webnovel

Selamat Tinggal Marina Bay

Semilir angin Pantai Marina menyibak lembut hijab nya. Melambai lambai seakan bercerita pada dunia tentang kerinduanya. Aku rindu rumah..! pikiran Delia berlari menuju kampung halaman yang telah ditinggalkannya tiga tahun lalu.

Ini adalah hari terakhirnya di Negeri Singa. Andai ia dapat mempercepat waktu, bertemu sanak saudara dan menceritakan pengalamannya menuntut ilmu di Negeri Tetangga. Meskipun sebagian dirinya terasa enggan untuk meninggalkan Negeri itu. Enggan karena ia harus bersiap menghadapi perjodohan yang telah sekian lama ditangguhkannya. Hatinya enggan tuk bergerak maju tertahan karena sebuah kisah yang tanggung. Seperti menonton sebuah drama yang menyisakan tanya sehingga penonton berharap ada sekuel dari drama itu. Sebuah akhir yang bahkan ia sendiri tak mampu menebaknya. Andai ia masih diberi kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.

Berharap Allah SWT, akan segera memberi jawabannya atau ia akan menyimpan kisah itu dan menutupnya dengan kisah baru sementara sebagian dirinya tertahan di dalamnya. Jika ia melakukannya akankah ia mampu menjalani kisah baru dengan tokoh utama baru? Akankah ia bisa bahagia bersama tokoh barunya itu? Akankah penyesalan datang dikemudian hari dan merusak segalanya? tampak wajah Delia mengkerut tubuhnya terkulai lemas di pagar yang membatasi dirinya Dengan pantai Marina. Berharap angin kan membawa gelisah hatinya.

Di tengah kelesuannya, tiba-tiba seorang pemuda datang menghampirinya. Pemuda bertubuh tinggi dan berwajah oriental itu menyodorkan tangan ke arahnya. Sontak Delia terkejut dan segera bangkit dan membereskan tampilannya. Ia tak ingin orang lain melihat kegundahan hatinya. Pemuda itu tersenyum "Is this your's.." ucapnya lembut sambil menunjukkan sebuah telepon selular berwarna merah. Ia pun segera tersadar bahwa itu adalah telepon genggam miliknya. Delia segera mengambil telepon itu sembari berpikir kapan ia menjatuhkannya, sungguh teledornya dirinya. Ia sangat berterimakasih kepada pemuda jujur itu meskipun sikapnya sedikit canggung ketika berbicara dengannya. Bagaimana tidak, dihadapannya berdiri seorang laki-laki tampan dengan senyuman manis yang membuat jantung setiap gadis berdegup kencang. Hal yang tak biasa baginya, ia bukan orang yang mudah tertarik hanya dengan ketampanan seseorang. Akan tetapi, mengapa tubuhnya bereaksi lebih cepat dibandingkan akalnya? Siapa dia? Mengapa aku merasa mengenalnya? Ah..Delia sadarkan dirimu, kau tidak mengenalnya.., Delia berusaha meyakinkan diri. Delia kembali dari lamunannya namun, alangkah terkejutnya dia. Sejak ia mengucapkan terimakasih kepadanya, pemuda itu tidak beranjak dari sana. Ia terus menatap dalam Delia membuat dirinya menjadi risih dan salah tingkah.

"Roti kompyang kamukah itu?", pemuda itu berbicara dengan bahasa Indonesia. Delia terperangah, jantungnya serasa meluncur keluar dari dadanya. Pantas saja tubuhnya bereaksi cepat, hatinya tidak pernah salah mengenali orang. Kini ingatan itu terbuka hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan itu, suara itu ya..dia! orang yang selama ini telah menahan hatinya. Tokoh dalam kisahnya yang tertunda setelah sekian lama akhirnya ia berdiri dihadapannya. Entah ia harus bahagia atau sebaliknya. Ya..Allah inikah jawabanMu? Apakah Engkau sedang menguji hambamu? batinnya bergejolak. Pemuda yang selama ini dirindukannya. Sungguh seperti mimpi baginya. Semoga bukan dia, semoga kali ini hatinya salah.

"Aku tidak mungkin salah kau si roti kompyang..!", ucap pemuda itu dengan yakin. Delia semakin gugup sebelumnya dia begitu berharap bertemu dengannya tapi ia sungguh tak menyangka bahwa doanya akan dikabulkan Allah dengan begitu cepat. Begitu tiba-tiba, ia belum siap menata dirinya. Ia khawatir dirinya goyah. Namun, kini sudah tidak mungkin lagi ia menghindarinya. Inilah saatnya ia menentukan akhir cerita yang tertunda.

"Iya..kau benar dr. Marmer aku si roti kompyang..", ucap Delia menoleh ke arah pemuda itu. Pemuda itu segera mendekat dan meraih tangan Delia senyuman lebar tersungging di bibir tipisnya.

"Akhirnya doaku terkabul terimakasih Tuhan..", ucap haru pemuda bermata biru itu. Pertemuan itu membuka kisah lama roti kompyang dan dr. Marmer ...

Next chapter