webnovel

Jogja

Bara menyusuri jalanan Malioboro yang cukup ramai itu. Hatinya mendadak pedih. Dijalan itu dulu ia melangkah bersama dengan Kirana. Saling bergandengan tangan, bercanda bersama-sama, dan menikmati indah senja di Jogja.

Bara menghela nafas panjang, ia kemudian melangkah menuju salah satu wedangan lesehan yang ada di sisi jalan.

"Mas, jahe hangat dong satu!" ujar Bara lalu duduk di salah satu tikar.

Ia berharap dengan pergi kemari dapat sedikit mengobati luka hatinya, tapi kenapa malah dadanya makin sesak? Bagaimana cara untuk menghilangkan semua kenangan yang terpatri dalam hati dan ingatannya? Dan sialnya, mendadak semuanya kembali berputar dalam memorinya.

Saat itu ...

"Setelah ini mau kemana?" gadis itu begitu cantik dengan blouse batik dan celana jeans-nya.

"Ke KUA mau?" jawab Bara sambil tersenyum manis.

Kirana yang sedang duduk bersila di salah satu wedangan lesehan itu sontak menoleh, parasnya memerah. Dan itu membuat Bara makin gemas akan sosok itu.

"Jangan bercanda!" Kirana menggebuk lengan Bara dengan gemas.

"Kau pikir perasaanku sebercanda itu?" tanya Bara sambil tersenyum kecut.

Kirana tersipu malu, ia menundukkan kepalanya, kemudian tersentak ketika tangan Bara meraih tangannya.

"Aku serius, Na. Lagipula sampai kapan sih kita mau seperti ini? Aku sudah lelah berjarak denganmu. Aku ingin tidak ada lagi jarak diantara kita." guman Bara sambil menatap dalam-dalam manik mata itu.

"Kamu sudah benar-benar serius?" ia tahu sorot mata itu belum sepenuhnya percaya.

"Selama ini kau anggap aku main-main?" Bara tersenyum kecut, kenapa sih Kirana tidak bisa melihat sorot kesungguhan di dalam matanya.

"Bukan begitu, aku pikir semua ini terlalu cepat."

Bara mendengus kesal. "Kita hampir kepala tiga, Na! Kamu mau menikah di umur berapa memangnya?" Bara dan Kirana memang seumuran, mereka pertama kali bertemu dan menjalin kasih di bangku SMA.

"Aku masih ingin lanjut pendidikanku, Sayang!"

"Kan bisa lanjut S2 setelah kita menikah!" Bara masih tak mau menyerah. Kenapa baru sekarang mau lanjut S2 sih? Kemarin-kemarin ngapain?

"Tapi aku tidak bisa sekarang, tahun depan gimana?" Kirana menatap Bara dalam-dalam, tatapan yang selalu sukses membuat Bara luluh.

Bara mendengus kesal, ia menghela nafas panjang. Tangannya merogoh saku jaket yang ia gunakan. Mengambil sesuatu yang memang sudah ia siapkan untuk malam ini.

"Apa itu?" tanya Kirana penasaran.

"Ini adalah bukti kesungguhanku, Na!" Bara membuka kotak beludru merah itu, nampak cincin berhiaskan berlian ada di dalamnya. "Will you marry me?"

Kirana terkejut luar biasa, matanya berkaca-kaca menatap benda berkilau di hadapannya itu.

"Maaf jika bukan acara romantis yang aku bisa berikan ke kamu. Bukan acara dinner romantis di resto mahal seperti impian banyak gadis. Aku benar-benar sudah tidak bisa menahan semua ini lagi, Na! Mau kah kau menikah denganku?" mohon Bara lagi.

"Yes, I Will, Bar!" guman sosok itu dengan linangan air mata. "Tapi tolong, beri aku waktu."

"Thanks, Darl!" air mata Bara menetes. "Tentu, tidak masalah kalau kamu mau kita menikahnya tahun depan. Tapi izinkan aku melamarmu ke orangtuamu dulu, bagaimana?"

"Belum perlu sekarang, Bara. Mungkin awal tahun, nanti sekalian bahas tanggal pernikahan kita, bagaimana?"

Bara tersenyum, ia hanya mengangguk pelan. Kemudian dengan lembut ia mengambil cincin itu dari kotaknya, menyematkan cincin itu ke jari manis Kirana.

Flashback off ....

Bara menggelengkan kepalanya sambil sekuat tenaga menahan tangis. Peristiwa itu terjadi tiga bulan yang lalu, tepatnya di tempat ini juga! Sial! Bara sampai lupa, bagaimana ia mau melupakan luka di hatinya jika ia malah datang ke tempat dimana ia meminta gadis itu untuk menikah dengannya?

Bara buru-buru bangkit, lalu melangkah ke gerobak wedangan itu.

"Maaf Mas, ini baru siap pesanannya." si penjual tampak terkejut, wedang pesanan Bara memang baru selesai karena banyaknya pesanan.

"Oh nggak masalah, Mas. Ini kebetulan saya di telpon ada urusan mendadak. Ini uangnya!" Bara menyodorkan selembar lima puluhan itu pada si penjual.

"Lho lha ini gimana mau dibungkus?" tanya si penjual sambil menyodorkan segelas jahe hangat pesanan Bara.

"Sudah nggak apa-apa, Mas. Makasih ya!" Bara buru-buru melangkah pergi.

"Mas kembaliannya!" teriak penjual itu sebelum Bara semakin jauh melangkah.

"Buat Mas saja!" teriak Bara lalu membalikkan badan dan kembali melangkah.

Bara melangkah dengan tergesa-gesa hingga tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Tubuh itu tersungkur tepat di depan Bara.

"Aduh, maaf Mbak! Saya benar-benar tidak sengaja!" Bara buru-buru membantu wanita itu bangkit.

"Hati-hati dong, Mas!" hardik wanita itu sambil menatap tajam ke arah Bara.

"Iya maaf, saya benar-benar tidak sengaja, Mbak!" guman Bara setengah memohon.

Wanita itu tidak menjawab, ia kemudian kembali melangkah meninggalkan Bara yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Setelah wanita itu terus melangkah tanpa menoleh lagi, Bara kembali melanjutkan langkahnya. Meninggalkan tempat ramai yang terasa sangat hampa dan sepi di hati Bara. Tempat yang pernah menjadi tempat bersejarah baginya, namun sekarang jadi tempat yang begitu menyiksa hatinya.

***

Bara dengan malas menekan alarm yang berdering cukup nyaring itu. Dia sungguh malas dengan rutinitas kantor yang membosankan. Oleh karena itu ia pilih usaha yang tidak mengharuskan dia bangun pagi, berpakaian formal, dan segala macam meeting macam ini. Ia lebih suka berbisnis ala anak muda yang santai dan tidak terlalu kaku. Coffe shop lah yang kemudian ia pilih.

Ia sendiri heran dengan mama papa nya itu, kenapa mereka betah menjalani kehidupan kaku macam ini? Bangun pagi, ke kantor, urus ini itu, meeting dengan koleganya, dan masih harus banyak hal membosankan menurut Bara. Sebenarnya anak buah orangtuanya banyak, kenapa tidak melimpahkan semua pekerjaan pada anak buahnya? Kenapa harus di tangani sendiri? Sungguh Bara tidak habis pikir!

Bara bergegas bangkit, lalu melangkah ke kamar mandi. Ia buru-buru menghidupkan shower yang membiarkan air itu menguyur seluruh tubuhnya. Dan sekarang ia harus menjalani kehidupan kaku itu selama kurang lebih dua Minggu, astaga!

Bara buru-buru memainkan kemeja dan celana bahan. Seragam wajib ala anak kantoran yang sangat jauh dari style Bara sehari-hari. Setelah selesai ia dengan tergesa meraih sepotong roti dan langsung melahapnya. Ia tidak punya banyak waktu untuk sekedar sarapan.

Bara bergegas turun ke bawah, masuk ke dalam mobil dan membawa mobil itu menuju kantor cabang perusahaan milik ayahnya itu. Kenapa tidak fokus ke batubara saja sih? Kenapa harus bergerak di bidang produksi tekstil macam ini juga? Bara terus menunduk dalam hati. Ia dengan lincah membawa mobil itu menyusuri jalanan Jogja pagi hari.

Kantor ini tidak cukup besar, jadi Bara setuju memegang kendali untuk sementara. Kalau tidak, mana mau ia pusing-pusing duduk di kursi menandatangani berkas-berkas rumit itu? Bara tersenyum kecut, ia sering bersitegang dengan papanya perihal perusahaan. Inginnya sih dia yang terjun mulai dari sekarang mengurusi semua bisnis papanya, namun Bara lebih memilih memulai dan membuka bisnisnya sendiri. Dengan usahanya sendiri.

Bara membelokkan mobil di kantor itu, semoga ia betah sampai dua Minggu ke depan, kalau tidak ia pilih ngacir pulang ke Madiun, mengurusi bisnis Coffe shop-nya yang sedang berkembang pesat itu.

"Selamat pagi, Pak Bara ya?" sapa resepsionis kantor yang langsung mengenalinya.

"Betul, saya yang akan menggantikan Bapak Burhan sampai dua Minggu ke depan." jawab Bara sambil menatap ke sekeliling kantor.

"Baik, Bapak. Mari saya antar ke ruangan Anda." resepsionis itu mempersilahkan Bara melangkah lebih dulu.

"Siapa namamu?" tanya Bara sambil sesekali membalas senyuman dari beberapa karyawan kantor papanya.

"Saya Ratna, Pak. Saya bertugas di bagian depan." jawab Ratna sambil terus melangkah menunjukkan ruangan Bara.

Bara hanya mengangguk pelan, kemudian sampailah mereka pada ruangan dengan pintu besar itu.

"Silahkan, Pak!" ujar Ratna sambil membuka pintu.

Bara hendak melangkah masuk ketika kemudian suara itu memangilnya.

"Permisi Pak Bara, maaf saya sekertaris Bapak Burhan, ini ada beberapa jadwal meeting siang ini yang harus Bapak hadiri."

Bara sontak menoleh, matanya terbelalak melihat siapa yang menyodorkan map itu. Gadis itu tampak sangat rapi dengan kemeja warna tosca.

"Ka ... kamu ...."

Next chapter