1 Menuju Ospek

Tak ada yang lebih menarik saat pertama kali memasuki dunia perkuliahan selain kegiatan ospek. Sebelumnya aku sudah sering mendengar dari kedua kakakku- Mbak Ajeng dan Mbak Anjani- bahwa ospek saat kuliah tidak sama dengan MOS jaman SMA. Ospek dikenal kejam dan menyeramkan. Nanti para mahasiswa baru akan disuruh melakukan hal-hal aneh dan membawa barang-barang yang tak kalah aneh. Kadang bahkan tak jarang ada senior yang berani main fisik. Ini yang membuatku agak takut menghadapi ospek.

"Ospek kita nanti gimana ya, Ty?" Tanyaku pada Anty di malam harinya.

"Ya ga gimana-gimana lah. Emang kudu gimana?" Anty masih sibuk menata barang-barangnya yang cukup banyak sementara aku sudah selesai sejak sore tadi.

"Aku takut. Ospek kan katanya serem gitu."

"Oh, maksud lo yang kayak STPDN itu? Yang disuruh push up, sit up, lari keliling lapangan?" Anty sesekali berpaling ke arahku yang duduk di atas kasur tingkatnya.

"Aku takut digebukin, Ty," kataku polos.

Anty tertawa. "Kalo ada senior yang gebukin lo ya lo lapor lah. Itu kan kekerasan namanya. Kalo lo keburu mati sebelum lapor gue yang bakal jadi pelapornya dan saksi matanya."

Aku melempar boneka-boneka kecil miliknya yang sudah ditatanya di atas kasur. "Sialan. Masa nyumpahin aku mati sih?"

Anty terkekeh.

Tak kusangka meski cukup tomboy, Anty suka mengoleksi boneka. Padahal aku tidak. Aku menghindari segala sesuatu yang berpotensi menjadi sarang debu seperti bulu boneka karena selain alergi cuaca ekstrim aku juga alergi debu.

"Ospek kita kayaknya ga bakal sekejem itu sih, Mir. Yah, kita liat aja besok gimana. Kan besok kita ada technical meeting."

Aku pun meyakinkan diriku bahwa aku bisa melewati badai ujian pertama kuliah bernama ospek itu.

"Beli ayam goreng yang sayap sama kakinya nyatu?" Aku menggaruk kepalaku yang mulai pening membaca secarik kertas di tanganku. Bukan karena tulisanku jelek tapi karena isi catatan di kertas itu makin ke bawah makin tak masuk akal; dari buah pisang dempet tiga, permen susu rasa curiga, kini ada pula ayam goreng dengan sayap dan kaki menyatu.

"Udah, kita beli aja ayam goreng bagian sayap sama ceker." Anty terlihat santai.

"Terus nyatuinnya gimana, Ty? Dimana-mana orang jualan ayam goreng pasti udah dipotong-potong per bagian." Stress membuatku jadi emosi. Padahal harusnya aku membeli makan malam karena perutku belum diisi sejak siang. Tapi begitu pulang dari technical meeting sore ini napsu makanku tiba-tiba lenyap.

Anty menggaruk kepalanya. "Pake lidi kek atau tusuk gigi mungkin."

Aku mendesah. Itu bukan jawaban. Anty juga sebenarnya tidak tahu harus bagaimana tapi dia berusaha santai.

"Udah, yang penting kita beli makan aja dulu. Lo belom makan dari siang. Ga perih itu perut?"

Mungkin makan adalah gagasan yang bagus karena memikirkan sesuatu yang memusingkan seperti ini dalam keadaan perut kosong akan membuatku makin emosi.

Tak kusangka ternyata saat kami sedang membeli makan, kami bertemu dengan banyak sekali mahasiswa baru di kampus yang sama. Banyak dari mereka yang ternyata indekos di dekat tempat kami indekos. Beberapa dari jurusan yang sama, Sastra Inggris, tapi ada sebagian yang mengambil jurusan lain seperti Sastra Indonesia dan Bahasa Mandarin. Kami akhirnya melancarkan aksi SKSD alias sok kenal sok deket untuk membuat koloni. Kami bertukar pikiran akan perintah-perintah yang harus kami laksanakan demi ospek. Akhirnya kami baru menyadari bahwa perintah-perintah yang diberikan senior kami sebenarnya tidaklah sulit. Itu hanya permainan kata. Misalnya saja permen susu rasa curiga. Aku tinggal membeli Alpenliebe atau Milkita lalu kuganti tulisan varian rasanya dengan rasa curiga. Ayam goreng pun begitu. Ternyata aku hanya perlu menyambung sayap dan ceker ayam itu dengan lidi atau mengikatnya dengan tali rafia. Begitupun dengan pisang dempet. Tinggal satukan saja mereka dengan lidi.

"Iya, Mbak, nanti saya sambungin aja pake lidi atau diiket pake rafia. Yang lain juga pada gitu kok." Kata bapak penjual ayam goreng yang kutemui di depan kampus.

Beruntung aku masih bisa mendapatkan sayap dan ceker karena aku membeli ayam goreng menjelang magrib sebab beberapa teman yang baru membeli setelah magrib justru kehabisan sayap dan ceker sehingga kelabakan mencari kesana kemari. Kampusku memang agak terpencil sehingga sedikit sekali orang berjualan makanan di sana.

"Oh, gitu ya, Pak? Tadi ada yang beli beginian juga?" Anty bertanya.

"Iya, Mbak. Tadi juga ada yang beli ceker sama sayap terus nanya bisa disatuin apa nggak gitu. Tahun lalu juga ada kok beginian juga. Tiap ospek kayaknya sih selalu ada ayam ayam gitu," terang si bapak.

"Ah, panitianya ga kreatif berarti," aku menukas. "Masa bikin listnya sama sih."

Si bapak cuma tersenyum. Lalu katanya, "Saya tuh heran sebenernya, Mbak. Kenapa kalo ospek tuh mesti begini gitu lho. Kenapa harus ada bawa-bawa yang aneh-aneh gitu ya? Manfaatnya apa gitu lho? Apa ya ada hubungannya sama kuliahnya?"

"Lebih heran lagi saya, Pak. Udah tau aneh dan ga ada faedahnya kenapa kok pada mau nurutin ya?" Sahutku yang membuat Anty menimpali "iya juga ya" sambil menggaruk kepalanya lalu nyengir kuda.

"Ga usah dipikirin, Mbak. Bersyukur aja masih bisa kuliah. Saya mau nyekolahin anak saya tinggi-tinggi eh biayanya yang ga ada."

Ah, kata-kata si bapak tak pelak membuatku terenyuh. Apalagi si bapak mengucapkannya sambil tersenyum getir.

"Bapak juga bersyukur, Pak." Anty menyahut. "Meski anak bapak ga kuliah di sini tapi bapak tiap hari jualan dimari. Anggep aja buat ganti. Eh, tapi solawatin aja, Pak, siapa tau nanti ada rejekinya nyekolahin anak dimari."

Aku geleng-geleng kepala dengan tatapan takjub. "Masya Allah, Ty, kamu bijak sekali."

"Lo diem aja," ancamnya. "Lo sekalinya ngomong berpotensi meledek."

Aku terbahak. "Belum juga ngomong apa-apa udah disuuzonin."

Setelah aku dan Anty mendapatkan apa saja yang harus kami bawa besok dan pulang ke kos kami baru bisa makan malam dengan tenang.

"Lo udah pasang alarm jam 3 kan, Mir?" Tanya Anty dengan wajah serius.

"Jam 3?" Aku mengernyit heran.

"Besok kan kita udah harus nyampe kampus jam 6, Mir!" Anty seolah ingin memakanku bulat-bulat saat melotot ke arahku dengan gemas.

"Ya Allah, Ty, kosan kita kan deket jadi ngapain bangun jam 3 juga? Ga ada lima belas menit jalan kaki juga nyampe. Yang ada kita kepagian nyampe sana. Panitianya belom pada berangkat. Kamu mau buka gerbang apa gimana?"

"Iya sih tapi jaga-jaga aja kita susah bangun besok jadi pasang alarmnya dicepetin."

"Udahlah, kita pasang alarm jam 4 aja abis itu kita mandi, solat subuh, terus siap-siap berangkat."

"Oke deh. Nanti kalo gue belum bangun lo gedor pintu kamar gue yak," pesan Anty sebelum beranjak ke kamarnya sendiri di depan. Kamarku ada di bagian belakang rumah- dekat meja makan dan dapur bahkan tak jauh dari kamar mandi.

"Sebaliknya ya. Kalo sekiranya aku belum bangun nanti gedor pintu kamarku juga ya."

Anty bersikap seperti sedang hormat.

"Eh, gue balik kamar dulu deh. Ini udah jam setengah sepuluh ternyata. Gue ngantuk. Tadi kita ga sempet istirahat kan abis technical meeting. Kita langsung nyari-nyari bahan buat besok sampe ga kerasa udah jam segini. Baru mau hari pertama aja ribetnya kayak gini. Gimana besok-besok?" Gerutu Anty.

"Ya udah sana balik kamar. Tidur. Good luck for us for tomorrow."

Anty mengepalkan kedua tangannya seolah ingin menyemangati. Lalu dia pergi dari kamarku dan aku pun bersiap tidur sebelum berangkat ke medan perang bernama ospek besok hingga tiga hari ke depan.

***

avataravatar
Next chapter