2 Begining

"Vin Gilbert!!" aku berteriak nyaring, terpikik melihat Vin yang terjatuh memegang perutnya yang berlumuran darah. Matanya membulat hingga akhirnya terjatuh.

"Ya tuhan...." gumam panikku tak jelas setelah ikut terjatuh menumpu tubuh Vin yang mulai menumpahkan darah.

"Tenanglah, orang itu takkan mati hanya dengan senapan angin" Ujar suara britton memotong suara kecilku. Tubuhku bergetar hebat, suara tercekik dalam tenggorokan, pandangan mataku mengabur terhalang Kristal air mata.

"Ayah... kenap- uhuk!" ucap Vin terputus-putus karena kondisi buruknya. Mendengar kata ayah langsung menyimpulkan argument kecil untukku yang membuatku menatap kearah lelaki yang berdiri kejam di hadapanku.

"Bukan nona... aku bukan tuan Jams. Aku hanya salah satu barangnya. Silahkan tanda tangan dsini." Ucapnya seolah membaca kecurigaan ku.

'para penjaga di luar dan para pelayan kemungkinan sudah terkalahkan, ayah dan ibu, semoga mereka selamat. Bersembunyilah' batinkku menyimpukan dengan tarikan nafas. Dan selanjutnya aku hanya mempertanyakan map dihadapanku.

"Kau akan tahu jika melihatnya." tegasnya melempar pena hitam. Mataku bergeser menatap setiap huruf pada kertas yang menyatakan sertifikat pernikahan. Dengan kata lain, jika aku tanda tangani maka aku dan tuan muda Gilbert telah resmi menikah.

Aku menatapnya, dan memalingkan wajah untuk menolak. Bukan tidak ingin. Tapi ada yang salah dengan semua ini.

"Kau yakin?"

Dengan diam sebagai jawaban, aku berani menatap kembali matanya, untuk melawan.

"Bagaimana kalau begini..." sepasang bibir kehitamannya, menghisap dan menyesap dalam-dalam rokok ditangannya. lalu menjentikan jari hingga mengeluarkan suara kecil. Tak lama, dari bibir pintu terdengar langkah kaki yang seperti sedang menyeret sesuatu. Perasaan curiga dan takut menjalar pada setiap inchi tubuhku.

"Jika kau menandatanganinya, aku akan melepas nyonya cantik ini bersamamu" katanya menjambak surai pirang yang sangat familiar dari balik dinding. Sedikit demi sedikit terlihat, wajah Ibu yang meringis dibalik ketidak sadarannya. Lebam dan darah membekas di sudut bibir dan hidungnya. Aku menahan sesak yang terasa menggerogoti tenggorokkan ku.

"Bagaimana?" Tanya nya lagi. Dia tersenyum saat menyakiti wanita lemah seperti ibu. Aku ingin meninju wajahnya.Tapi ada sesuatu yang melarangku. Hingga akhirnnya aku hanya bergetar menghela nafas pasrah.

Vin yang masih terkulai, diangkat oleh seorang lelaki bertubuh besar ke suatu tempat entah kemana, tapi kurasa itu akan baik-baik aja.

Dan lelaki di depanku dengan terbalut sarung tangan hitam, tangannya yang besar menggenggam pistol dan siap meluncurkan peluru panas di kepala ibu, membuatku ingin segera melarikan diri. Dengan gemetar, pena menari merangkai tanda tangan di atas kertas pernikahan illegal-setidaknya bagiku begitu- tersebut. Baru menyelesaikan guratan akhir, lelaki tak dikenal itu sudah menariknya dari tanganku.

"Baiklah, sesuai perjanjian." Mataku berharap penuh setelah ia menarik map tersebut kembali, berharap semua selesai. Namun luntur, saat lelaki yang tadi menyeret tubuh lemah ibu menjatuhkannya dengan asal, membuat refleksku menangkap tubuh lemah itu, memeluknya erat hingga ikut terduduk di lantai. Lelaki itu, mengarahkan senjatanya padaku. Aku mau menangis, tapi air mataku serasa kering. Tubuhku masih bergetar dan aku menutup rapat mataku dengan takut.

"BANG!!"

Setelahnya, hanya kegelapan bercampur bayang merah yang terlihat. Ah kuharap aku tidak melihat dia setelah ini. Karena pasti aku pasti akan meninjunya dengan segenap kekuatan ku.

yang kutahu, aku merasa seperti sedang terbang, gelap dan nyeri di bagian kepala dan tubuh membuatku tidak ingin bangun lagi. aku tidak mau melihat apa yang selanjutnya akan terjadi, ingin rasanya melarikan diri dari dunia ini. aku takut. Bahkan, hanya untuk sekedar membuka mata.

'~~~'

Lelap dalam gelap, tanpa mimpi yang mengiring. Semua benar-benar hampa. Syukurlah berakhir dengan sedikit cahaya menyelip ke kelopak mataku. Menimbulkan kontras merah yang membuatku tersadar dari 'tidur' lelapku.

Udara lembab memehuni indra penciumku, tanah dingin menyentuh pipi, permukaan punggung dan lenganku. Gaun pastel yang kubanggakan terlihat lusuh bagai usai terguling di atas tumpukan lumpur. Aku belum sadar sepenuhnya, hingga kulihat siluet yang tak asing terbaring di sebelahku. Darah kering masih tersisa di sudut bibirnya.

Berulangkali kupanggil namanya sambil mengguncang tubuhnya. Curiga yang menjalar membuatku meletakkan telingaku di atas dadanya. Cukup lama kumembeku, hingga kutahan nafas, dan detik selanjutnya. "Syukurlah..." lirihku pelan, dengan dingin tanah basah yang masih menempel pada kulit pipiku.

Kulihat sekitar, ada beberapa orang yang menempati tempat ini dan kulihat mereka sedikit memberi jarak, pakaian mereka jauh lebih lusuh, bahkan beberapa dengan kondisi compang-camping. Sesedikit kudengar mereka berbisik tentang, anjing asing, atau sejenisnya. Aku tidak mengerti, yang kumengeri hanya satu hal. Kami baru saja dibuang oleh keluarga Gilbert.

Rintik hujan membasahi gaun pastel ku. Segera aku sedikit menarik tubuh ibu, agar terbaring di bawah genting bangunan disebelah kami. Wajah ibu pucat, tangannya mulai terasa dingin. Ini membuatku khawatir, dengan cepat aku langsung memeluk Ibu dengan erat.

"Bertahanlah..." bisikku di sebelah telinganya yang pucat, surai emasnya terurai berantakan. Ibu sedikit mengeluarkan lenguhan setelah bisikkan itu membuatku sedikit merasa adanya cahaya terang, membuatku memanggil ibu terus menerus.

"Uhuk!!" darah segar ia muntahkan lewat batuknya, tubuhnya tiba-tiba bergetar, membuatku sangat panik. Terus menerus kumengemis pertolongan, namun mereka malah menjauh. Semakin melebarkan batasnya.

Serak mulai kurasa. Sampai seorang dengan jas hitam mendekati kami. Tubuhnya kurus dengan jas mengetat, surainya yang klimis dengan kacamata hitam. Hidungnya mancung cukup melengkapi pipinya yang tirus.

"Periksa dia." Ujarnyanya membuat orang bersetelan hitam layaknya buttler dibelakanya mendekati kami, memeriksa tubuh ibu yang masih dalam keadaan bergetar hebat. Saat kulihat orang-orang lusuh sebelumnya, mereka semakin memperlihatkan wajah jijik menatap kami, tidak terkecuali pada orang yang membantu kami. Tubuh ibu sedikit lebih baik setelah mendapatkan perawatan singkat. Aku cukup lega, dengan wajah bersyukur aku melihat orang tadi.

"Apa kau orang baru?" tanyanya dengan wajah tersenyum mengerikan. Ukup lebar untuk menyentuh telinganya. Aku sedikit ngeri untuk menatap mati dibalik kacamatanya.

"Uhm. Terimakasih paman" wajahnya terlihat semakin mengerikan, ditambah dengan senyum yang semakin lebar. Ia berjongkok dihadapanku. Terlihat anting-anting emas menggantung pada daun telinganya. Ia memberikan sepotong kentang padaku. Dengan ragu, aku menerima tawaran tangannya.

"Datanglah kesini jika kau butuh pekerjaan. Ini adalah gudang kecil ku" secarik kertas dengan guratan menggambarkan peta ku terima. Sedikit ragu, tapi aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Aku harus bekerja jika ingin ibu selamat. Dengan sedikit anggukan aku menjawab. Lelaki itu bangkit dari jongkoknya, berjalan menjauh dari tempat kumuh ini.

Setelah perawakannya hilang, terdengar helaan nafas lega dari beberapa penduduk di tempat ini. Mata mereka beralih padaku. Entahlah, mungkin karena pakaianku yang cukup berbeda dari mereka membuatku harus terasingkan.

Pandanganku semakin terasa kabur, dingin menjalar bergrilya melalui pori-poriku. Tangan ibu sedikit lebih hangat, kulihat sesekali ia melenguh seperti mencoba membuka matanya. Dan kali ketiga ini, ibu sungguh membuka matanya, secara perlahan mata pucatnya terlihat, bibirnya kering.

"Mah..." ucapku membantunya duduk, tangan keriputnya semakin kendur saat kupegang.

"Hiks, maafkan mamah nak, mamah tak bisa menjagamu. Ayahmu dia pergi dengan mengenaskan, hiks" racaunya mengingat kejadian beberapa jam sebelumnya. Hari ini, malam terasa amat panjang. Mendengar ibuku menangis, diusir dari rumah, aku hanya mengelus punggung ibu menenangkannya. Memeluknya untuk memberi kehangatan.

"Tenanglah, kita tidak akan tidur disini, aku akan membantumu" entah kenapa, tapi aku merasa aku harus mencoba pekerjaan yang ditawarkan orang tadi. Sekilah kulihat setitik cahaya di ujung gelap.

Setelah lama menangis, ibuku mendapatkan cukup waktu untuk istirahat dan tertidur, sejam dua jam kami habiskan tanpa melakukan apapun. Hanya untuk menenangkan diri, hingga aku mengusulkan untuk ibuku agar ikut berjalan ke tempat yang ditawarkan, kami berjalan dengan pelan.

"Kau yakin akan pergi ke sana? Kau akan menyesal!" peringatan tiba-tiba dari seorang berpakaian kumuh, perawakannya terlihat seperti wanita 40 tahunan, aku yakin dia bisa terlihat lebih muda jika dia membersihkan wajahnya. Peringatannya tak mampu kuartikan jadi kupikir aku tetap harus mencoba.

"Terimakasih, tapi saya harus mencoba sesuatu, saya tidak ingin terus menjadi bodoh" suara lembut ku coba keluarkan, senyum ramah dan segala hal yang pernah kupelajari. Entah orang tadi menyerah atau apa, tapi dia mundur dan mengalihkan matanya, seperti tak ingin ikut campur lebih jauh.

Kembali kurangkul ibu sambil jalan, kulalui toko-toko kecil dan seperti dugaanku sebelumnya, mereka hanya menatapku rendah atau tak mempedulianku. Itu semua terus berlangsung hingga sampai pada gudang kecil di dalam gang amat sempit, dan sepi. Terdapat pintu besi di sisi dinding yang jauh di dalam, mungkin ini yang dia maksud gudang. Ketukan berirama ku pantulkan. Namun tak ada jawaban, kuputuskan mengayun knop pintu dan yang benar saja, pintunya tidak terkunci.

Kami lalui pintu itu, terlihat di tempat tersebut jejeran rak dengan beban kayu-kayu berkualitas, besi-besi tergantung, dan ada beberapa mobil pengankut, kerdus bertumpuk di beberapa jalan, juga alat penembak paku yang tergeletak di atas meja kotor yang dipenuhi kertas sketsa. Entah tempat apa ini.

avataravatar