2 CHAPTER 1 - Antara Luka & Duka

Di dalam sebuah arti kehidupan, kebahagiaan bukanlah suatu bentuk dari apa yang telah aku harapkan. Tiada istilah kata bagiku untuk tersenyum dalam indahnya kehidupan, karena diriku di lahirkan hanya untuk berjalan di tengah ambang kehancuran dan berjalan di atas pahitnya kehidupan demi meraih adanya sepercik cahaya harapan di masa mendatang.

Kehancuran yang kudapatkan telah menjadi luka dalam segi bentuk ingatan yang kusebut sebagai sebuah kenangan dalam kelamnya arti kehidupan.

Di dalam sebuah arti kehidupan, kebahagiaan bukanlah suatu bentuk dari apa yang telah aku harapkan. Tiada istilah kata bagiku untuk tersenyum dalam indahnya kehidupan, karena diriku di lahirkan hanya untuk berjalan di tengah ambang kehancuran dan berjalan di atas pahitnya kehidupan demi meraih adanya sepercik cahaya harapan di masa mendatang.

Kehancuran yang kudapatkan telah menjadi luka dalam segi bentuk ingatan yang kusebut sebagai sebuah kenangan dalam kelamnya arti akan adanya kehidupan.

Meskipun aku menangis, tidak akan pernah ada yang akan berubah. Karena sekuat apapun aku mengeluarkan derai air mata, seseorang yang sangat kucintai pastilah berpaling dan pulang ke sisi Tuhan yang maha esa. Dan hadiah terbaik yang pernah ia berikan kepadaku adalah sebuah hadiah tanpa rupa yang disebut sebagai kenangan.

•Flashback•

Keindahan malam yang bertabur cahaya bintang telah membawa sesosok gadis kecil berambut hitam untuk beranjak pergi dari tempat tidurnya. Sesosok gadis kecil dengan balutan gaun buru mencoba untuk terus mengamati indahnya cahaya bintang dari halaman yang terletak di depan rumahnya.

Gadis kecil bermanik cokelat tersebut tiada hentinya mengamati indahnya gemerlap cahaya bintang yang bersinar menghiasi sang malam.

Tak lama berlalu, nampak terlihat sesosok pria paruh baya dengan balutan jas hitam yang berjalan menghampirinya. Kini pria tersebut tengah berdiri tepat di samping gadis kecil tersebut. Sesosok pria berparas tampan dengan corak rambut berwarnakan hitam kecokelatan tersebut, tak lain ialah seorang Ayah yang selalu mendampingi di setiap langkanya.

Sesaat setelah pria tersebut menatap gemerlap cahaya bintang yang bersinar menghiasi sang malam, kemudian ia pun segera membuka mulutnya untuk berkata kepada sesosok gadis yang kini tengah berada di sampingnya.

"Ayah tadi sempat melihatmu dari balik jendela," pria tersebut kemudian melipat kedua tangan di depan dadanya, "Sepertinya kau tidak bisa tidur pada malam  ini," ujar Michael pada anaknya.

Mendengar ucapan dari sang Ayah, membuat Chelsea segera menundukan kepala guna menatap gaun biru miliknya dan hijaunya padang rumput tempatnya berpijak. "Tidak Ayah," dirinya sempat menghelakan nafas dan mencoba untuk kembali berkata, "Aku hanya merindukan Ibu."

Tatapan sang Ayah masih terpaku menatap jauh ke atas angkasa. Dirinya sempat berpikir bahwa sudah saatnya bagi dirinya untuk mengatakan sesuatu kepada anaknya.

"Ibumu adalah seorang wanita yang baik. Beliau tidak pernah lelah untuk menjaga putri semata wayangnya saat berada di dalam kandungan, hingga sampai pada akhirnya, Tuhan pun memanggilnya."

Chelsea yang polos, sama sekali tak mengerti maksud dari ucapan yang telah di sampaikan oleh sang Ayah kepada dirinya, hingga pada akhirnya ia sedikit mendongak untuk menatap ekspresi wajah dari sang Ayah.

"Di panggil oleh Tuhan? Maksud Ayah, bagaimana?"

Sang Ayah kembali memaksa senyum saat sepasang mata dua insan saling bertemu. Hati Michael sempat tersentak pada saat itu. Pandangan matanya mulai berkaca kaca, seakan ia menahan tangis di depan putrinya. Michael sempat memalingkan wajah dan kembali menatap wajah anaknya. "Ibumu meninggal usai melahirkanmu, anakku."

Chelsea berkedip, "Jadi, Ibu meninggalnya setelah aku di lahirkan? Kenapa Ibu meninggal? Apakah beliau sakit?"

Tak mampu Michael menjawab ucapan anaknya, dirinya hanya tersenyum untuk sesaat, guna menutupi bekas luka batinnya.

"Ayah!" ucap Chelsea memanggil Ayahnya.

"Iya sayang?" jawab Michael dengan senyum andalan.

"Apakah Ibu masih dapat melihat kita? Tunjukan padaku, di mana ia berada?"

Michael kemudian bertekuk lutut di samping bocah yang berusia tujuh tahun tersebut sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah salah satu bintang di atas angkasa.

"Di sana! Jika kau melihat bintang yang paling besar dengan cahaya terangnya, di sanalah beliau kini berada," Michael lalu menoleh ke arah anaknya hingga tatapan mata dua insan saling bertemu dalam jarak yang begitu dekat.

"Benarkah?" tanya Chelsea dengan senyum riang, seakan ia memiliki keinginan untuk dapat terbang dan melihat wajah Ibunya.

Michael tersenyum lebar, "Yaps! Dan pastinya beliau akan selalu mengawasi kita dari atas sana."

Rasa sakit pada hatinya seakan mengusik semua ingatan lama pada dirinya, hingga pria itu tak mampu lagi menahan laju air mata akan perginya sang istri tercinta. Meski ia tersenyum di depan anaknya, seakan tatapan matanya menggambarkan kepedihan yang tak terhingga.

Dengan penuh haru, Michael pun segera memeluk tubuh bocah kecil itu sembari berkata, "Nak, selama Ayah masih berada di sampingmu, Ayah akan senantiasa selalu menjagamu. Bagi Ayah, kau adalah permata hatiku. Dan kau adalah hartaku yang sangat berharga untuk saat ini dan selamanya," Michael lalu menyandarkan dagu pada pundak kiri anaknya, dan kemudian ia kembali berkata, "Ayah berjanji, akan setia menjagamu hingga Tuhan memanggil Ayah, sama seperti beliau yang telah memanggil Ibumu."

Mendengar ucapan sang Ayah, seakan membuat hati sang bocah itu semakin rentah, hingga ia pun mulai menangis di pelukan Ayahnya seraya menggelengkan kepada dan berkata, "Ayah jangan mati... jika Ayah mati, lalu siapa yang akan menjaga Chelsea?"

Bocah itu terus menangis di pelukan sang Ayah yang amat berarti bagi dirinya. Air matanya terus berlinang membasahi pipinya, menggambarkan betapa pedihnya ia jika harus kehilangan orang tua yang di kasihinya.

Usai memeluk anaknya, tak lupa bagi Michael untuk menghapus sisa air mata pada pipi putri semata wayangnya.

"Ayah tidak akan pergi, karena tugas Ayah yang sebenarnya ialah menjaga Chelsea."

Gadis kecil itu terus menangis hingga nafasnya tersedak berulang kali. "Janji?"

Michael tersenyum tipis. "Tentu saja! Lagi pula, Ayah memiliki sembilan nyawa. So, kau tidak perlu khawatir soal kematian Ayah. Jika Ayah mati, tentu bisa hidup kembali."

Tak ada keraguan yang tersimpan dari hati bocah kecil yang malang. Ia pun merasa bahwa apa yang telah di katakan oleh Ayahnya itu benar.

"Benarkah?" tanya Chelsea.

"Tentu saja! Ayahmu ini adalah seorang pahlawan, tentu akan hidup abadi demi menjaga Chelsea Matsuda tercinta."

"Ayah..." ucap Chelsea tersenyum riang, kemudian memeluk kembali tubuh Ayahnya dan kembali berkata, "Chelsea sayang Ayah."

"Iya, nak. Ayah juga sangat menyayangimu."

•Flashback•

Meski kutahu bahwa ia telah pergi meninggalkanku, bukan berarti aku harus meratapi semua kepedihan di masa lalu.

Namun, mengapa Tuhan tak pernah mendengar do'aku...

Ini hanyalah sebuah ungkapan kecilku dariku, dari hati yang telah rapuh, hingga tak mampu menyembuhkan diri setelah peristiwa besar yang telah menggoreskan luka dalam lubuk hatiku.

Kau tahu bahwa engkaulah kekuatanku. Seperti jantung yang di aliri oleh darah, seperti mentari yang di kelilingi oleh semesta, yang mampu menyimpan suatu harapan dalam setiap langkah demi meraih semua impian yang ada.

Namun, mengapa takdir mengatakan hal yang berbeda...

Setiap malam aku berdoa, memohon kepada Tuhan untuk selalu bersama, memohon agar dalam sebuah cerita akan berakhir dengan bahagia. Namun aku sadar bahwa tiada suka yang mampu membuatku hidup bahagaia, karena di balik sebuah luka, aku telah menyimpan sejuta duka akan perginya seorang Ayah yang sekian lamanya telah membuat hidupku bahagia. Dan kini, diriku hanyalah sebatang kara yang tak mampu menjalani hidup tanpa adanya keluarga.

Suasana sepi nan sunyi seakan menyayat hati, membawaku pergi menuju tempat yang tiada pasti untuk terus kupijaki. Langkahku semakin melambat ketika sebuah kenangan kembali terngiang di dalam suatu ingatan yang terdalam.

Di tengah luasnya padang rumput aku berlari, menahan isak tangis yang terasa kian menusuk hati. Tiada alasan bagiku untuk berhenti, hingga pada akhirnya aku pun terjatuh dan tak sanggup untuk menompang beban tubuhku ini.

Air mataku terus mengalir tiada henti, tak sanggup lagi bagi diriku untuk kembali berlari, karena adanya goresan luka pada lutut sebelah kiri. Setelah aku menyadari bahwa diriku tersandung batu, kini aku mencoba untuk bangkit dan mulai berjalan dengan sisa tenaga yang masih kumiliki.

Desahan nafasku kian terdengar mengusik indra pendengaranku, membuat sesak dadaku, hingga membuat tubuh merasa letih untuk terus melanjutkan perjalanan panjangku.

Rasa lelah itu kian menghantui di setiap langkahku, hingga membuat diriku kembali dan terjatuh. Kini aku hanya dapat duduk bersimpuh, meratapi hilangnya semua impianku.

"Ayah... di manakah kini kau berada...." ucapku lirih.

Aku mendongak, melihat indahnya gemerlap cahaya bintang yang bergemerlapan di atas hamparan awan yang kelam. Menatap dari kejauhan sinar rembulan dengan penuh sayatan luka hati yang kian kurasakan dalam kehidupan yang semakin suram.

Saat aku mencoba untuk metutup sepasang mata, diriku mendengar adanya suara gesekan rumput yang menabrak bebatuan akibat hembusan angin malam. Suara itu seakan menenangkan suasana dalam pikiran, yang mampu menghilangkan kesunyian di dalam hati, ketika kerinduan itu tengah menghantui.

"Tuhan, berikanlah aku kekuatan untuk terus menggapai semua impian di dalam hampanya kehidupan yang semakin berada di ambang kehancuran. Kutahu bahwa akan ada banyak keraguan di setiap sudut mata memandang, kutahu bahwa tiada kepastian dalam kehidupan yang semakin suram di masa yang akan datang. Namun," sesaat mataku terpejam, mengingat kembali semua kenangan yang pernah kulakan. Hingga diriku kembali membuka sepasang mata secara perlahan dengan diiringi oleh air mata yang semakin berlinang. "Bintang... aku mohon, dengarkanlah permintaanku. Aku ingin bertemu Ayah. Bintang, jika engkau adalah cahaya harapan, berikanlah aku kekuatan untuk terus berjuang demi mencari keberadaan Ayah sekarang."

Luka itu semakin menyayatkan lubuk hatiku, membuat diriku tak kuasa untuk terus menahan laju air mataku. Hingga pada akhirnya, diriku yang masih duduk bersimpuh hanya mampu untuk menundukan kepala sembari meremas rerumputan dengan jemari tanganku.

Setiap malam aku berdoa, memohon kepada Tuhan untuk selalu bersama, memohon agar dalam sebuah cerita akan berakhir dengan bahagia. Namun aku sadar bahwa tiada suka yang mampu membuatku hidup bahagaia, karena di balik sebuah luka, aku telah menyimpan sejuta duka akan perginya seorang Ayah yang sekian lamanya telah membuat hidupku bahagia. Dan kini, diriku hanyalah sebatang kara yang tak mampu menjalani hidup tanpa adanya keluarga.

Tiada hentinya aku menangis pilu sembari kusebut nama Ayahku pada saat itu. Kugenggam erat rerumputan hijau pada jemari lentikku, berharap ingatan itu tak lagi kembali bermunculan di dalam benaku, "Ayah! Ayah... hiks! Di mana Ayah, hiks! Aku ingin bertemu Ayah. Tanpa Ayah, pada siapa aku bercanda, pada siapa aku berharap jika kau pergi."

Aku masih ingat, kapan terakhir beliau pergi meninggalkanku. Senyuman itu, seakan menggambarkan detik-detik kepergiannya pada saat itu. Pada saat beliau duduk di kursi pengemudi sembari melambaikan sebelah tangannya padaku. Dan setelah itu, sore harinya aku mendapati adanya kabar berita dari pihak kepolisian yang menyatakan adanya peristiwa kecelakaan pada mobil van yang di kendarai oleh Michael. Pada malam harinya insiden kecelakaan itu pun mulai di liput oleh televisi untuk di jadikan info terkini.

****

Seorang lelaki paruh baya yang bernamakan Michael di kabarkan meninggal setelah mobil van yang kendarainya terperosok ke dalam jurang dengan ketinggihan kurang lebih lima puluh meter dari lintasan jalan beraspal.

Pihak kepolisian Tokyo telah mengupayakan untuk segera mengevakuasi bangkai mobil yang telah remuk tak berbentuk. Na'asnya nyawa yang pengemudi tak dapat lagi tertolong setelah dirinya mengalami benturan yang amat keras pada bagian kepala hingga patah lengan dan kakinya.

****

Diriku bagaikan seekor elang yang kehilangan sangkarnya, yang terbang tanpa arah tujuan. Tiada harapan yang dapat aku jadikan sebuah impian, karena yang terlintas di dalam benakku ialah berjalan di atas ambang ujung tombak kehancuran.

Tiada kepedulian di setiap sudut memandang hingga aku sempat berpikir bahwa sudah saatnya diriku mengakhiri semuanya dengan kematian.

Tuhan, jika ini memang sudah saatnya, aku ingin sekali mengakhiri semuanya. Izinkan aku untuk menemui kedua orang tuaku di atas langit ke tujuh, agar aku dapat riang selalu saat mereka berhasil memeluk rentah tubuhku. Tuhan, ambilah nyawaku agar mereka dapat melihat senyum manisku.

avataravatar
Next chapter