerombolan orang nampak mengelilingi bahu jalan. Membuat diriku dihantui oleh adanya rasa penasaran. Aku berjalan, menyusup di antara mereka yang tengah melihat adanya insiden kecelakaan. Hingga betapa terkejutnya aku saat menatap sesosok gadis yang kucari tengah terbaring lemah dengan bercak darah segar pada punggung dan lengannya.

Pandangan mataku terbelalak seketika. "Ti—tidak mungkin! Ga—gadis itu, apa yang telah terjadi padanya."

Kala ia tengah terbaring lemah bersimbah darah, gadis itu hanya dapat mengeluarkan setetes deraian air mata sembari mengangkat sebelah tangannya untuk meraih udara. Sorot matanya, seakan menggambarkan kegelisahan akan hilangnya impian dan sejuta harapan yang menjadi satu dalam bentuk tangisan. Dirinya menatap jauh ke atas langit, melihat indahnya pernah-pernik cahaya bintang yang bergemerlapan menghiasi sang malam.

"Inginku meraih gemerlap cahaya bintang yang bersinar terang, hanya untuk kupersembahkan pada mereka yang kini telah pulang ke sisi Tuhan. Rasa rinduku kian menyayat kalbu, membawaku terbang ke atas langit ke tujuh, hanya untuk melihat senyuman kedua orang tuaku," sebelah tangannya segera terjatuh ke dasar tanah yang dipenuhi oleh genangan darah. Ia menoleh, mendapati adanya diriku di antara segerombolan orang tengah berada di lokasi kejadian. Gadis itu tersenyum, dan menyampatkan diri untuk mencurahkan hatinya kala kematiannya akan tiba, "Rasa rinduku terus berkecambuk dalam gelora hatiku. Namun aku tak pernah tahu, kemana aku harus berteduh. Ayah... Tunggulah aku, berikan aku jalan untuk tetap berada di sampingmu."

Kedua matanya mulai terpejam, hingga tak ada lagi suara yang dapat ia dengar.

*Deg! Deg!

Detak jantungku berdegup kencang bagaikan genderang perang. Pandangan mataku kian terpaku menatap sesosok gadis bergaun biru.

Diriku sempat menggelengkan kepala, seakan tak percaya dengan apa yang tengah terlintas oleh sepasang mata.

"Ti—tidak mungkin! Di—dia—"

Seketika itulah diriku yang kini bertekuk lutut di sampingnya. Betapa pedihnya diriku saat melihatnya yang kini sudah tak bernyawa.

~Flashback~

Lelaki itu mendesis. Perlahan ia melepas kacamata bening yang masih melekat pada wajahnya. "Seandainya kau masih di sini, mungkin insiden itu tidak akan pernah terjadi."

Tak lepas dari lamunannya, lelaki itu kini mulai berbalik arah dan beranjak pergi meninggalkan jendela berlapis kaca. Pandangan matanya kian terpaku pada sebuah boneka cantik seukuran manusia biasa, menatapnya dengan penuh seksama.

Tiada kata yang terucap dari mulutnya, hingga membuat dirinya kembali berjalan guna meninggalkan kamar yang penuh dengan kesunyian disetiap sudut mata memandang.

Usai menutup pintu kamarnya, dirinya mengehelakan nafas lega. Namun ada suatu ingatan lama yang mengganjal dalam benaknya. Ingatan itu, seakan mengusik pikirannya.

-Flashback-

Suara redap langka kaki menghiasi keheningan pada halaman sekolah. Fujiwara terus berjalan hingga ia berhenti tepat di samping seorang siswi yang bernamakan Aiko Nakata,

Fujiwara menoleh dengan senyum indahnya, menyentuh pundak kiri Aiko dengan sebelah tangannya. "Sebaiknya aku harus mengantarmu pulang, karena hari sudah mulai petang."

Berada di bawah pohon cemara, sesosok wanita cantik dengan blazer hitam, nampak mengerutkan dahinya. "Huh! Dasar manja. Di Jepang semua gadis pasti pulang dengan sendirinya, dan tidak di antar seperti seorang Putri pada umumnya."

*KLOONTANG!

Suara kaleng logam bekas minuman sengaja di buang oleh pemiliknya. Terdengarnya suara nyaring menarik perhatian sepasang siswa dan salah seorang Guru—Azumi-sensei.

Berada jauh di sana, sesosok pria dengan balutan jas putih terlihat memacu langkahnya lebih cepat dan nampak tergesah-gesah. Tak lupa bagi dirinya untuk melepaskan kacamata bening pada wajah dengan sebelah tangannya.

Usai mengendorkan dasi merah yang melilit rapi pada lehernya, dirinya tak lupa untuk menyelipkan kembali sebatang rokok pada bibir tipisnya. Pria itu nampak geram. Sepasang alis nampak condong ke bawah lebih dari biasa, secara otomatis dahinya juga mengkerut seketika.

"Hoe! Hoe! Apa-apaan, ini."

Lelaki itu segera menghentikan langkah di samping siswinya, guna melepaskan paksa tangan Fujiwara dari bahu Aiko Nakata,

Sorot matanya yang tajam, seakan menggambarkan suatu bentuk kebencian yang mendalam. "Lepaskan tangan kotormu dari muridku."

Fujiwara tak mampu untuk berkata, dirinya hanya menundukan kepala guna menyadari semua kesalahannya.

Aiko tersentak. "Sensei!"

Akina menoleh. "Kau boleh berpacaran dengannya, tapi bukan di lingkungan sekolah. Paham!"

Azumi melirik keduanya, berjalan sambil melilin-lilin rambutnya. "Akina-sensei, kau datang pada saat yang tepat."

-Flashback-

avataravatar
Next chapter