webnovel

Bagian 1

Follow my twitter and Instagram : @bangremy supaya makin semangat nulis

SEJAK perusahaan tempatnya bekerja mengurangi jumlah karyawannya, Andro terpaksa menyetujui dirinya di-PHK dengan imbalan yang cukup banyak. Cukup banyak namun sebenarnya dia lebih memilih untuk tetap bekerja sebagai karyawan di pabrik tersebut daripada tidak memiliki pekerjaan tetap. Apalagi dia masih muda. 30 tahun, dan sudah berkeluarga dengan dikaruniai seorang putri yang sekarang berusia 3 tahun. Andro terkadang merasa sedih saat menatap putrinya. Bagaimana masa depannya jika sampai waktunya masuk sekolah dia masih belum memperoleh penghasilan tetap.

Atas kesepakatan bersama dengan istrinya, Andro membeli sepeda motor untuk mulai menjadi tukang ojek. Tidak dengan cara dicicil karena akan sangat memberatkan. Itu sebabnya dia memilih untuk membeli motor yang dilelang karena pemilik sebelumnya tidak sanggup membayar cicilan. Kondisi motornyapun masih tergolong prima. Sedangkan istrinya memakai sebagian lagi uang pesangon untuk memulai usaha laundry di rumah dan membuka kios di pasar. Syukurlah, usaha mereka tergolong lancar dan mulai bisa menabung selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka bergantian bekerja. Pagi hari, istrinya menjaga kios di pasar sementara Andro menjaga putri mereka dan mengerjakan titipan laundry sampai tengah hari. Saat istrinya kembali, dia beristirahat siang dan mulai mengojek pukul 4 sore dan kembali saat maghrib. Setelah itu Andro kembali menarik motornya dari jam tujuh hingga jam sebelas malam.

Selepas pukul tujuh malam, Andro baru saja selesai mandi. Dia melewati cermin yang menempel pada lemari pakaiannya dan tersenyum sendiri memandang pantulan dirinya yang hanya mengenakan handuk terlilit pada pinggangnya. Wajahnya menggelap karena banyak terpapar sinar matahari. lengannya terlihat belang. Dulu wajahnya digila-gilai banyak wanita sebelum akhirnya Andro melabuhkan pilihan pada istrinya sekarang. Dia meringis melihat guratan sixpacknya sudah memudar walau perutnya masih rata. Walau sekarang tubuhnya masih terbilang bagus dan berotot, dia tak lagi pergi ke pusat kebugaran serutin dulu saat masih bekerja karena harus menghemat pengeluaran. Sebagai gantinya, dia masih melakukan olah tubuh rutin di rumah.

Andro mengenakan jaketnya dan berpamitan pada istrinya. Setelah itu dia menghidupkan mesin motornya dan melaju ke pangkalan. Tempat Andro menunggu calon penumpang adalah di sebuah perempatan jalan tepat setelah pintu keluar gerbang tol. Biasanya banyak penumpang turun dari bus dan menyambung dengan menumpang ojek hingga ke rumah mereka masing-masing. Malam itu langit mendung dan berhawa dingin. Andro menutup penuh risleting jaketnya karena cuaca berangin. Dia sudah mendapat beberapa penumpang, dan agak lebih santai untuk tidak beramai-ramai mendekati bus yang baru saja menepi untuk meraih simpati penumpang. Sudah hampir setengah sebelas. Bus yang baru menepi adalah bus terakhir dari kota yang mengangkut pekerja yang baru saja pulang. Walau Andro dan motornya mendekat ke arah bus yang penumpangnya mulai turun, dia menahan diri dan memberi kesempatan teman-temannya yang belum dapat pelanggan untuk maju duluan.

Setelah satu per satu rekan sesama pengojek mendapat pelanggan, seorang laki-laki turun. Dia tampak bingung melihat ke kanan dan ke kiri terlihat ragu. Dia membawa tas punggung sambil menenteng tas lain di tangan kirinya. Andro lalu berinisiatif mendekatinya. "Ojek, mas?". Pria itu menoleh pada Andro. Awalnya dia masih terlihat ragu, tapi akhirnya dia naik juga. Usianya kira-kira akhir 20-an, dan sepertinya beberapa tahun di bawah Andro. Wajahnya tampan dan berkulit bersih. Dari kemeja kerjanya tercium wangi parfum bercampur aroma alami tubuhnya.

"Jalan Kenari ya," ujarnya.

Andro mengangguk menyanggupi. Lalu pria itu naik di boncengan sebelum akhirnya melaju bersama motornya.

"Pulang malam, mas?" tanya Andro berbasa-basi. Sebelumnya dia tidak pernah melihat orang ini saat berada di pangkalan. Andro berusaha ramah kepada setiap pelanggannya.

"Iya. Abis lembur.." jawab pria itu singkat.

Andro tak bertanya lagi. Sepertinya pria ini memang tidak suka diajak mengobrol. Apalagi tampaknya dia seorang pegawai kantoran dan terlihat necis. Mungkin dia tidak berminat akrab dengan tukang ojek seperti Andro.

"Kirain enggak mau, bang..." ujarnya setelah beberapa saat mereka berdua terdiam.

"Enggak mau kenapa?" tanya Andro.

"Iya. Kemarin saya asal naik ojek, begitu saya sebut di Jalan Kenari, saya disuruh cari ojek lain. Mungkin carinya yang jauh-jauh ya? enggak mau antar yang deket kayak ke rumah saya." Jelasnya.

"Ah, enggak boleh kayak gitu. Yang mana orangnya? Namanya rezeki enggak boleh ditolak. Pamali. Nanti saya tegur temen-temen di pangkalan." sahut Andro.

Pria itu terkekeh. "Saya enggak hapal, bang. Enggak usah lah.. toh, sekarang udah ada yang anterin."

"Baru pindah ya mas?" tanya Andro.

"Iya. Saya tempatin rumah famili yang lagi tinggal di luar negeri."

"Wah, enak ya? Rumah di situ kan mewah-mewah." puji Andro.

"Yang punya rumah kan bukan saya, bang. Saya cuma numpang aja. Jagain kalau ada yang bocor kalau hujan," candanya.

Andro terbahak.

Tak lama keduanya tiba di tempat tujuan. Rumah yang ditempati pria itu memang satu dari sekian banyak rumah besar yang ada di jalan itu.

Pria itu mengambil selembar uang dari kantung kemejanya dan menyerahkannya pada Andro. Andro merogoh kantung celananya untuk mengambil uang kembalian.

"Enggak usah dikembaliin.." tolak pria itu.

Andro terkejut. Dia tak menyangka untuk jarak dekat ini dia diberikan ongkos yang lumayan besar.

"Eh, beneran? Makasih ya," ujar Andro.

Pria itu tersenyum sambil mengangguk. "Yo.. terima kasih, ya!"

Andro kemudian pamit sekali lagi. Dia mau langsung pulang ke rumah saja karena dirasakan penghasilannya sudah cukup untuk malam ini.

***

Keesokan harinya, Pria itu kembali tiba bersama bus terakhir. Andro sengaja tak mendekati pintu bus namun membiarkan dirinya terlihat oleh pria itu yang langsung tersenyum mendekatinya. Lagi-lagi Pria itu memberi uang cukup besar. Tapi tampaknya dia santai-santai saja. Bagi Andro, pelanggan murah hati ini harus dipertahankan.

Hari berikutnya, Andro seperti biasa menepikan motornya agak jauh. Namun malam itu rupanya bus yang biasa ditumpangi oleh pria langanannya sedikit terlambat dan jaraknya berdekatan dengan bus sebelumnya. Akibatnya pangkalan ojek sepi dan tinggal tersisa beberapa motor. Tak lama bus terakhir tiba. Beberapa orang turun dan berebut naik ojek yang tersisa di pangkalan.

"Gang enam, bang!" kata sebuah suara perempuan tak jauh dari Andro. Andro yang sedari tadi memerhatikan bus menantikan apakah pemuda itu turun, jadi gelagapan.

"Eh.. tapi.." ujar Andro ragu. Dia sebenarnya masih menunggu pemuda itu. Tapi rupanya perempuan tadi sudah tak sabar. Dia langsung duduk di boncengan motor. Terpaksa Andro setengah hati menjalankan motornya. Saat dia menoleh ke bus, pria langganan ojeknya baru turun. Dia menatap kecewa pada Andro yang meninggalkannya. Andro sendiri merasa menyesal.

Setelah mengantar perempuan itu, Andro memutuskan untuk pulang ke rumah. Besok dia akan meminta maaf pada pelanggan murah hatinya itu.

Besoknya, Andro kembali mengantar pemuda itu. Dalam perjalanan dia meminta maaf.

"Maaf ya Mas. Kemarin saya enggak bisa nolak. Udah dinaikin duluan. Jadi enggak enak."

"Enggak apa-apa. Kan enggak boleh nolak penumpang bang. Cuma saya kirain abang bakal balik lagi ke pangkalan.." ujar pemuda itu.

Terkejut dan merasa bersalah, Andro mengerem mendadak motornya hingga tubuh pemuda itu menabrak punggung Andro.

"Mas nunggu saya?" tanya Andro.

Pemuda itu masih berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang terhempas ke depan. Dia kemudian menjawab. "Iya. Sekitar limabelas menit. Tapi kayaknya abang enggak balik lagi. Jadinya saya jalan kaki.." katanya sambil tersenyum.

"Waduuh.. saya jadi enggak enak ini. Kemarin langsung pulang. Kirain Mas naik ojek yang lain.." sesal Andro.

"Gapapa. Bagaimana kalau saya minta nomor handphone mas aja? jadi kalau bus saya sudah mau keluar tol, saya telepon atau sms.." tawar pemuda itu.

"Oh Boleh.. boleh.." ujar Andro antusias.

Setelah mereka tiba di rumah pemuda itu, mereka saling bertukar nomor telepon.

"Nama Saya Rizal.." katanya.

"Saya Andro, mas.."

Mereka berjabat tangan.

"Oh, iya.. Kalau pagi butuh ojek, kasih tau aja berangkat jam berapa.." tawar Andro.

"Kalau berangkat pagi, saya numpang mobil tetangga sebelah, bang. Hehe.." jawab Rizal.

"Oh gitu ya? Oke deh.. saya pulang dulu, ya?" pamit Andro.

Rizal mengangguk sambil berterima kasih.

Hari-hari selanjutnya mereka semakin akrab. Andro bertanya mengapa Rizal selalu membawa tas lain untuk dijinjing dan tidak memasukkan seluruh bawaannya pada ransel. Rizal menjawab hal itu dikarenakan punggungnya sering merasa sakit apabila terlalu berat membawa beban di tasnya. Rizal juga berkata hal itu membuatnya tidak lagi latihan di pusat kebugaran. Rizal berharap Andro bisa menemaninya latihan di tempat gym setiap akhir pekan. Dengan senang hati Rizal membayar biaya fitness yang hanya duapuluh ribu per kunjungan pada tempat pusat kebugaran yang direkomendasikan oleh Andro.

"Yah.. enggak elit kayak yang di mall-mall itu sih.. tapi kan yang penting latihannya yang bener, iya enggak mas?" tanya Andro.

Rizal terkekeh mengiyakan.

Rizal juga sangat perhatian. Dia seringkali membawa makanan atau mainan untuk dibawa pulang Andro untuk diberikan kepada istri dan anaknya. Di akhir pekan, mereka menuntaskan janji untuk latihan kebugaran bersama. Rizal dan Andro semakin akrab. Namun suatu hari..

***

"Bang. Saya pulang naik taksi. Ada meeting di luar kantor. Thanks."

Andro membaca sms dari Rizal. Kemudian dia memasukkan kembali ponselnya sambil menghela nafas. Dia agak kecewa dan memutuskan untuk pulang saja tanpa menunggu bus terakhir. Saat Andro memakai helmnya, sebuah taksi melewatinya. Dilihatnya Rizal duduk di kursi penumpang. Rizal tampak murung. Dia melirik dan menyadari Andro masih ada di pangkalan sehingga dia melambaikan tangannya. Andro balas melambai dan melihat Rizal kembali murung. Ada apa dengannya? Tapi Andro sungkan untuk menanyakannya via sms dan memilih untuk pulang.

Esoknya Rizal naik motor Andro lagi. Tapi wajahnya masih murung dan tak banyak bicara. Saat Andro bertanya ada masalah apa, Rizal hanya menggeleng dan tersenyum.

Hari berikutnya lagi-lagi Rizal tak nampak. Dia memberitahu Andro kalau dia menginap di rumah temannya. Dan itu berlangsung selama beberapa hari. Terus-terang, Andro merasa sahabat barunya menjauh dan itu membuatnya sedih. Akhir pekan itu pun Rizal tak pulang ke rumah. Andro jadi malas latihan. Dia ikut murung sambil memikirkan perubahan sikap Rizal.

"Bang, saya diantar teman. Sori.."

SMS dari Rizal malam itu setelah dia tidak pulang lagi selama beberapa hari.

Andro memutuskan untuk tetap menunggu sambil mengawasi mobil yang keluar dari pintu tol. Sampai sebuah sedan akhirnya melewatinya. Andro melihat penumpangnya adalah Rizal bersama seorang pria lain di bangku kemudi. Keduanya tampak diam sementara Rizal masih terlihat murung. Pengemudi mobil itu sepertinya berusia lebih tua dan matang. Entah dapat pikiran dari mana, Andro memutuskan utuk mengikuti mereka. Karena Andro tahu rumah Rizal, dia menjaga jarak sejauh mungkin agar aksi pembuntutannya tak diketahui oleh Rizal dan kawannya.

Setelah mereka tiba, Andro bisa melihat bahwa mereka berdua sedang berbincang serius di depan gerbang rumah Rizal. Percakapan mereka tampak semakin intens. Teman Rizal meraih lengannya saat Rizal hendak keluar dari mobil dan memaksa untuk mencium pipinya sambil merangkul bahunya.

Andro terkesiap melihat peristiwa itu. Baru kali ini dia melihat seorang pria merangkul pria lainnya untuk dicium. Rizal lalu mendorong temannya dan menghambur keluar. Pengemudi mobil itu akhirnya mengalah dan pergi dari rumah Rizal. Mata Rizal tampak mengawasi mobil temannya sampai menghilang di tikungan. Rizal lalu menoleh ke kiri dan kanan. Saat itulah dia melihat Andro dan motornya terparkir agak jauh dari rumahnya. Rizal dan Andro sama-sama terkesiap. Rizal menduga sebanyak apa peristiwa yang sudah dilihat Andro, sementara Andro bingung bagaimana menjelaskan alasan dia berada di sana.

*bersambung*

Next chapter