1 Prolog: I am going to die

"Sialan, hidup gue kenapa begini banget sih," gerutu Bara sambil menghisap batang terakhir rokok yang dia miliki di salah satu warkop pinggir jalan.

"Kusut amat muka lu, Bar." Ujar si pemilik warkop yang juga seorang kenalan Bara.

"Biasa Bang, kaga punya duit, utang peninggalan Bokap gue numpuk, gue yang ketampuhan dikejar debt collector."

"Kalo gue punya tampang kaya lu, Bar. Gue udah bisa jadi Model, manfaatin dong modal tampang lu itu, minimal lu bisa gaet Tante-Tante kaya," ucap Bang Jali pemilik warkop sambil tertawa.

"Ngaco aja lu, Bang."

Bara mematikan rokok miliknya yang baru setengah ia hisap. Dan memasukkan kembali sisanya ke dalam bungkusnya. Wajahnya tertunduk. Tanpa sengaja dia memperhatikan pantulan wajahnya di meja warkop milik Bang Jali yang terbuat dari kayu triplek berwarna putih.

Jika dilihat, dia memang memiliki wajah yang bisa masuk kategori tampan idaman para wanita. Wajahnya yang tegas, alis mata yang tebal, sorot mata yang tajam, bibir tipis yang di sertai dengan lesung pipit yang muncul ketika dia sedang berbicara. Rambutnya yang sedikit ikal dia cepol membentuk hair bun menyerupai gaya Harry Styles ketika sedang berambut gondrong. Membuat para wanita yang diparkirkan olehnya tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Bara kembali mengalihkan perhatiannya ke jalanan. Seandainya jalan hidupnya bisa semulus wajahnya. Dia tidak akan bermain petak umpet dengan para penagih hutang seperti sekarang.

Bara kembali mengalihkan perhatiannya pada parkiran ruko, dilihatnya ada sebuah motor yang akan meninggalkan parkiran. Bara pun langsung bangkit berdiri dan berjalan menghampiri motor yang akan keluar dari area parkiran ruko yang menjadi tempatnya mencari nafkah sehari-hari. Bara segera membantu memarkirkan motor yang akan keluar tersebut.

Selesai membantu memarkirkan motor yang keluar, Bara kembali duduk di warkop milik Bang Jali. Bang Jali sibuk membuat indomie rebus pesanan pelanggannya. Aroma indomie rebus kari ayam menyentil indera penciuman Bara. Tanpa sadar Bara memegangi perutnya. Membayangkan semangkok indomie rebus dengan telur setengah matang membuat perutnya terasa lapar. Tapi apa daya, dia hanya bisa menahan laparnya. Dia tidak enak jika harus kembali berhutang pada Bang Jali. Hutangnya bulan lalu saja belum bisa dia lunasi.

"Makan dulu, Bar!" Tiba-tiba bang jali menyodorkan semangkuk indomie rebus padanya.

"Apaan nih Bang, gue kan ngga pesan apa-apa."

"Udah, ngga apa-apa. Bayarnya, lu cukup bantuin gue cuci piring aja di belakang. Udah numpuk tuh, daritadi banyak yang beli sampai ngga sempat nyuci piring."

"Makasih, Bang." Setidaknya dia tidak makan indomie pemberian Bang Jali dengan gratis. Karena dia akan sangat merasa tidak enak jika Bang Jali memberikan indomienya secara cuma-cuma. Bang Jali sudah cukup sering membantunya selama ini. Bara menyantap indomie rebus buatan Bang Jali dengan lahapnya. Entah mengapa indomie rebus buatan orang lain selalu lebih enak dibanding buatan sendiri.

***

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bara sudah selesai mencuci piring terakhir yang ada di warkop Bang Jali. Cukup melelahkan juga menjalankan dua pekerjaan sekaligus. Tapi setidaknya dia bisa mendapat makanan semi gratis di warkop Bang Jali. Selesai mencuci piring, Bara menghitung uang hasil memarkirnya hari ini. Hasil hari ini cukup lumayan. Dia membaginya untuk keperluan membayar hutang bapaknya, untuk bayar sewa kontrakan dan sisanya untuk kebutuhan sehari-harinya.

"Gue pamit, Bang." Bara bangkit berdiri dan pamit kepada Bang Jali yang masih merapikan warkop.

"Hati-hati, Bar!" ucap bang jali sambil mengelap meja.

Bara berjalan kaki menuju rumah kontrakannya. Ketika sampai di ujung gang sebelum berbelok ke arah kontrakannya, Bara menghentikan langkahnya sejenak untuk menatap bulan yang sedang bulat sempurna.

"Hidup ini berat," batinnya.

Setelah beberapa detik menatap bulan, Bara kembali melanjutkan langkahnya untuk menuju rumah kontrakannya. Sebelum mencapai kontrakannya, Bara harus melewati gang sempit yang gelap dan tidak bisa dilewati kendaraan bermotor. Bara berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ketika sampai ditengah gang, langkahnya mendadak terhenti. Seseorang berdiri menghalangi langkahnya.

"Semoga ini bukan Penagih Hutang sialan itu," batin Bara.

Perlahan Bara mengangkat wajahnya. Begitu melihat wajah orang yang menghalangi jalannya, Bara hanya bisa menghela napas lesu.

"Kapan lu mau bayar utang bapak lu?" Tanya penagih hutang itu sambil mendekat ke arah Bara.

"Ini masih gue kumpulin Bang duitnya, kasih waktu dikit lagi lah Bang." Bara memohon untuk diberikan sedikit kelonggaran.

"Gue udah kasih perpanjangan waktu, tapi lu tetap ngga bayar-bayar juga."

"Ya, uang segitu kan banyak banget Bang, Abang juga tau kerjaan gue cuma markir."

Bara bisa melihat wajah para penagih hutang itu yang sudah seperti ingin memakannya hidup-hidup. Bara perlahan mundur. Tapi kemudian dia menabrak sesuatu. Begitu menoleh, dia bisa melihat wajah-wajah preman yang sudah siap untuk memukulinya kapan saja.

"Mau coba kabur lu?" kembali penagih hutang itu bertanya pada Bara. Kali ini dengan nada penuh ancaman.

"Gara-gara lu sama Bapak lu yang ngga bisa bayar utang. Gue jadi kena sama atasan gue, dan asal lu tau atasan gue itu ngga sesabar gue, jadi bukan salah gue kalo kejadiannya jadi kaya gini." Si Penagih Hutang melanjutkan kata-katanya sambil memberikan kode pada Preman yang berdiri di belakang Bara. Dengan santainya dia kemudian berjalan menjauhi Bara.

Bara ingin berlari, tapi terlambat. Dia merasakan punggungnya seperti dilempar sebilah kayu. Rasa sakit luar biasa membuat Bara terjatuh ke tanah. Begitu Bara terjatuh ke tanah, para Preman-preman tersebut secara membabi buta memukulinya dengan apa saja yang mereka bawa. Ada yang menggunakan tangan kosong, ada yang menggunakan sebilah kayu, bahkan ada yang menggunakan tongkat pemukul baseball.

Bara tidak sanggup melawan mereka yang berjumlah banyak. Dia hanya bisa mencoba melindungi kepalanya sambil meringkuk di tanah. Ditengah ketidak berdayaannya, Bara hanya bisa pasrah. Pasrah jika dia harus mati saat ini.

Setidaknya mati akan lebih baik daripada harus menghadapi hal seperti ini setiap hari. Tiba-tiba para Preman itu berhenti. Bara yang sudah terkapar tidak berdaya kemudian diseret mendekati si Penagih hutang. Sayup-sayup Bara melihat orang tersebut sedang memainkan sebuah pisau lipat di tangannya. Kepalanya sudah tidak mampu memikirkan apa pun. Tanpa aba-aba, tiba-tiba Bara merasakan pisau tersebut sudah mendarat di perutnya.

"Ough!" Bara merintih kesakitan.

Tidak cukup sekali menusuknya, orang tersebut lalu kembali menarik pisaunya dan lalu menusukkannya kembali pada Bara. Bahkan dia terus mendorong pisaunya semakin ke dalam. Setelah itu, dia kemudian kembali menarik keluar pisaunya. Para Preman melepaskan pegangannya pada Bara dan berjalan pergi meninggalkannya. Bara sontak memegang perutnya. Dilihatnya darah segar yang merembes membasahi bajunya. Bara mencoba bangkit berdiri sambil menahan sakit yang luar biasa pada perutnya. Baru beberapa langkah, Bara kembali jatuh ke tanah.

"Ini ngga becanda, gue bakalan mati disini," pikir Bara.

Bara merasa napasnya semakin berat dan dadanya terasa nyeri. Tanpa sadar dia batuk mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Dia bisa merasakan pandangannya semakin kabur. Dan dia pun terkulai di tanah, di tengah gang sempit nan gelap.

****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys (untuk playlist musik yang saya putar selama menulis Bara).

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.

avataravatar
Next chapter