2 Part 02.

Tanggal 10 bulan depan pernikahan Arvin dilaksanakan. Begitulah yang tertera pada undangan yang diterima oleh Aryna.

Satu bulan lagi, Aryna akan benar-benar kehilangan Arvin.

Saat pernikahan itu berlangsung, Arvin akan benar-benar menjadi milik wanita itu.

Dan Aryna, tidak punya hak apa-apa untuk menghentikannya.

Untuk itu, saat ini ia memutuskan untuk menemui Arvin. Ia telah membuat janji dan menghubungi pria itu. Tunggu, jangan salah paham. Aryna hanya ingin meminta maaf untuk segala kesalahan Aryna dimasa lampau. Juga... untuk bertemu dengan Arvin untuk yang terakhir kalinya.

Mereka akan bertemu di salah satu restaurant yang ada di Jakarta, Aryna sudah mem-booking terlebih dahulu.

Katakan Aryna lebay, tapi dia ingin pertemuan terakhir ini terasa... berkesan.

Ia mengambil tas kecil miliknya, dan langsung bergegas menuju mobil. Kali ini ia mengendarai dengan lebih pelan -tidak seperti kemarin- namun dan tetap menjaga kecepatan laju mobilnya.

Lalu setelah sampai, Aryna langsung berjalan menuju meja yang sudah di booking atas namanya. Di sana sudah ada Arvin.

Arvin melihat kearahnya dan tersenyum. Oh tidak, jangan tersenyum seperti itu. Aryna tidak sanggup. Senyuman hangat itu membuatnya sedikit berharap.

"Hai," Arvin menyapa saat Aryna baru saja mendaratkan tubuhnya di kursi yang ada di hadapan pria itu.

"Hai..." balas Aryna, lalu tersenyum kemudian.

Arvin. Tidak ada yang berubah dari pria itu. Senyumnya masih hangat, wajahnya masih tampan atau bisa dibilang lebih tampan dari terakhir kali Aryna lihat. Badannya, oke, bagian ini lebih banyak perubahan.

Tubuhnya sedikit berisi, menampilkan otot-otot yang tersembunyi dibalik kemeja yang dikenakannya.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Arvin membuka percakapan.

"Aku baik, bagaimana denganmu?"

Tidak, katakan kau tidak baik. Seperti diriku yang tidak baik-baik saja mendengar berita pernikahanmu.

"Sangat baik." Terlihat dari senyum lebar yang menghiasi wajahnya, Aryna tahu bahwa Arvin sangat berbahagia. Entah untuk keadaannya yang sekarang atau untuk pernikannya bulan depan.

Hati Aryna meringis kembali saat mengingat-ingat berita itu. Sesak itu hadir lagi, tapi Aryna sekuat tenaga menjaga raut wajahnya.

"Aku dengar, kamu akan menikah ya. Selamat ya." Aryna bersumpah ia berusaha untuk tersenyum saat mengucapkan itu, namun ternyata hatinya tidak bisa membohonginya. Hatinya patah, hancur. Tetapi senyuman tetap tersumir dibibirnya.

Arvin tersenyum lagi, kali ini Aryna yakin bahwa ia melihat binar mata pria itu lebih cerah dari sebelumnya. "Terima kasih, ya. Kamu jangan lupa datang."

Aryna hanya mengangguk, tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata lagi. Dia benar-benar sudah berada diambang batas ketahanan hatinya. Dan mendengar pernyataan yang langsung keluar dari mulut pria itu, meremukkan hatinya.

Aryna meminum minuman yang lebih dulu dipesan oleh Arvin, karena saat ia datang, sudah ada dua gelas minuman di sana. Menyeruputnya perlahan, membahasi kerongkongannya.

"Aku... aku juga mau minta maaf soal waktu itu, Vin. Aku..."

"Aku udah nggak apa-apa, sekarang kita bisa lupakan semuanya. Aku nggak marah sama kamu." Arvin menyela ucapan Aryna.

Aryna mendongakkan kepalanya sedikit, menatap pria itu dari bulu matanya.

Lupakan? Nyatanya masa lalu kita memang tidak berarti apa-apa untukmu, Vin.

"Baiklah... dan terima kasih sudah mau memenuhi undanganku untuk datang ke sini." Sekali lagi Aryna berusaha untuk memberikan senyuman. Menarik paksa dikedua sudut bibirnya dengan sisa kekuatan yang ia punya.

******

Pertemuan Aryna dengan Arvin hari ini diakhiri dengan Aryna yang memaksa menarik senyuman dari bibirnya. Namun hatinya tetap meronta, meneriakkan kesakitan yang mendalam.

Aryna sudah hancur, dan dialah yang menghancurkan dirinya sendiri.

Haruskah Aryna datang ke pernikahan Arvin? Haruskah ia menunjukkan dirinya di sana? Bukankah itu sama saja bahwa Aryna membiarkan dirinya jatuh semakin dalam.

Aryna benar-benar tidak akan sanggup jika ia melihat secara langsung bahwa Arvin telah menemukan kebahagiaannya, dan itu bukan dengan Aryna.

"Apa nggak ada kesempatan untuk aku, Vin? Apa memang segitu mudahnya kamu melupakan aku? Vin, aku minta maaf." Aryna terisak di sudut kamarnya. Dia biarkan dirinya luruh dan menjadikan dinding sebagai penopang tubuhnya.

"Aku minta maaf." Hanya dirinya sendiri yang bisa mendengarkan lirihannya. Ia ingin berteriak, namun apalag daya tenggorokannya tercekat. Terpatah-patah ia mengucapkan permintaan maaf yang sampai kapaunpun tak akan lagi didengar Arvin.

Ia ingin mencari cara agar hatinya tidak lagi sakit. Namun apa yang harus dilakukannya?

Aryna sudah tidak kuat lagi, dan akhirnya semuanya gelap.

A/N : yuhuuuu... adakah yang membaca cerita ini?

Aku butuh asupan semangat nih hehe

Kritik dan saran?