20 Impian yang Harus Dijaga

"Ck… jangan seperti itu, aku memang lapar tapi tidak berselera makan di rumah. Bagaimana jika kita keluar?"

"Aku ada pertemuan dengan Rex."

"Oh… putramu akan datang, dia masih saja tidak menerimaku."

Mackenzie tidak terlalu menanggapi. "Dia hanya sibuk," ujarnya seraya bangun dari duduk.

"Iya, dia selalu sibuk sampai tidak ada waktu untuk menyapa ibu tirinya ini."

Mackenzie hanya tersenyum tipis tidak berapa lama pintu diketuk. Kepala pelayan datang, ibu tiri Rex memperhatikan lembar kertas yang dibawa.

"Ini data anak itu, Tuan." Kepala pelayan itu meletakan lembaran kertas di atas meja

"Mm… sudah selesai?" tanya Mackenzie.

"Sudah Tuan, dia akan meneruskan sekolahnya."

Setelah kepala pelayan itu keluar, ibu tiri Rex mendekat perlahan, curiga dengan gadis itu. "Apa itu?" tanyanya selidik, ingin tahu apa alasan Mackenzie memberikan beasiswa padahal gadis itu tidak terlalu pintar, intinya curiga jika Mackenzie mengincar daun muda. Veederica, ibu tiri Rex sedikit mengibaskan rambutnya, dia masih mampu melayani tapi rasanya Mackenzie tidak sebajingan itu yang menyimpan daun muda.

"Hal yang tidak penting." Mackenzie memasukan lembaran itu dalam lacinya. Kembali mengangkat kepala melihat Veederica yang masih curiga, melihat di dalam laci kerja Mackenzie. Ruangan ini yang tidak boleh orang lain sentuh kecuali mendiang istri pertamanya.

***

Ibu Biyan sedang di dalam kamarnya bersama Biyan keduanya masih berdebat tentang biaya hidup saat kuliah nanti. Keduanya berhenti bicara saat pintu kamar diketuk, satu pelayan masuk.

"Tuan besar memanggilmu," katanya di ambang pintu.

Ibu Biyan sesaat mengangguk pada rekannya itu lantas kembali beralih pada Biyan.

"Tunggu sebentar, kita lanjutkan nanti." Ibu Biyan sudah mau melangkah.

"Tidak, bukan kau tapi putrimu yang tuan inginkan."

Biyan dan ibunya saling melihat.

"Aku?" Biyan yang paling kebingungan apa yang harus dilakukan saat bertemu nanti.

"Pergilah, jangan sampai tuan besar menunggu lama, dan perhatikan ucapanmu!" perintah ibu Biyan. Sekalipun tidak berpendidikan tinggi ibu Biyan selalu mengajarkan kesopanan pada putra dan putrinya.

***

Biyan masih berdiri sedikit menunduk di hadapan Mackenzie menunggu Presdir itu mempersilahkan duduk jika pun tidak dipersilahkan Biyan akan tetap berdiri.

Sesaat Mackenzie memperhatikan gadis itu bagaimana putranya bisa tertarik pada wanita belia disaat semua wanita dewasa tertarik padanya bahkan memujanya. Mackenzie tidak jarang bertemu dengan lawan bisnisnya yang mengatakan jika putri mereka tertarik pada Rex dan ingin mempererat bisnis dengan mempersatukan kedua pewaris. Jangan lupakan wanita mana saja yang sudah diajukan pada Rex itu adalah atas seijin Mackenzie.

"Duduklah!" perintah Mackenzie yang masih duduk di balik meja kerjanya.

Biyan sekilas mengangguk lantas duduk di sofa tamu, di atas meja sudah tersedia satu cangkir teh.

"Teh itu untukmu," ucap Mackenzie lagi.

Biyan kembali mengangguk, meraih teh itu.

Mackenzie melangkah menuju sofa tamu dimana Biyan ada, rasanya setiap langkah lelaki paruh baya itu membawa tekanan pada Biyan. Biyan bisa merasakan ada emosi yang terbawa, seharusnya ibunya menolak bantuan itu. Rasanya tidak mungkin orang seperti Mackenzie membantu dengan begitu mudah.

"Kau putri Elis?" tanya Mackenzie sesaat setelah duduk.

"Iya, Tuan. Terima kasih atas bantuan, Tuan Besar. Tapi orang seperti saya tidak pantas menerimanya, saya yakin masih banyak gadis lain yang pantas menerima beasiswa itu."

"Tidak baik menyimpulkan seperti itu, kau tidak ingin seperti gadis lain, bisa sekolah, lulus dengan baik lantas mengejar karir? Disaat anak gadis lain mengejar impiannya lalu kau berada di dapur dengan ruangan sempit dan cucian piring. Jangan terlalu naif mengorbankan hal yang bagus demi harga diri," ujar Mackenzie tidak melihat Biyan atau mencemooh dari tatapannya namun dari ucapan itu menusuk laksana pedang.

Apakah gadis seperti Biyan tidak memiliki harga atas kehidupan, yang ada hanya pilihan untuk masa depan yang lebih baik.

"Jika kau lebih berusaha, sekolah itu memiliki beasiswa untuk Harvard semua jurusan yang kau inginkan bahkan sampai gelar jika kau mampu."

Biyan sempat tidak berkedip mendengar itu, mulutnya sedikit terbuka terperangah dengan apa yang tuan rumah ini miliki. Biyan memang tahu pemilik rumah adalah pengusaha sukses namun ia tidak menyangka perusahaan itu begitu royal terhadap sesama.

"Harvard universitas?" ucap Biyan pelan.

Mackenzie mengangguk dengan senyuman. "Bukan hanya nilai yang menjadi persyaratan, ada hal-hal diluar itu yang harus dipenuhi," ujar Mackenzie mulai mengemukakan pilihan namun tidak pada intinya.

Mackenzie akan membuat Biyan jauh dari putranya dengan cara halus, memberikannya mimpi yang tinggi untuk digapai dan Mackenzie akan menjadi tangganya.

"Sebagai orang tua, ibumu pasti menginginkan impian anaknya terpenuhi dan aku juga memiliki putra yang impiannya harus tetap aku jaga." Sekali lagi Mackenzie menatap Biyan. "Aku punya dana lebih untuk mewujudkan impian setiap anak."

Akhirnya Biyan hanya bisa diam rasanya menolak tidak mungkin disaat ibunya begitu mengharapkan ia melanjutkan sekolah.

"Kau boleh keluar, hidup dengan baik buat agar ibumu bangga juga bahagia merasa tidak gagal menjadi orang tua."

Sekilas Biyan menunduk lantas melangkah keluar dari ruangan itu. Baru saja menutup pintu ponselnya berdering, Yona memanggil dari seberang sana.

"Bii, libur ikut denganku!"

Biyan melangkah ke luar rumah dengan ponsel melekat pada telinga. "Aku harus kerja sampingan untuk membeli peralatan kuliah."

Yona di seberang sana membuka mulutnya. "Kau kuliah?"

"Mm… aku menyetujui beasiswa itu."

"Astaga… baguslah, kita bisa kembali bersama. Kita bisa membeli semua kebutuhanmu di tempat liburan, ayolah ini masa remaja terakhir kita sebelum akhirnya menjadi wanita dewasa sesungguhnya. Aku sudah tidak sabar memakai baju biasa untuk sekolah dengan belahan dada rendah. Oohh… astaga… aku bosan dengan seragam ketat yang menutupi seluruh tubuhku." Yona tertawa terbahak ia sedang berada di apartemennya mengepak baju yang akan dibawa.

Biyan sampai pada pintu gerbang. Mobil Rex baru saja berhenti. "Paman." Biyan menunjuknya.

"Jangan panggil aku paman, Rex!" Rex juga sempat terperangah tidak menyangka bisa bertemu Biyan di depan gerbang, bukankah biasanya gadis itu lewat pintu samping.

"Anda tinggal di sekitar sini juga?" tanya Biyan dengan ponsel yang masih melekat pada telinganya.

"Siapa Bii?" tanya Yona dari seberang sana, diam masih mendengarkan percakapan Biyan.

"Iya, aku tinggal di sekitar sini. Ini rumahmu?" tanya Rex menunjuk rumah megah bak istana itu.

"Aahh… mm…" Biyan bingung harus menjawab apa. "Bukan."

"Bukan? Lalu ini, kau jadi simpanan orang kaya?" tanya Rex semakin menggoda. Dengan tangan yang terus menunjuk rumahnya sendiri.

"Tidak… bukan seperti itu maksudnya." Biyan menggerakkan kedua tangan menolak asumsi Rex.

Rex melipat kedua tangan dengan bersandar pada body mobil. "Lalu? Rumah semewah ini? Dan aku baru saja melihat kau keluar dari dalamnya?"

"Iya, aku tinggal di sini. Tapi tidak seperti yang kau bayangkan." Biyan terlihat melihat sekeliling. "Di sini banyak kamera, lebih baik anda pergi sekarang."

Rex malah membuka pintu mobilnya. "Maka ikut denganku, kau masih punya penjelasan yang belum selesai."

"Biyan, aku tunggu di kafe." Panggilan Yona berakhir.

Biyan melihat ponselnya. "Aku tidak bisa pergi, temanku mengajak untuk liburan. Permisi Tuan, semoga harimu menyenangkan."

Setelah sedikit mengangguk Biyan meninggalkan Rex dengan tatapan lelaki itu yang terus melihat punggung Biyan menjauh.

avataravatar
Next chapter