1 Ikhlas

Bara menatap nanar siaran televisi yang menayangkan upacara pernikahan putra presiden itu. Gadis cantik dengan kebaya putih itu tak lain dan tak bukan adalah sosok yang menjadi pemilik hatinya sejak lama sekali.

Ya ... Kirana adalah pacarnya, bahkan ketika kini ia menikah dengan Yusrizal Priambodo itu, hubungan mereka belum ada kata putus. Status mereka masih sepasang kekasih. Bahkan Bara sudah melamarnya secara personal. Memang belum sampai melamar pada orangtuanya, namun cincin emas lima gram itu sudah Bara berikan sebagai tanda bahwa ia sudah benar-benar mantab ingin menjadikan gadis itu sebagai pendamping hidupnya.

Dan tiba-tiba kini, gadis itu menikahi putra bungsu presiden negara ini! Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Bara? Hancur! Lebur! Ia hanya bisa menatap nanar acara meriah itu dari televisi, menahan air matanya agar tidak jatuh. Bagaimana pun, ia sedang berusaha ikhlas. Meskipun itu sulit, sangat sulit.

"Lu nangis?" ujar Rendy sambil menepuk lembut pundak Bara.

Bara hanya menggeleng perlahan, ia berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak semakin deras mengalir. Ia mencoba kuat.

"Kalo lu mau nangis, nangis aja nggak apa-apa! Gue tahu apa yang lu hadapi itu berat, Bar!" Rendy tersenyum simpatik, ia benar-benar tidak menyangka bahwa nasib sahabatnya itu akan seperti ini.

Bara menyeka air matanya, rasanya seperti ini rupanya. Dikhianati bahkan langsung ditinggal menikah seketika oleh wanita yang ia cintai. Tapi sejak kapan Kirana dekat dengan Yusrizal itu? Selama ini tidak ada hal-hal mencurigakan yang Kirana tunjukkan. Lalu kemudian dia tiba-tiba menikah dengan putra bungsu presiden negara ini, bagaimana Bara bisa menerima semua ini?

Ia bisa saja melabrak mereka, mengundang pers untuk klarifikasi bahwa status Kirana masih kekasihnya. Namun bisa apa dia melawan anak presiden? Bisa apa? Dia hanya anak pengusaha batubara, hanya laki-laki yang sedang mencoba membuka bisnisnya sendiri. Sedangkan lawannya ... seorang anak presiden! Bara cukup tahu diri, ia bukan apa-apa dibandingkan laki-laki yang dipilih Kirana untuk ia nikahi.

"Saya terima nikah dan kawinnya Kirana Resky Amandihita Prasojo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

Harusnya Bara yang mengucapkan Qabul itu! Harusnya ia yang menjabat tangan penghulu itu! Bukan Yusrizal! Sontak air mata Bara pecah, terlebih ketika suara "Sah" itu saling sahut menyahut dengan begitu nyaring. Sah sudah! Resmi sudah kekasihnya itu menjadi istri laki-laki lain.

Rasanya dunia Bara runtuh seketika. Cintanya telah pergi, memihak pada hati yang lain. Berlabuh pada sosok gagah dengan seragam militernya itu. Ia bukan lagi pilihan, ia hanyalah hati yang terbuang, tercampakkan, tersisihkan.

Bara mencoba ikhlas, karena ia sadar semua itu tidak akan terjadi jika Kirana tidak menyetujuinya bukan? Jadi ia bisa apa? Toh Kirana tampak sangat bahagia dengan pernikahannya. Dengan laki-laki yang kini bersanding di sampingnya.

Undangannya pun tidak sampai di rumah Bara. Tidak ada kata apapun dari Kirana, kecuali pesan bahwa Bara tidak boleh mengganggunya lagi, tanpa ada kata maaf, tanpa ada kata tentang pernikahan ini. Tidak ada kata apapun!

Bara menghembuskan nafas berat, ia kemudian bangkit, meraih remote TV lalu mematikannya. Bara melangkah keluar rumah. Ia butuh hiburan. Ia butuh sesuatu untuk melupakan semuanya. Melupakan rasa sakit hatinya, kekecewaannya, dan kesedihannya.

Ia membuka pintu mobilnya, kemudian bergegas memacu mobil itu dengan kencang. Mobil sport mahal pun buktinya tidak bisa membuat gadis itu tetap setia di sisinya. Apa karena Bara bukan anak presiden? Karena ia bukan anggota militer yang gagah dengan seragam lorengnya itu? Apa karena semua itu hingga kemudian ia berhak dicampakkan? Dibuang?

Bara benar-benar tidak mengerti! Ia harus menjadi laki-laki yang seperti apa agar gadis itu tidak berpaling? Kalau bapaknya harus jadi presiden agar dia bisa tetap di sisinya, Bara angkat tangan, ia tidak mampu! Karena papanya sama sekali tidak pernah berminat dengan politik.

Baginya politik itu kotor, penuh lumpur. Ia tidak mau masuk kesana, tidak mau jebak menjebak demi sebuah jabatan, kekuasaan, kekayaan. Tidak ... papanya tidak berminat dengan persaingan kotor macam itu.

"The sooner better!" hanya itulah doa yang Bara harapkan. Semoga setelah ini ia dapat pengganti yang lebih baik. Yang mau menerima apa adanya dia. Tidak mengingkari janjinya. Dan selalu setia di sampingnya. Hanya itu! Hanya itu yang Bara inginkan, tidak lebih! Karena ia sudah tidak mau banyak berharap. Ia takut kembali terluka, sangat takut!

***

"Nenek lihat acara itu tadi!" guman Tari, sang nenek ketika Bara datang.

Memang Bara memutuskan untuk pergi ke rumah neneknya kala hatinya sedang kalut seperti ini. Karena sejak kecil ia begitu dekat dengan neneknya itu. Baginya hanya sang nenek yang bisa mengerti semua perasaannya. Jadi ketika ia ada masalah, sedang sedih, sedang kacau pikirannya, kerumah inilah Bara akan pergi. Mendinginkan pikirannya sejenak.

"Sudahlah Oma, Bara sudah ikhlas." guman Bara sambil mencoba tersenyum.

"Oma tahu bagaimana kamu, kamu belum sepenuhnya ikhlas bukan?" Tari tersenyum, mengelus lembut kepala Bara.

Bara balas tersenyum, bagaimana pun ia memang sulit berbohong di depan neneknya. Mau bagaimana lagi, nyatanya memang sulit kok. Mereka pacaran sudah cukup lama. Tiba-tiba ditinggal menikah seperti itu. Hati siapa yang tidak hancur?

"Pelan-pelan lupakan dia, Bara! Masa depan kamu masih panjang, masih banyak gadis yang mau sama kamu." sama seperti kebanyakan teman-temannya, nasehat itu keluar juga dari mulut sang nenek.

Bara hanya mengangguk dan tersenyum, astaga ia bahkan belum ada pikiran untuk mencari pengganti Kirana. Belum ada sama sekali pikiran itu di dalam pikiran Bara. Gadis itu masih memenuhi pikirannya. Semua kenangan mereka, semua penghianatan dan luka yang dia berikan, semua masih memenuhi kepala Bara.

"Bara untuk saat ini lagi ingin sendiri dulu, Oma." Bara tersenyum kecut, kemudian bersandar di sofa.

"Oma mengerti, tapi pikirkan juga masa depanmu! Jangan terlalu terpaku pada satu hal yang menyakiti kamu."

Bara hanya mengangguk, entah untuk keberapa kali. Ia sedang tidak ingin banyak bicara. Ia sedang mencoba berdamai dengan dirinya sendiri.

"Apakah laki-laki seperti Bara ini tidak ada masa depannya, Oma? Sehingga Bara ditinggalkan begitu saja?" desis Bara nelangsa.

"Siapa yang bilang begitu? Kamu kaya! Tidak ada masa depannya bagaimana sih?" Tari tidak terima cucunya itu dibilang tidak ada masa depannya.

"Buktinya Bara ditinggalkan, Oma!" rintih Bara pilu, air matanya kembali menetes.

"Dianya ada yang terlalu serakah, keblinger mentang-mentang dia anak presiden!" guman Tari penuh emosi. "Harusnya kamu labrak dia! Permalukan sekalian perempuan itu, Bara!"

Bara menggelengkan kepalanya, itu bukan cara yang bagus. Mengingat siapa itu Yusrizal. Dan dia ingin membalas dengan cara yang elegan. Bukan dengan cara yang norak macam itu.

"Sudahkah, biarlah nanti mereka dapatkan balasannya, Oma." jawab Bara pasrah.

Tari hanya menghembuskan nafas panjang, semoga memang nanti mereka mendapatkan balasan atas apa yang mereka lakukan. Dan semoga kelak, cucunya itu mendapatkan wanita terbaik, yang lebih baik.

avataravatar
Next chapter